Tanggal 10-12 Maret dan 17-19 Maret saya terlibat dalam P3A (Pelatihan Penguatan Pelatih Asesor) yang dilaksanakan oleh BAN SM (Badan Akeditasi Sekolah/Madrasah) Jakarta bagi anggota BAN SM di propinsi seluruh Indonesia. P3A dibagi menjadi 7 kelas, dengan peserta di setiap kelas sekitar 20 orang agar proses pelatihan berjalan dengan baik. Setiap kelas diampu 2 orang nara sumber dan saya berpartner dengan Pak Pranata, yang dahulu menjadi Dirjen GTK. Pada angkatan pertama, 10-12 Maret, kami berdua mengampu kelas 7 yang pesertanya dari BAN SM Sumatra Utara, sedangkan pada angkatan kedua, 17-19 Maret, kami mengampu kelas 6 dengan peserta dari BAN SM Kalimantar Timur, Bangka Belitung dan Lampung. Saya dengan Pak Pranata berbagi tugas dan saya kebagian sesi tentang Penggalian Data, yang terdiri dari 3 modul, yaitu Dokumen, Observasi dan Wawancara.
Anggota BAN SM Propinsi umumnya pengawas, dosen, dan widyaiswara di LPMP. Jadi mereka sudah berpengalaman tentang sekolah. Mereka umumnya juga sudah cukup senior. Bahkan beberapa orang diantaranya profesor. Oleh karena itu P3A ini sebenarnya pemantapan saja, sebelum mereka melatih calon asesor. Paling jauh belajar mengaitkan antara pengalaman penelitian kualitatif dengan situasi sekolah. Katakanlah diskusi bagaimana melakukan penelitian tentang kualitas sekolah dengan pendekatan kualitatif. Oleh karena itu, sejak awal saya menggunakan pendekatan adragogi. Saya mengawali P3A dengan bertanya “mengapa beras yang digiling menjadi putih?”. Maksudnya, beras digiling menjadi putih karena terjadi gesekan antar butiran beras. Tugas mesin giling hanya membuat butiran beras saling bergesek. Jadi tugas nara sumber dalam P3A hanya seperti mesin giling tadi, agar peserta saling bergesek dan menjadi pandai.
Memandu diskusi selama 4 hari, saya menemukan hal menarik untuk dibagi. Nasehat Sherwood (2002) agar dalam bekerja menerapkan prinsip “seeing the forest for the trees” tidak terjadi. Pada hal melakukan akreditasi sekolah sangat mirip dengan penelitian kualitatif. Dengan demikian kita harus faham betul apa yang ingin dijawab sebelum bekerja. Komponen yang kemudian dijabarkan dalam butir-butir instrument dapat dianalogkan dengan pertanyaan penelitian, yang dicari jawabnya ketika melakukan visitasi ke sekolah.
Yang terjadi dalam diskusi, peserta terjebak membahas data yang ada di dokumen, hasil bagaimana melakukan obervasi serta wawancara. Diskusi berkutat membahas data tanpa mengaitkan dengan informasi yang harus dicari untuk menjawab butir instrument. Pada hal di instrument sudah dicantumkan indikator bahkan sub indikator capaian sekolah. Saya membayangkan alur berpikir yang seharusnya dilakukan jika menggunakan saran Sherwood sebagai berikut.
Jadi relevansi data dengan pernyataan butir, kecukupan data untuk membuktikan benar-tidaknya pernyataan pada butir itulah yang pertama harus dikejar. Tentu keabsahan (validitas) data juga harus diuji. Data yang tidak relevan dibuang, atau dalam teori sering disebut reduksi data atau kondensasi data. Artinya hanya data yang relevan saja yang diperhatikan. Data yang relevan tersebut harus diuji apakah valid (absah) yang biasanya dengan triangulasi. Yaitu mengadu data yang satu dengan yang lain, sampai kita yakin mana yang benar (abash/valid). Setelah itu dianalisis apakah informasi yang dikandung oleh data tersebut telah dapat membuktikan benar-tidaknya penyataan butit. Juga apakah sudah dapat menggambarkan pada level mana capaikan sekolah untuk butir yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar