Senin, 25 November 2013

MENCARI PEMIMPIN UNESA MASA DEPAN

Jum’at, 22 Nopember 2013 pukul 16.00 saya diundang BEM Unesa untuk diskusi tentang pemimpin Unesa masa depan.   Saya gembira BEM melakukan langkah itu, karena menunjukkan mahasiswa peduli dengan masa depan kampus.  Jabatan saya sebagai rektor akan berakhir tanggal 25 Juni 2014, sehingga memang sudah waktunya untuk memikirkan rektor yang akan datang.

Namun saya memberi catatan agar tidak tergelincir kepada kepentingan jangka pendek.  Misalnya berpihak kepada orang tertentu yang ingin menjadi pemimpin Unesa.  Oleh karena itu, saya menyarankan BEM lebih berkosentrasi kepada kriteria yang tepat untuk menjadi pemimpin Unesa.  Jika kriteria berhasil dibangun dengan melibatkan banyak elemen di Unesa, selanjutnya melayinkan Senat Universitas untuk menggunakannya.

Pemimpin itu punya sisi situasional.  Setiap situasi memerlukan pemimpin dengan karateristik tertentu.  Artinya pemimpin yang cocok di era 1945 belum tentu cocok untuk era tahun 2000an.  Pemimpin yang cocok untuk memimpin Amerika Serikat belum tentu cocok untuk memimpin Indonesia.  Pemimpin yang sukses memimpin Indonesia belum tentu cocok untuk memimpin Jerman.  Oleh karena itu, untuk menemukan karateristik pemimpin Unesa masa depan, harus diidentifikasi lebih dahulu tantangan yang dihadapi Unesa.

Empai-lima tahun lalu tantangan pokok Unesa adalah rasa percaya diri warganya yang rendah.  Dosen, karyawan dan mahasiswa tidak bangga sebagai warga Unesa.  Banyak diantara mereka yang menggunakan jaket dan memasang stiker universitas/perguruan tinggi lain di mobil atau motornya.   Mengapa?   Banyak faktor.  Unesa belum setenar universitas lain, katakanlah Unair dan ITS.  Kampus Unesa juga belum semegah Unair dan ITS.  Bahkan ketika saya ngobrol dengan beberapa dosen muda dan karyawan dan bertanya, bagus mana kampus Unesa dengan UPI, dengan UNY, dengan UM dan dengan Unnes.  Mereka serentak mengataskan Unesa kalah.

Seorang dosen muda juga mengeluh mengapa masalah pendidikan sering dibahas oleh dosen Unair atau dosen universitas lain.  Sementara dosen Unesa tidak pernah muncul di koran.  Tampaknya pihak koran juga tidak begitu mengenal Unesa dan orang-orang Unesa, sehingga lebih sering menanyakan komentar atau pendapat tentang pendidikan kepada dosen Unair, ITS dan universitas lain.

Bahkan konon ada tamu yang akan ke Unesa, sopir taksi juga tidak mengenal Unesa.  Sopir itu baru tahu ketika tamu tadi menyebut Unesa itu dulu IKIP Surabaya.  Pada hal perubahan itu sudah berlangsung sepuluh tahun.  Jarangnya Unesa muncul di pemberitaan menyebabkan sopir taksi tidak tahu Unesa.

Kondisi itu tampaknya sudah tidak terjadi saat ini.  Peminat SNMPTN 2013 di Unesa telah melampaui Unair dan ITS.  Mahasiswa Unesa juga percaya diri menjadi tuan rumah berbagai pertemuan mahasiswa tingkat nasional.   Beberapa menteri dan pimpinan nasional telah hadir ke Unesa, misalnya Mendikbud, Menko Perekonomian, Menteri Kehutanan, Menteri BUMN,  Wakil Ketua DPR, Dubes China dan sebagainya.

Unesa juga berhasil masuk dalam proyek 7in1 (seven in one) dengan bantuan IDB bersama Unsyah, UNY, Untan, Unlam, UNG dan Unsrat.  Bahkan Unesa ditunjuk sebagai koordinator.  Proyek yang akan efektif mulai tahun 2014 dan memberi dukungan 39,2 juta dolar Amerika itu akan membuat Unesa dapat melengkapi sarana kampus atau bahkan mengubah wajah kampus Unesa.  Dana perbaikan kampus yang selama ini menjadi problem akan teratasi lima tahun mendatang.

Kalau  begitu apa tantangan pokok yang dihadapi Unesa ke depan?  Menurut saya masalah iklim akademik dan kerjasama internasional.  Sebagai organisasi, universitas memiliki ciri khas.  Universitas tempatnya orang-orang yang memiliki kebanggaan keilmuan yang kadang-kadang agak berlebihan.  Dosen dan mahasiswa universitas ternama sering melihat sebelah mata kepada universitas yang lebih kecil.  Dosen dan mahasiswa fakultas atau jurusan top seringkali melihat sebelah mata kepada dosen dan mahasiswa yang kurang favorit.

Pandangan semacam itu terkurangi kepada orang yang memiliki standing akademik kukuh.  Walaupun tahu kalau Pak Budi Darma itu dosen Unesa, tetapi orang-orang Unair, ITS, UGM akan tetap respek karena kapasitas beliau.  Hal serupa terjadi untuk Pak Mohamad Nur dan almarhum Pak Soedjadi.

Menurut saya pemimpin Unesa ke depan, pertama harus memiliki standing akademik yang kukuh.   Mengapa?  Karena secara kelembagaan Unesa belum sekukuh Unair, ITS, UGM, UI dan sebagainya.  Jika rektornya memiliki standing akademik kukuh, akan memudahkan Unesa bergaul dan duduk setara dengan universitas ternama di tingkat nasional.  Dengan demikian akan membuat Unesa dikenal luas dan yang lebih penting dapat terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan di tingkat nasional.

Standing akademik seringkali berujung kepada popularitas.  Namun popularitas tidak selalu berangkat dari standing akademik.  Banyak orang populer tetapi tidak memiliki standing akademik kukuh.  Orang semacam itu kurang cocok sebagai pemimpin univeritas sekelas Unesa, karena akan dicibir oleh orang-orang universitas.  Siapa dia dan apa prestasi akademiknya?  Pertanyaan seperti sering terlontas jika ada orang populer tetapi standing akademiknya tidak kuat.

Kriteria kedua, pemimpin Unesa ke depan harus memiliki integritas yang kuat.  Mengapa?  Untuk mengelola proyek IDB dengan dana 39,2 juta dolar atau sekitar 420 milyar diperlukan integritas kuat.  Bukankah ada PR-2 dan PPK?  Memang ada pelaksana proyek, tetapi rektor sebagai pengambil kebijakan. Godaan mengelola proyek sebesar itu pasti tidak sedikit.  Oleh karena itu diperlukan orang yang tidak mudah tergoda.  Pepatah mengatakan semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa.  Diperlukan akar yang kuat agar pohon tidak mudah ambruk diterpa angin.

Apakah kriteria standing akademik dan integritas bukan syarat umum bagi rektor?  Betul.  Namun sangat penting bagi Unesa, yang baru mulai mendapat kepercayaan masyarakat.  Jika rektor ke depan memiliki standing akademik yang kukuh dan integritas yang kuat, kepercayaan tersebut akan berkembang lebih cepat.  Sebaliknya jika tidak, sangat mungkin akan menurun lagi.

Kriteria ketiga adalah kemampuan membangun jejaring internasional.  Ibarat pabrik Unesa belum memiliki merk yang terkenal.  Oleh karena itu perlu menggandeng universitas lain agar Unesa dapat numpang nama universitas tersebut.  Era global memaksa semua universitas bekerjasama dengan universitas lain di luar negeri.  Program double degree, pengiriman dosen dan mahasiswa, penelitian bersama merupakan contoh kerjasama yang harus dilakukan.

Memang saat ini Unesa sudah memiliki kerjasama double degree dengan beberapa universitas, misalnya dengan Utrecht University-Belanda (program S2 internasional Pend Matematika), dengan Curtin University-Australia (program double degree S2 Pend Matematika dan Pend Sains), NIU Amerika Serikat (double degree S2 Pend Bahasa Inggris), pengiriman mahasiswa untuk credit earning ke Burapa dan Prince Songkla di Thailand.   Beberapa rintisan lain masih memerlukan tindak lanjut yang cepat, misalnya rintisan tukar menukar dosen dan mahasiswa dengan Tianjin University di China dan Aichi University of Education di Jepang, penelitian bersama dengan Utah State University di Amerika Serikat.  Flinder University di Autralia telah sepakat untuk melakukan split PhD program untuk PLB, sedangkan Monash University untuk Linguistik.

Unesa masih memerlukan lebih banyak kerjasama intenasional.  Apalagi kerjasama yang selama ini berjalan masih cenderung bersifat satu arah.  Unesa mengirim dosen dan mahasiswa untuk menempuh studi di universitas luar negeri.  Unesa mengundang dosen dari universitas luar negeri untuk mengajar di Unesa.  Masih sangat sedikit mahasiswa asing yang kuliah di Unesa dan masih sangat sedikit dosen Unesa yang mengajar di universitas luar negeri.  Unesa memerlukan pemimpin yang mampu meyakinkan universitas luar negeri untuk mau bekerjasama.

Apa tugas itu tidak cukup dilaksanakan oleh PR Bidang Kerjasama?   Pelaksanaannya memang dapat ditugaskan kepada PR Bidang Kerjasama.  Namun rektor harus dapat memberi arahan dan untuk itu diperlukan memberi teladan.  Apalagi dalam event tertentu rektor harus tampil menyampaikan gagasan di forum internasional.  Setiap tamu dari luar negeri tentu ingin bertemu denga rektor dan pada saat seperti itu rektor harus menyampaikan gagasannya.

Ketiga syarat tadi (standing akademik, integritas dan kemampuan membangun jejaring internasional) menjadi lebih penting, karena rektor harus memberi teladan kepada dosen.  Dapat dibayangkan, apa reaksi dosen yang didorong untuk menulis karya ilmiah dan presentasi di seminar internasional, jika yang menyuruh tidak mampu melakukan.  Dapat dibayangkan, apa reaksi dosen yang didorong untuk melakukan kerjasama penelitian atau mengajar di universitas luar negeri, jika yang menyuruh tidak dapat melakukannya.

1 komentar:

ronny mengatakan...

saya sangat setuju dengan pemimpin yang harus punya standar akademik yang tinggi dimana hal itu sangat jarang di UNESA. ketika saya kuliah saya sering "disuruh" bangga dengan UNESA. buat saya itu hal yang hampir mustahil saya lakukan hingga sekarang. perlunya keterbukaan dan kejujuran bagi seluruh warga UNESA untuk berani tidak bangga sehingga punya keinginan yang kuat untuk menjadikan UNESA sebagai kebanggaan (alumni FE Unesa Manajeman 2005, sekarang ODP di salah satu Bank BUMN) semoga terpilih pemimpin UNESA seperti pak Muchlas Samani saat ini. Amin