Senin, 02 Oktober 2023

SEKALI LAGI PENDIDIKAN KARAKTER

Minggu di grup WA yang saya ikut beredar video yang memuat seorang siswa SMP di Cilacap menganiaya temannya.  Saya merasa ngeri melihat kejadian itu.  Hari berikutnya kejadian itu banyak dimuat di berbagai media. Bahkan menurut siaran TV video tersebut menjadi topik pembahasan di media internasional. Konon yang menganiaya itu seorang pimpinan gang yang beranggotakan 30 orang. Siswa teman sekolah yang melihat penganiayaan itu tidak berani melerai karena takut.  Berita terebut belum reda, di TV muncul berita ada remaja Perempuan yang juga dianiaya oleh temannya di Sulawesi Selatan dan akhirnya menjadi utusan polisi.

Sebagai seorang pendidik dan juga pernah menulis buku tentang Pendidikan Karakter, saya bingung merenungkan kejadian tersebut.  Mengapa remaja itu tega menganiaya temannya dengan sangat brutal. Pada hal menurut berita, penganiayaan di SMP Cilacap itu hanya karena korban mengaku menjadi anggota kelompok, sementara yang di Sulawesi Selatan korban dekat dekat dengan pacar di pelaku.  Mungkin teman-teman yang mendalami psikologi sosial perlu melakukan kajian mengapa alasan yang menurut saya sepele itu dapat mendorong anak remaja melakukan penganiayaan yang sampai masuk ke ranah pidana.

Mengingat kedua pelakunya remaja dan bahkan yang di Cilacap melakukannya dengan pakaian seragam sekolah, muncul pertanyaan apakah pendidikan karakter yang selama ini dilaksanakan tidak berhasil ya?  Pentingnya pendidikan karakter telah disampaikan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pada tahun 1930.  Pasal 3 Undang-undang Sisdiknas juga menyebutkan pentingnya karakter.  Dari 8 aspek yang ingin dicapai pendidikan, empat diantaranya merupakan karakter, yaitu beriman, berakhlak mulia, mandiri dan bertanggungjawab.  Sejak saya di SD seingat saya Budi Pekerti menjadi salah satu penilaian dalam rapor. Ketika Prof Mohammad Nuh menjadi Mendikbud secara khusus memiliki program Pendidikan Karakter yang saat itu saya sebut Revitalisasi Pendidikan Karakter, karena sudah ada sebelumnya walaupun kurang berhasil. Mendikbudristek Nadim Makarim juga menjadikan Karakter sebagai salah satu program utama, sehingga ada suvai karakter dalam Asesmen Nasional.  Bahkan perundungan menjadi salah satu butir dalam Akreditasi Sekolah/Madrasah/

Pertanyaannya mengapa masih ada siswa yang menganiaya temannya?  Apakah itu pertanda Pendidikan Karakter belum berhasil untuk tidak mengatakan gagal?  Dalam hal serius seperti ini sebaiknya kita jujur dan tidak mencari dalih apalagi menutupi.  Yang paling penting, jika kita masih yakin bahwa pendidikan karakter itu penting, mencari sebab mengapa itu gagal. Mungkin konsep berpikir “From Hindsight to Foresight” yang pernah diajukan oleh Fishhoff dapat digunakan untuk mencari jalan keluar. Fishhoff menyarankan agar menggerutu, menggunjing, menyesali suatu kejadian (hindsight) harus dihentikan dan sebagai gantinya kita harus melakukan analisis mencari sebab musabab mengapa itu terjadi (insght).  Jika sebab musabab itu ditemukan, kita mencari solusi agar kejadian itu tidak terulang kembali (foresight).

Ketika akan menulis buku Pendidikan Karakter, saya dengan beberapa teman melakukan studi cukup lama. Kami melakukan survai ke berbagai daerah, wawancara dengan berbagai kalangan dan mengamati beberapa sekolah/madrasah/pondok pesantren yang berhasil melaksanakan pendidikan karakter.  Kami menyimpulkan bahwa pendidikan karakter yang efektif dilakukan melalui proses pembudayaan yang disertai keteladanan.  Meminjam istilah Pak Dahlan Iskan, karakter tidak dapat diajarkan tetapi dapat ditularkan.  Jadi yang mengajar harus berkarakter lebih dahulu sebelum mengajarkan (menularkan) kepada siswa/santri atau kepada orang lain. Konon almarhum Kyai Hamid dari Pasurusan suatu saat memberi tausiah dan ditengah-tengahnya berhenti.  Ketika ditanyakan mengapa berhenti, beliau menjelaskan tausiah yang disampaikan belum beliau laksanakan, sehingga beliau merasa tidak berhak menyampaikan kepada jamaah.  Nanti setelah melaksanakan, tausiah akan disampikan. Artinya, seseorang tidak boleh menyuruh orang lain melakukan sesuatu kalau yang bersangkutan sendiri belum melaksanakan.

Mungkinkah kita orang-orang dewasa, orangtua, pada pendidik, para pimpinan negeri ini belum berperilaku seperti yang kita harapkan kepada anak-anak?  Mungkinkah perilaku anak-anak yang kita anggap kurang baik itu justru hasil meniru perilaku kita?  Mungkinkan anak-anak yang menganiaya temannya itu meniru perilaku kita?  Rasanya pertanyaan-pertanyaan itu perlu direnungkan sebagai refleksi diri sebagai orangtua, sebagai pendidik, dan juga mereka yang menyandang jabatan pemimpin di negeri ini.

Tidak ada komentar: