Senin, 19 Februari 2024

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

 Kemarin sore saya ikut diskusi dengan beberapa teman, termasuk seorang teman dari NEASC, sebuah lembaga akreditasi di Amerika Serikat.  Sebenarnya topik diskusi tentang akreditasi sekolah oleh lembaga akreditasi luar negeri. Apakah sudah waktunya sekolah di Indonesia diakreditai oleh lembaga akreditasi dari luar negeri. Untuk tingkat perguruan tinggi, Kemendikbudristek mendorong agar universitas diakreditasi oleh lembaga akreditasi dari luar negeri.  Bahkan diberi bantuan biaya.  Mungkin maksudnya untuk mendorong perguruan tinggi meningkatkan mutu dan berani “keluar kendang”.  Namun untuk tingkat sekolah, seperti belum ada arah ke sana.  Semua sekolah diakreditasi oleh BAN PDM (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah) yang merupakan gabungan BAN S/M (BAN Sekolah/Madrasah) dan BAN Pendidikan Anak Usia Dini (BAN PAUD).  Pada hal sudah banyak sekolah “internasional” yang menggunakan kurikulur luar negeri, misalnya IB dan Cambridge. Bahkan sebelum dibubarkan karena landasan hukumnya di UU Sisdiknas dibatalkan, pemerintah merintis banyak RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).  Nah, setelah dibubarkan, banyak sekolah tersebut tetap melaksanakan pola pendidikannya dan berganti nama menjadi SPK (Sekolah dengan Perjanjian Kerjasama).

Ketika diskusi berlangsung, kemudian muncul bahasan Standar Nasional Pendidikan.  Pada awalnya teman dari Amerika itu bertanya, apakah Indonesia memiliki Standar Nasional Pendidikan, dan tentu kami yang dari Indonesia mengatakan “PUNYA” dan itu merupakan Permendikbud.  Jadi merupakan sebuah regulasi. Semua lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi harus mengikuti standar tersebut.  Bahasa kerennya, itu “standar minimal”, artinya boleh melebihi tetapi tidak boleh kurang dari itu.  Di kalangan sekolah, dikenal delapan standar pendidikan, yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, STandar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana-Prasarana, Standar Pembiayaan, dan Standar Pengelolaan.  Untuk perguruan tinggi, dutambah Standar Penelitian dan Standar Pengabdian kepada Masyarakat.

Si Amerika kemudian bertanya, kira-kira “Kalau suatu perguruan tinggi diakreditasi oleh lembaga akreditasi dari luar Indonesia, standar mana yang digunakan?”.  Bukankah lembaga akreditasi lazimnya menggunakan standar tertentu, misalnya lembaga akreditasi dari negara-negara di Eropa, seperti ASIIN, AQAS menggunakan standar Eropa (European Standard).  Pada hal perguruan tinggi di Indonesia menggunakan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia.  Apakah itu cocok?

Mencerna pertanyaan teman dari Amerika itu, saya jadi teringat pemahaman bahwa pendidikan itu pada dasarnya culture bound, siswa/mahasiswa berasal dari budaya tertentu dan nanti akan hidup dan bekerja di suatu masyarakat yang memiliki budaya tertentu pula.   Karena budaya satu daerah dengan daerah lainnya tidak tepat sama, maka konten maupun proses pembelajaran juga tidak harus tepat sama.  Saya juga teringat cerita Prof Usman Chatib Warsa, ketua LAM PT Kes bahwa WFME (World Federation of Medical Education) menyarankan agar akreditasi Prodi Kedokteran memasukan aspek budaya dalam instrumennya.  Saya juga teringat penjelasan Prof Willy Toisuta seorang tokoh pendidikan dan mantan rektor UKSW bahwa pendidikan di Papua banyak mengalami problem budaya, karena pola pendidikan yang diterapkan tidak sesuai dengan budaya masyarakat dimana para siswa berasal. Apa yang dibiasakan di sekolah dengan harapan menjadi budaya, berbeda dengan budaya di lingkungan rumah siswa.

Memang ada hal-hal yang sifat general, biasanya yang terkait dengan teori atau sains keras, seperti Matematika, Fisika dan sebagainya.  Tetapi yang terkait dengan bidang Sosial-Humaniora rasanya terkait erat dengan budaya setempat.  Bahkan penerapan dalam kehidupan dari sains keraspun juga terkait dengan budaya. Apalagi jika diingat bahwa pendidikan bukankah sekedar mempelajari ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi mengembangkan potensi siswa agar nantinya dapat menjadi manusia yang mandiri dan berperanserta dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.   Jadi tidak lepas dari apsek budaya.

Jadi bagaimana dengan sekolah/perguruan tinggi di Indonesia yang diakreditasi oleh lembaga akreditasi dari negara lain?  Menurut saya, sebaiknya lembaga tersebut memiliki instrument khusus yang berbasis budaya Indonesia atau paling tidak memiliki suplemen untuk mengakomodari budaya Indonesia dan membuang hal-hal yang bersifat budaya negaranya. Tentu hal-hal yang sifatnya “core” sekolah/perguruan tinggi tetap digunakan. 

Tidak ada komentar: