Malam minggu kemarin, 26 Februari 2022, saya difasilitasi oleh KPI (Kualita Pendidikan Indonesia) untuk bertemu dan berdiskusi dengan beberapa yayasan yang mengelola lembaga pendidikan. Ada yang mengelola sekolah (SD/SMP/SMA/SMK), ada yang mengelola madarsah (MI/MTs/MA) dan bahkan ada yang mengelola pondok pesantren. Ada yang dari Banyuwangi, Blitar, Treggalek, bahkan ada yang dari Binjai-Sumatra Utara dan Balikpapan- Kalimantan Timur.
Diskusi sekitar 2 jam itu menambah keyakinan saya bahwa pendidikan itu usaha bersama untuk mencerdaskan bangsa, menyiapkan anak-anak kita menyongsong masa depannya. Mereka menceritakan merintis lembaga pendidikan dari “nol” dengan jerih payah bukan main. Apalagi sebagian besar berada di daerah pedesaan yang tergolong “miskin”. Saya dapat membayangkan bagaimana tidak mudahnya memulainya. Pengalaman kami merintis MI di kampung halaman yang tidak terlalu jauh dari kota dan juga tidak terlalu “miskin” saja sangat tidak mudah. Anda dapat membayangkan MI yang full day itu SPP-nya 25 ribu rupiah dan tidak ada uang gedung saat masuk. Gurunya belum ada yang dapat tunjanan profesi karena memang anak-anak muda yang belum punya sertifikat pendidik. Yang senior yang punya sertifikat pendidik sangat mungkin juga enggan mengajar di sekolah/madrasah kecil di pedesaan.
Jujur saya banyak belajar dari teman-teman pengurus yayasan tersebut. Tidak hanya belajar tentang kiatnya memulai sekolah/madrasah/pondok di desa semacam itu, tetapi dedikasi mereka dengan semangat ibadah untuk ikut serta mencerdaskan anak-anak. Ketulusan dan keikhlasan teman-teman tersebut rasanya layak menjadi renungan bagi siapapun yang merasa sebagai insan pendidikan.
Sepulang dari pertemuan tersebut, saya lama merenung. Teringat tulisan Ki Hajar Dewantara bahwa membangun pendidikan tidak dapat dan tidak boleh melupakan peran sekolah swasta. Tentu termasuk madrasah dan pondok pesantren. Ciri khas sekolah seperti itu harus dihargai karena menujukkan budaya daerah dan keyakinan masyarakatnya. Yang sekolah di lembaga seperti itu juga anak bangsa, yang punya hak serta kuwajiban dengan anak yang bersekolah di sekolah negeri. Oleh karena itu menurut Ki Hajar seharusnya pemerintah mengatur agar anak-anak di sekolah swasta juga menerima hak-hak yang sama dengan temannya yang bersekolah di sekolah negeri. Katankanlah untuk yang wajib belajar, mereka juga harus tidak membayar.
Mungkin Anda berkomentar bukankah sekolah/madrasah juga mendapat BOS sama dengan sekolah negeri? Bukankah guru mereka juga mendapat tunjangan profesi sama dengan guru sekolah negeri? Jawabnya ya. Tetapi yang jelas mereka harus membayar SPP. Tidak gratis seperti temannya yang bersekolah di sekolah negeri. Mengapa sekolah/madrasah swasta tidak dapat menggratiskan SPP seperti sekolah negeri? Saya yakin Anda tahu jawabnya. Ya sudahlah, toh menurut cerita teman-teman yang ketemu malam Minggu kemarin sekolah/madrasah/ponpesnya mereka berjalan dengan baik. Mereka punya kiat masing-masing bagaimana mengelolanya. Tampaknya konsep PDIA (problem driven iterative adaptation) telah mereka fahami dan terapkan.
Saya membayangkan tanpa peran orang-orang semacam tersebut, pemerintah akan kuwalahan mengangi pendidikan di negara tercita ini. Bayangkan menurut data Kemendikbudristek, jumlah sekolah swasta lebih banyak dibanding sekolah negeri. Belum termasuk pondok pesantren. Memang ada sekolah swasta di perkotaan dengan siswa dari keluarga kaya, tetapi dugaan saya jumlahnya masih lebih banyak sekolah swasta seperti yang dikelola teman-teman yan ketemu malam minggu kemarin.
Bagaimana yang “menghimpun” teman-teman itu supaya dapat sinergis dalam mencerdaskan anak bangsa? Saya jadi teringat konsep share vision dari Peter Senge, visionary leadership dari Burt Nanus dan reinventing government dari David Osborn. Bagaimana agar arah pendidikan, kebijakan pendidikan menjadi milik bersama. Semua orang tidak hanya faham, tudak hanya sepakat, tetapi merasa ikut memiliki arah dan kebijakan tersebut. Meminjam istilah yan sering digunakan oleh Mark Heyward, ownership sangat penting agar semua pihak menjalankan kebijakan tersebut dengan sepenuh hati dan bukan karena diinstruksikan. Menurut saya mengajak mereka untuk menyusun berbagai kebijakan pendidikan merupakan salah satu kuncinya. Jika itu dapat dilakukan, mudah-mudahan pendidikan menjadi kerja sinergis seluruh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar