Sabtu, 28 Oktober 2023

SISTEM NILAI KITA BERGESER?

Sekian tahun lalu ada kelakar. Konon ada seorang tokoh di negeri ini ulang tahun dan seluruh anak cucunya berkumpul. Satu persatu cucunya ditanya minta hadiah apa.  Tentu anak-anak senang, sehingga minta macam-macam.  Dasar beliau orang kaya, sehingga cucunya minta apapun tidak kawatir karena pasti dapat membelinya.  Tiba cucu yang sudah agak besar, ketika ditanya minta hadiah apa, tidak mau menjawab.  Diulangi lagi, minta apa tetap tidak mau menjawab. Setelah didesak menjawab “saya malu eyang”.  Yang menarik, si eyang menjawab “kalau malu saya tidak punya”.

Apa yang diceritakan di atas tentu bukanlah kejadian sesungguhnya. Namanya juga lelucon yang dibuat, didramatisasi oleh si pengarang. Namun mungkin saja itu sebuat satire yang sengaja dibuat oleh seseorang yang merasa mengintakan pembaca atau pendengar bahwa ada perilaku tokoh yang dianggap kurang baik.  Saya teringat lelucon itu karena rasanya akhir-akhir terjadi dalam kehidupan sesungguhnya saat ini.  Orang-orang yang pernah korupsi dan bahkan dipenjara tidak sungkan untuk tampil ke publik, menyampaikan pendapat di media televisi maupun media lainnya. Bahkan beberapa diantaranya menjadi pimpinan suatu organisasi yang katanya memperjuangkan nasib rakyat.  Ketika masih berada di dalam penjarapun, ada yang tidak sungkan tampil di media masa, sambil tertawa.

Ada versi yang lain.  Ada pimpinan yang ditangkap karena korupsi, pada hal beberapa hari sebelumnya yang bersangkutan mengadakan “apel integritas” yang diikuti oleh banyak karyawan bawahannya.  Konon pada apel tersebut yang berangkutan menekankan bahkan mengancam jika ada karyawan korupsi akan dipecat.  Orang menjadi bertanya-tanya ketika beberapa hari sesudah itu justru yang bersangkutan ditangkap KPK.  Pada hal penangkapan KPK selalu didahului dengan pengintaian cukup lama. Jadi saat yang bersangkutan memimpina apel integritas, petugas KPK yang sedang mengintai tersenyum.  Jika si pengintai itu orang Jawa, mungkin berguman “ora ndelok gitoke” yang artinya kurang lebih “tidak melihat kesalahan sendiri”.

Versi lain lagi. Ada tokoh yang menghujat tokoh lain yang konon menjadi “lawannya”. Ee, beberapa waktu kemudian yang bersangkutan membela tokoh yang dihujat itu mati-matian. Pada hal publik masih apa yang dahulu diucapkan atau bahkan ada rekaman yang dimuat oleh media masa.  Seakan-akan kejadian itu membenarkan ungkapan bahwa bagi orang tertentu, tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.  Siapa yang yang berbeda atau menghalangi kepentingannya menjadi lawan dan siapa yang mendukung kepentingannya menjadi kawan.

 

Apakah sistem nilai kita sudah bergeser, sehingga korupsi dianggap bukan sesuatu yang salah dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.  Apakah pendapat bahwa korupsi itu sama dengan mencuri dan yang dicuri adalah uang rakyat, sudah tidak belaku lagi?  Apakah pameo yang mengatakan bagi seorang tokoh yang dipegang itu omongannya, sudah tidak berlaku lagi ya?  Apakah satunya perkataan dan perbuatan haruslah menjadi pedoman dalam kehidupan, sudah tidak berlaku ya?  Apakah kata bijak bahwa seorang tokoh haruslan konsisten dengan apa yang dikatakan sudah tidak berlaku ya?

Jujur saya tidak tahu dan bahkan bingung.  Sebagai pendidik saya merasa kesulitan kalau harus menjelaskan fenomena itu. Untung tidak pernah anak siswa dan mahasiswa yang bertanya.  Biarlah para ahli psikologi, ahli filsafat, ulama, pendeta, pastur yang mencari jawabnya. Biarlah masyarakat yang menilainya.  Biarkan sejarah yang akan mencatat dan membuktikan “siapa dia”.

Mungkin ada yang berdalih, bukankah dahulu Bung Karno, Bung Hatta, bahkan Buya Hamka juga pernah dihukum. Bukankah Anwar Ibrahim yang sekarang menjadi Perdana Menteri Malaysia juga pernah dihukum. Saat ini juga ada tokoh yang dahulu pernah dihukum di jaman Orde Baru. Namun sepanjang pengetahuan saya, empat orang  yang disebutkan pertama dan beberapa tokoh muda tersebut dihukum bukan karena korupsi tetapi karena berbeda pandangan atau katakankah menentang pemerintahan atau penguasa saat itu.

Sebagai pendidik dan orang yang pernah meneliti dan menulis buku Pendidikan Karakter, saya ngeri melihat fenomena ini.  Mengapa?  Karena menurut apa yang say abaca “fenomena yang terjadi berulang-ulang dan dibiarkan lama-lama akan menjadi kebenaran”.  Saya takut kalau fenomena yang saya ceritakan di atas terus terjadi, maka pada akhirnya masyarakat akan menganggap hal seperti itu benar.  Jangan-jangan itu yang menyebabkan pendidikan karakter “gagal”, karena contoh yang terjadi di masyarakat tidak sama dengan diajarkan oleh guru di sekolah.

Tidak ada komentar: