Problematik pendidikan di Indonesia tampaknya memang serius. Berbagai upaya sudah dilakukan silih berganti
dalam skala nasional. Untuk mendekatkan pendidikan dengan dunia kerja,
dikeluarkan kebijakan link and match.
Dimunculkan matapelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa untuk
menguatkan daya juang anak-anak kita. Kurikulum diubah agar sesuai dengan
perkembangan zaman. Buku online
diluncurkan agar semua siswa memperoleh buku ajar secara gratis. Waktu belajar ditambah melalui full day
school. Bahkan ada keinginan untuk
mengubah Undang-undang karena dianggap sudah ketinggalan zaman.
Namun berbagai
kebijakan tersebut ternyata belum mampu mengatrol mutu pendidikan kita. Hasil
PISA tahun 2018 justru turun. Skor kemampuan membaca turun
dari 397 ke 371 poin, kemampuan matematika turun dari 386 ke 379 poin, dan
kemampuan sains turun dari 403 ke 396 poin. Akibatnya ranking PISA Indonesia
turun dari ke-72 menjadi ke-77. Dalam World
Development Report yang diterbitkan Bank Dunia (2019: 57) disebutkan
harmonized test score anak Indonesia lebih rendah dibanding Argentina,
Colombia, Thailand, Philippines dan bahkan Vietnam dan Kenya. Seakan mengakui itu, saat menjadi mendikbud Anies
Baswedan mengeluarlan statemen Gawat Darurat Pendidikan Indonesia.
Jika berbagai kebijakan tersebut ternyata belum dapat meningkatkan,
sebaiknya dicari cara pandang lain dan jika perlu pinjam ke bidang ilmu
lain. Salah satu yang perlu dipertimbangkan
adalah prinsip Pareto (Kiremire, 2011). Secara sederhana Prinsip Pareto dapat dimaknai
dalam suatu problem ada komponen yang proporsinya hanya 20% tetapi jika itu
dapat diselesaikan, maka komponen yang lain akan ikut selesai. Komponen itulah yang disebut determinant
component(s). Pertanyaannya, apa determinant component(s) dalam
pendidikan.
Guru sebagai determinat component.
Penelitian Barber dan Mourshed (2007) menemukan siswa yang diajar oleh
guru yang baik memiliki prestasi 53% diatas temannya yang diajar oleh guru yang
tidak baik. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Hattie (2003) menyebutkan guru berkontribusi 60% terhadap hasil
belajar siswa, diluar kemampuan dasar yang bersangkutan. Untuk konteks Indonesia, Pujiastuti, Raharjo
dan Widodo (2012) menemukan kontribusi tersebut 54,5%. Bagaimana itu dapat terjadi? Disertasi Blazar (2016) di Harvard Graduate
School of Education menyimpulkan hasil belajar itu fungsi dari proses
pembelajaran yang dikelola oleh guru.
Apapun kurikulum dan sarana yang tersedia, pada akhirnya tergantung guru
yang menggunakannya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa guru merupakan determinant component dalam pendidikan. Bahkan McKinsey menyatakan quality of
education cannot exceed quality of teachers. Jadi agar pendidikan bermutu, setiap sekolah
harus memiliki sejumlah guru yang cukup dengan mutu yang baik.
Apakah Indonesia kekurangan guru? Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Secara agregrat nasional, jumlah guru di
Indonesia berlebih. Data statistik
Kemdikbud menunjukkan rasio guru-siswa SD = 1:17, SMP = 1:16, SMA = 1:15,5, SMK
= 1:16,8. Lebih mewah dibanding Jepang
dan Singapore. Namun jika kita berkunjung
ke daerah, banyak sekolah yang kekurangan guru. Pengalaman mengunjungi daerah 3
T (tertinggal, terdepan, terluar), banyak SD dengan 6 rombel hanya
memiliki 2 atau 3 orang guru. Yang terjadi adalah ketidakmerataan
distribusi guru. Di perkotaan kelebihan
guru sementara di daerah 3T kekurangan guru.
Mengapa itu terjadi? Karena calon
guru enggan bertugas di daerah terpencil. Ketika ada program Guru Garis Depan
(GGD), lulusan LPTK juga enggan mendaftar karena ditempatkan di daerah 3T. Mereka sudah terbayang seperti apa kondisi
daerah, karena sebagian sudah pernah ikut program Sarjana Mengajar di daerah
3T. Apalagi sebagian besar lulusan LPTK perempuan yang sangat mungkin tidak
diijinkan orangtuanya untuk mengajar di daerah 3T. Jika keengganan guru mengajar di daerah tidak
dapat dipecahkan, maka sekolah-sekolah di daerah 3T akan tetap kekurangan guru.
Apa guru kita kurang bermutu? Semua
sudah tahu jawabannya. Pertanyaannya,
mengapa itu terjadi. Karena di masa lalu gengsi profesi guru sangat rendah,
sehingga lulusan SLTA yang pandai tidak mau masuk LPTK. Akhirnya mereka yang ranking bawah yang masuk
ke LPTK dan akhirnya menjadi guru.
Namun data Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) jumlah
pendaftar ke LPTK naik signifikan sejak tahun 2009 s.d 2013. Diduga itu dikarenakan gengsi profesi guru
membaik akibat ada tunjangan profesi. Kondisi
ekonomi guru yang membaik ternyata meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap
profesi guru dan akhirnya jumlah lulusan SLTA yang ingin menjadi guru
meningkat. Dengan demikian kita dapat berharap ke depan mutu guru membaik.
Bagaimana agar mahasiswa calon guru yang bermutu itu
mau bertugas ke daerah terpencil? Pasal 23 ayat (1) UU No. 14/2005 tentang Guru
dan Dosen telah menyediakan landasannya, yaitu “Pemerintah
mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga
pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan”. Pendidikan calon guru disetarakan dengan
pendidikan kedinasan seperti di AMN, AAL, AAU, STPDN dan sebagainya. Bukankah calon guru itu dididik oleh
Kemdikbud dan juga digunakan oleh Kemdikbud.
Berapa biaya yang diperlukan untuk pendidikan
kedinasan guru? UU No. 14/2005 dan PP
No. 74/2008 menyebutkan Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama 1 tahun. Hasil kajian Kemdikbud menunjukkan secara
normal diperlukan guru baru sebanyak 50.000 orang/tahun sebagai pengganti pensiun.
Jika unit cost untuk 1 tahun PPG 40 juta
rupiah, maka diperlukan anggaran 2 trilyun/tahun untuk menghasilkan 50.000
orang guru baru yang bermutu dan siap ditempatkan di sekolah seluruh wilayah
NKRI.
Apakah itu besar?. Jika APBN kita 2.500 trilyun, sehingga
anggaran sektor pendidikan 500 trilyun, maka biaya tersebut hanya 0,4% dari
anggaran sektor pendidikan.
Pertanyaannya, adakah kemauan politik untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar