Jum’at,
22 Nopember 2013 pukul 16.00 saya diundang BEM Unesa untuk diskusi tentang
pemimpin Unesa masa depan. Saya gembira
BEM melakukan langkah itu, karena menunjukkan mahasiswa peduli dengan masa
depan kampus. Jabatan saya sebagai
rektor akan berakhir tanggal 25 Juni 2014, sehingga memang sudah waktunya untuk
memikirkan rektor yang akan datang.
Namun
saya memberi catatan agar tidak tergelincir kepada kepentingan jangka pendek. Misalnya berpihak kepada orang tertentu yang
ingin menjadi pemimpin Unesa. Oleh
karena itu, saya menyarankan BEM lebih berkosentrasi kepada kriteria yang tepat
untuk menjadi pemimpin Unesa. Jika
kriteria berhasil dibangun dengan melibatkan banyak elemen di Unesa,
selanjutnya melayinkan Senat Universitas untuk menggunakannya.
Pemimpin
itu punya sisi situasional. Setiap
situasi memerlukan pemimpin dengan karateristik tertentu. Artinya pemimpin yang cocok di era 1945 belum
tentu cocok untuk era tahun 2000an.
Pemimpin yang cocok untuk memimpin Amerika Serikat belum tentu cocok
untuk memimpin Indonesia. Pemimpin yang
sukses memimpin Indonesia belum tentu cocok untuk memimpin Jerman. Oleh karena itu, untuk menemukan karateristik
pemimpin Unesa masa depan, harus diidentifikasi lebih dahulu tantangan yang
dihadapi Unesa.
Empai-lima
tahun lalu tantangan pokok Unesa adalah rasa percaya diri warganya yang rendah. Dosen, karyawan dan mahasiswa tidak bangga
sebagai warga Unesa. Banyak diantara
mereka yang menggunakan jaket dan memasang stiker universitas/perguruan tinggi
lain di mobil atau motornya.
Mengapa? Banyak faktor. Unesa belum setenar universitas lain,
katakanlah Unair dan ITS. Kampus Unesa
juga belum semegah Unair dan ITS. Bahkan
ketika saya ngobrol dengan beberapa dosen muda dan karyawan dan bertanya, bagus
mana kampus Unesa dengan UPI, dengan UNY, dengan UM dan dengan Unnes. Mereka serentak mengataskan Unesa kalah.
Seorang
dosen muda juga mengeluh mengapa masalah pendidikan sering dibahas oleh dosen
Unair atau dosen universitas lain.
Sementara dosen Unesa tidak pernah muncul di koran. Tampaknya pihak koran juga tidak begitu
mengenal Unesa dan orang-orang Unesa, sehingga lebih sering menanyakan komentar
atau pendapat tentang pendidikan kepada dosen Unair, ITS dan universitas lain.
Bahkan
konon ada tamu yang akan ke Unesa, sopir taksi juga tidak mengenal Unesa. Sopir itu baru tahu ketika tamu tadi menyebut
Unesa itu dulu IKIP Surabaya. Pada hal
perubahan itu sudah berlangsung sepuluh tahun.
Jarangnya Unesa muncul di pemberitaan menyebabkan sopir taksi tidak tahu
Unesa.
Kondisi
itu tampaknya sudah tidak terjadi saat ini.
Peminat SNMPTN 2013 di Unesa telah melampaui Unair dan ITS. Mahasiswa Unesa juga percaya diri menjadi
tuan rumah berbagai pertemuan mahasiswa tingkat nasional. Beberapa menteri dan pimpinan nasional telah
hadir ke Unesa, misalnya Mendikbud, Menko Perekonomian, Menteri Kehutanan,
Menteri BUMN, Wakil Ketua DPR, Dubes
China dan sebagainya.
Unesa
juga berhasil masuk dalam proyek 7in1 (seven in one) dengan bantuan IDB bersama
Unsyah, UNY, Untan, Unlam, UNG dan Unsrat.
Bahkan Unesa ditunjuk sebagai koordinator. Proyek yang akan efektif mulai tahun 2014 dan
memberi dukungan 39,2 juta dolar Amerika itu akan membuat Unesa dapat melengkapi
sarana kampus atau bahkan mengubah wajah kampus Unesa. Dana perbaikan kampus yang selama ini menjadi
problem akan teratasi lima tahun mendatang.
Kalau
begitu apa tantangan pokok yang dihadapi
Unesa ke depan? Menurut saya masalah
iklim akademik dan kerjasama internasional.
Sebagai organisasi, universitas memiliki ciri khas. Universitas tempatnya orang-orang yang
memiliki kebanggaan keilmuan yang kadang-kadang agak berlebihan. Dosen dan mahasiswa universitas ternama
sering melihat sebelah mata kepada universitas yang lebih kecil. Dosen dan mahasiswa fakultas atau jurusan top
seringkali melihat sebelah mata kepada dosen dan mahasiswa yang kurang favorit.
Pandangan
semacam itu terkurangi kepada orang yang memiliki standing akademik kukuh. Walaupun tahu kalau Pak Budi Darma itu dosen
Unesa, tetapi orang-orang Unair, ITS, UGM akan tetap respek karena kapasitas
beliau. Hal serupa terjadi untuk Pak
Mohamad Nur dan almarhum Pak Soedjadi.
Menurut
saya pemimpin Unesa ke depan, pertama
harus memiliki standing akademik yang
kukuh. Mengapa? Karena secara kelembagaan Unesa belum sekukuh
Unair, ITS, UGM, UI dan sebagainya. Jika
rektornya memiliki standing akademik kukuh, akan memudahkan Unesa bergaul dan
duduk setara dengan universitas ternama di tingkat nasional. Dengan demikian akan membuat Unesa dikenal
luas dan yang lebih penting dapat terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan
di tingkat nasional.
Standing
akademik seringkali berujung kepada popularitas. Namun popularitas tidak selalu berangkat dari
standing akademik. Banyak orang populer
tetapi tidak memiliki standing akademik kukuh.
Orang semacam itu kurang cocok sebagai pemimpin univeritas sekelas
Unesa, karena akan dicibir oleh orang-orang universitas. Siapa dia dan apa prestasi akademiknya? Pertanyaan seperti sering terlontas jika ada
orang populer tetapi standing akademiknya tidak kuat.
Kriteria
kedua, pemimpin Unesa ke depan harus
memiliki integritas yang kuat.
Mengapa? Untuk mengelola proyek
IDB dengan dana 39,2 juta dolar atau sekitar 420 milyar diperlukan integritas
kuat. Bukankah ada PR-2 dan PPK? Memang ada pelaksana proyek, tetapi rektor
sebagai pengambil kebijakan. Godaan mengelola proyek sebesar itu pasti tidak
sedikit. Oleh karena itu diperlukan
orang yang tidak mudah tergoda. Pepatah
mengatakan semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa. Diperlukan akar yang kuat agar pohon tidak
mudah ambruk diterpa angin.
Apakah
kriteria standing akademik dan integritas bukan syarat umum bagi rektor? Betul.
Namun sangat penting bagi Unesa, yang baru mulai mendapat kepercayaan
masyarakat. Jika rektor ke depan
memiliki standing akademik yang kukuh dan integritas yang kuat, kepercayaan
tersebut akan berkembang lebih cepat.
Sebaliknya jika tidak, sangat mungkin akan menurun lagi.
Kriteria
ketiga adalah kemampuan membangun
jejaring internasional. Ibarat
pabrik Unesa belum memiliki merk yang terkenal.
Oleh karena itu perlu menggandeng universitas lain agar Unesa dapat
numpang nama universitas tersebut. Era
global memaksa semua universitas bekerjasama dengan universitas lain di luar
negeri. Program double degree,
pengiriman dosen dan mahasiswa, penelitian bersama merupakan contoh kerjasama
yang harus dilakukan.
Memang
saat ini Unesa sudah memiliki kerjasama double degree dengan beberapa
universitas, misalnya dengan Utrecht University-Belanda (program S2 internasional
Pend Matematika), dengan Curtin University-Australia (program double degree S2
Pend Matematika dan Pend Sains), NIU Amerika Serikat (double degree S2 Pend
Bahasa Inggris), pengiriman mahasiswa untuk credit earning ke Burapa dan Prince
Songkla di Thailand. Beberapa rintisan
lain masih memerlukan tindak lanjut yang cepat, misalnya rintisan tukar menukar
dosen dan mahasiswa dengan Tianjin University di China dan Aichi University of
Education di Jepang, penelitian bersama dengan Utah State University di Amerika
Serikat. Flinder University di Autralia
telah sepakat untuk melakukan split PhD program untuk PLB, sedangkan Monash
University untuk Linguistik.
Unesa
masih memerlukan lebih banyak kerjasama intenasional. Apalagi kerjasama yang selama ini berjalan
masih cenderung bersifat satu arah.
Unesa mengirim dosen dan mahasiswa untuk menempuh studi di universitas
luar negeri. Unesa mengundang dosen dari
universitas luar negeri untuk mengajar di Unesa. Masih sangat sedikit mahasiswa asing yang
kuliah di Unesa dan masih sangat sedikit dosen Unesa yang mengajar di
universitas luar negeri. Unesa
memerlukan pemimpin yang mampu meyakinkan universitas luar negeri untuk mau
bekerjasama.
Apa
tugas itu tidak cukup dilaksanakan oleh PR Bidang Kerjasama? Pelaksanaannya memang dapat ditugaskan
kepada PR Bidang Kerjasama. Namun rektor
harus dapat memberi arahan dan untuk itu diperlukan memberi teladan. Apalagi dalam event tertentu rektor harus
tampil menyampaikan gagasan di forum internasional. Setiap tamu dari luar negeri tentu ingin
bertemu denga rektor dan pada saat seperti itu rektor harus menyampaikan
gagasannya.
1 komentar:
saya sangat setuju dengan pemimpin yang harus punya standar akademik yang tinggi dimana hal itu sangat jarang di UNESA. ketika saya kuliah saya sering "disuruh" bangga dengan UNESA. buat saya itu hal yang hampir mustahil saya lakukan hingga sekarang. perlunya keterbukaan dan kejujuran bagi seluruh warga UNESA untuk berani tidak bangga sehingga punya keinginan yang kuat untuk menjadikan UNESA sebagai kebanggaan (alumni FE Unesa Manajeman 2005, sekarang ODP di salah satu Bank BUMN) semoga terpilih pemimpin UNESA seperti pak Muchlas Samani saat ini. Amin
Posting Komentar