Jumat, 15 April 2022

OUTCOME BASED EDUCATION

Pada rapat di Hotel Veranda Jakarta Rabu 29 Maret  lalu, saya menjelaskan bahwa LAMDIK (Lembaga Akreditasi Mandiri Kependidikan) menggunakan konsep outcome based education (OBE) dalam mengakreditasi suatu program studi.  Saya merasa perlu menjelaskan konsep yang digunakan oleh LAMDIK karena berpengaruh terhadap instrument yang digunakan.  Agar lebih mudah difahami saya menggunakan metaphor nasi goreng. Kalau kita akan membeli nasi goreng yang pertama kita pertimbangkan adalah rasa bagi lidah kita.  Sekali lagi dengan acuan “lidah kita”, bukan lidah yang memasak.  Acuan “lidah kita” sebagai pembeli itulah outcome sedangkan acuan lidah yang memasak itu output.  Dalam konteks pendidikan, lidah kita (sebagai pembeli) itu ibarat ukuran pengguna lulusan, sedang lidah juru masak itu ibarat ukuran sekolah/universitas yang menghasilkan lulusan.

Setelah kita cocok dengan rasa nasi goreng yang akan kita beli mungkin kita ingin tahu bagaimana memasaknya.  Apakah bersih dan bagi yang muslim mungkin ingin yakin apakah memasaknya tidak kecampuran bahan yang tidak halal.    Dalam konteks pendidikan setara dengan proses pendidikan.  Apakah kita mematok bagaimana cara menggoreng?  Menurut saya tidak penting, yang penting rasanya enak, memasaknya bersih dan tidak tercampur dengan bahan-bahan yang tidak halal dan bahan-bahan yang membayakan kesehatan.  Dalam konteks pendidikan, bagaimana guru mengajar itu sebaiknya diserahkan kepada para guru/dosen, karena mereka yang lebih tahu cara yang paling cocok. Yang penting di sekolah/universitas tidak diajarkan hal-hal yang membayakan bagi pengguna lulusan.

Bagaimana kalau cara mengajarnya tidak bagus?  Kita dapat “mencegat” di outcome.  Jika mengajarkan tidak bagus tentu outcome-nya tidak baik.  Ibaratnya, jika cara memasaknya tidak baik tentunya nasi gorengnya tidak enak.   Lah, mengapa kita perlu melihat kebersihan dan memastikan tidak tercampur bahan yang tidak halal?  Ya, karena kita ingin nasi goreng yang enak, tetapi juga sehat dan benar-benar halal, bagi yang muslim.  Kita ingin dalam proses pendidikan tidak diajarkan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan dan kemasyarakatan.

Dalam diskusi ada yang menanyakan bagaimana dengan standar pendidikan yang selama ini digunakan?  Misalnya SKL (standar kompetensi lulusan), standar isi, standar proses, standar penilaian, standar pendidik, standar biaya, standar pengelolaan.  Untuk universitas ditambah dengan standar penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.  Saya menjelaskan, standar-standar itu dibuat oleh pemerintah untuk memandu bagaimana sekolah/madrasah/ universitas menyelenggarakan pendidikan.  Jadi standar tersebut mungkin cocok untuk SPMI (sistem penjaminan mutu internal), sedangkan LAMDIK adalah SPME (sistem penjaminan mutu eksternal) yang tidak harus melihat hal-hal yang bersifat internal secara detail. Toh LAMDIK memiliki waktu yang terbatas dalam proses akreditasi program studi.

Lantas, apakah LAMDIK sama sekali tidak memperhatikan faktor input dalam melakukan akreditasi. Jawabnya, tetap memperhatikan.  Tetapi bobotnya sangat kecil dibanding output/outcome dan proses.   Dalam tabel tampak bobot output/outcome 33%, proses 29%, sedangkan input hanya 15%.  Faktor proses cukup besar, karena ciri khas “pendidikan” yang menghasilkan calon guru.  Kita meyakini mahasiswa calon guru itu banyak meniru dosennya saat mengajar/memberi kuliah.  Oleh karena itu, bagaimana dosen mengajar dan sebagainya mendapat perhatian khusus.

Disamping itu, keruntutan bagaimana menjabarkan outcome turun menjadi output, kemudian memastikan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan tututan output juga mendapat perhatian. Sesuai dengan metaphor nasi goreng, seperti apa fasilitas kampus dan bagaimana kualifitasi dosen tidak mendapat bobot besar, walaupun tetap diperhatikan.  Yang penting proses pembelajaran berjalan baik dan layak menjadi inspirasi bagi mahasiswa saat besuk menjadi guru.  Lebih dari itu lulusannya cocok dengan standar yang diharapkan oleh penggunanya.

 Mengapa ada faktor Profil UPPS dan Analisis Permasalahan dan Tindak Lanjut?  Pemikiran tersebut berangkat dari kenyataan bahwa program studi (PS) adalah sebuah program, maksimal sebagai unit pelaksana, sedangkan kebijakan dan sumberdaya dimiliki oleh UPPS. UPPS yang membuat kebijakan, mengatur sumberdaya dan mengendalikan pelaksanaanya. Oleh karena itu apa yang dikerjakan UPPS menjadi salah satu titik penilaian.

Siklus “kebijakan-implementasi-evalasi-tindak lanjut” menjadi salah satu yang mendapat perhatian, untuk memastikan bahwa terjadi peningkatan mutu secara berkelanjutan.  Oleh karena itu dalam setiap komponen dievaluasi terjadi-tidaknya siklus tersebut, sebagai bagian dari penilaian.  

Tidak ada komentar: