Dr. Hernani Sirikit, MA. atau yang lebih dikenal dengan Sirikit Syah tentu tidak asing bagi kawan-kawan pers, aktivis dan juga kawan-kawan seniman di Surabaya. Pagi ini tanggal 26 April 2022, di akhir pertiga bulan Ramadhan 1443 H, beliau dipanggil menghadap Sang Khaliq. Terakhir saya ketemu beliau di acara Mukerwil ICMI Jawa Timur beberapa bulan lalu. Allahummaghfirlaha warhamha wa 'afiha wa'fu anha. Semoga almarhumah mendapat termpat terbaik di sisiNya.
Saya mengenal mbak Sirikit, begitu saya biasa memanggil, sejak beliau menjadi mahasiswa S1 IKIP Surabaya. Kebetulan beliau adik kelas isteri saya di Jurusan Bahasa Inggris dan sama-sama aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Bakat menulisnya telah tampak sejak mahasiswa, sehingga tidak heran setelah lulus sebagai sarjana pendidikan bahasa Inggris tidak menjadi guru tetapi menjadi wartawan. Jika aktivis yang ingin menyuarakan pemikiran tampaknya ikut mendorong pemilihan karir tersebut.
Karena menekuni “dunia yang berbeda” saya lama tidak berinteraksi intens dengan mbak Sirikit, walaupun tetap berkomunikasi. Pertemuan yang menjadi jembatan biasanya Ikatan Alumni Unesa. Saya baru kembali berinteraksi dan bekerjasama dalam beberapa kegiatan pada pertengahan tahun 1990an. Saat itu saya menjadi Pembantu Rektor IV Unesa dan mbak Sirikit menjadi salah satu pimpinan di STIKOSA (Sekolah Tinggi Komunikasi Surabaya) yang dahulunya bernama AWS (Akademi Wartawan Surabaya). Sebagai alumni Unesa (IKIP Surabaya) mbak Sirikit banyak terlibat di kegiatan Unesa, khususnya Ketika Unesa bekerjasama dengan pihak lain. Termasuk dalam beberapa penelitian. Biasanya beliau terlibat dalam analisis dan penyusunan laporan.
Ketika saya menjadi rektor Unesa, saya merasa banyak dibantu beliau. Saat menulis buku Rekonstruksi Pendidikan, sebagai kumpulan pemikiran teman-teman dosen, mbak Sirikit sebagai editor dan bahkan kemudian menterjemahkannya dalam bahasa Inggris. Bahkan atas kemauan sendiri mbak Sirikit menterjemahkan buku saya yang berjudul Pendidikan Bermakna. Waktu saya tanya untuk apa, dijawab dengan mimik serius (memang orang serius walaupun berjiwa seni), buku itu perlu dibaca orang luar negeri, karena menurutnya memuat ide-ide sangat bagus.
Ketika saya dorong kuliah S3, pada awalnya kurang sreg. Mungkin karena sibuk. Namun saya meyakinkan, walaupun dengan gelas MA (S2) sudah mengajar di program pascasarjana Unair dan juga di Australia, kalau menempuh dan lulus S3 tentu lebih baik. Toh nanti ketemu dengan dosen yang dahulu pernah mengajar dan konon dekat dengan beliau, yaitu alm Prof. Budi Darma. Akhirnya setuju, walaupun perjalanan kuliahnya tidak mulus, karena sakit kanker payudara yang tidak kunjung sembuh. Ketika dalam kesempatan sandwich ke Australia, mbak Sirikit tidak dapat berangkat karena sakit dan dokter yang merawat tidak merekomendasi. Bahkan ketika sudah lulus dan mendapat kesempatan ke Amerika Serikat dan sudah siap mengajak Mas Anam (suaminya) untuk menemami juga tidak berangkat karena kondisi kesehatan tidak memungkinkan.
Jika ditanya apa yang paling terkesan dari seorang Sirikit, menurut saya “orang idealis”. Bahwa beliau penulis handal, yang menghasilkan banyak esasi, puisi, cerpen dan buku, semua orang sudah tahu. Tetapi bahwa Sirikit seorang idealis yang membuat saya sangat terkesan. Sekolah S3 tidak mau sekedar lulus, tetapi harus menghasilkan penelitian yang bagus. Tidak mau sekedar menulis artikel, tetapi harus yang bermakna. Seringkali mbak Sirikit mengatakan “saya memerlukan uang untuk keluarga saya, tetapi saya tidak mau didikte oleh uang”. Ketika harus mengerjakan suatu tugas dan dia mendukung kegiatan itu, dengan senang hati mbak Sirikit akan mengerjakan walaupun tidak ada uangnya.
Saya teringat suatu saat kami (beberapa teman dan saya) sepakat mendirikan suatu organisasi dan mbak Sirikit bersedia didapuk menjadi sekretaris. Nah, ketika dalam perjalanannya organisasi itu mulai “komersial”, dengan tegas dia menentang dan akhirnya keluar. Kalimat yang keluar, “dahulu kita sepakat mendirikan organisasi itu untuk membantu peningkatan profesionalitas teman-teman yang berprofesi “X” dan bukan untuk mendapatkan uang”. Kalimat itu diucapkan dengan mimik serius dan sejak itu mbak Sirikit benar-benar angkat kaki.
Sekitar tahun 2020an mbak Sirikit tilpun pengin bertemu dan beberapa hari kemudian benar-benar datang bersama Mas Anam. Saya menemuinya bersama isteri, karena memang mereka berteman sejak mahasiswa. Saat itu mbak Sirikit bercerita tentang problem yang terjadi di tempat kerjanya dan meminta saran. Dalam diskusi itu kembali tampak si Sirikit yang idealis. Saya sangat salut. Dalam kondisi kesehatan yang tidak prima dan terancam kehilangan pekerjaan, idealismenya tidak luntur.
Selamat jalan mbak Sirikit. Semoga Allah swt memberimu tempat terbaik di sisiNya. Semoga kami, teman-teman yang panjenengan tinggal tetap mengenangmu sebagai Sirikit sang idealis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar