Minggu, 04 Mei 2014

BERMIMPI MAU NYALEG

Republika tanggal 29 April memuat tulisan Buya Syafi’i Ma’arif tentang tentangganya yang menjadi tim sukses calon anggota DPRD.  Katanya menjelang pileg, yang bersangkutan menebar uang kepada calon pemilihnya.  Katanya untuk 1 TPS menghabiskan dana 50 juta rupiah.  Pak Didik, seorang teman di Jakarta bercerita, temannya yang sekarang sudah menjadi anggota DPR nyaleg lagi tetatpi gagal terpilih.  Mengapa?  Karena subuh menjelang pileg, pesaingnya menyebar uang 50 ribu per orang.  Instilahnya serangan fajar.  Pak Gong, teman saya yang lain bercerita temannya yang juga nyaleg sangat cerdik.  Di mengandeng teman lainnya yang nyaleg di propinsi dan kabupaten.  Mereka bertiga kongsi menyebar serangan fajar 100 ribu per orang, tetapi untuk satu paket, calon DPR Pusat, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten.  Dan sukses.  Kata Pak Gong, masyarakat tidak melihat itu paket atau perorangan, yang nampak duitnya 100 ribu rupiah.

Merenungkan tulisan Buya Syafi’i Ma’arif, cerita Pak Didik dan Pak Gong, saya jadi ingat berita tentang penelitian Pramono Anung untuk disertasinya.  Konon untuk nyaleg memang perlu biaya mahal.  Saya tidak ingat berapa besar dana yang diperlukan.  Namun, beberapa hari lalu, seorang caleg muda mengeluarkan dana 8 milyar lebih dan berhasil.   Saya juga dapat info, katanya kalau nyaleg DPR (pusat) dan serius ingin jadi diperlukan dana minimal 3-5 milyar, untuk DPRP Provinsi perlu 1-3 milyar dan untuk DPRD Kabupaten/kota diperlukan dana minimal 750 juta- 2 milyar.  Saya tidak bergitu yakin terhadap informasi tersebut. 

Namun diam-diam juga merenung, jangan-jangan benar.  Buktinya ada caleg yang mengalami gangguan jiwa ketika gagal.  Ada juga yang meminta uangnya kembali kepada pemilih yang pernah diberinya.  Ada yang ngamuk.  Di televisi ada calon yang mengeluh, sudah beberapa bulan “membina” konstituen dan habis biaya banyak, tiba-tiba konstituwen mendapat serangan fajar dan berpindah pilihan.

Saya jadi merenung, kalau begitu berapa dana yang dikeluarkan oleh para caleg ya?  Konon jumlah caleg DPR, DRPD Provinsi dan DPRD Kabupaten sebanyak kurang lebih 20.000 orang.  Bisa jadi dana yang dikeluarkan mereka, jika ditotal bisa melebihi 40 trilyun rupiah, dengan asumsi setiap caleg rata-rata mengeluarkan 2 milyar.  Masya Allah, besar sekali ya.  Kalau dana sebesar itu dibuat membangun SD dan setiap SD memerlukan 0,5 milyar berarti dana tadi dapat membangun 80.000 buah SD.  Karena Indonesia memiliki sekitar 400 kabupaten/kota, berarti setiap kabupaten/kota rata-rata mendapat bagian 1.600 buah SD baru.  Bukan main.

Dalam suatu kesempatan saya bertemu teman tokoh muda, anggota DPR dan juga sedang nyaleg lagi.  Saya berkelakar, dari pada beliau menghabiskan dana 4 milyar untuk ini dan itu, apa tidak lebih baik dana itu dibuat membangun sekolah di kabupaten/kota Dapilnya.  Nanti dibuat acara peresmian, biar masyarakat mengetahuinya.  Apa jawab beliau?  Menurut beliau, pola itu tidak cocok di era ini.  Era sekarang, setiap pemilih ingin mendapat uang untuk dirinya.  Toh kalau sudah terpilih tidak dapat lagi nagih apa-apa.  Bahka untuk bertemu saja susah.

Mengapa percalegan memerlukan dana sebegitu besar?  Itupun belum termasuk dana penyelenggaran pemilu.  Betapa mahalnya demokrasi untuk memilih anggota DRP, DRPS Provinsi dan DPRD Kabupatebn/Kota.  Apa memang demokrasi itu mahal ya?  Apakah ada yang salah demokrasi kita, sehingga menjadi begitu mahal?

Saya bukan ahli ilmu politik atau ilmu hukum tata negara, sehingga tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Saya juga bukan politisi dan tidak pernah menjadi tim sukses, sehingga tidak punya pengalaman bagaimana liku-liku percalegan.  Dan saya juga belum pernah “dapat serangan fajar”, sehingga tidak tahu bagaimana perasaan saat menerima serangan seperti itu.

Namun, sebagai orang yang menekuni dunia pendidikan ingin berbagi pandangan dari sisi pendidikan.  Dalam dunia pendidikan itu dikenal prinsip “perilaku melebihi ucapan” dan “anak didik seringkali lebih pandai dari pada yang kita duga”.  Saya menduga ada siswa SMA dan bahkan mungkin SMP yang memikirkan angka-angka yang saya sebutkan di atas.  Saya jugabtidak tahu apa simpulan anak-anak SMP dan SMA jika mengetahui biaya yang dikeluarkan oleh para caleg dan biaya untuk penyelenggaraan pemilu.

Saya membayangkan, apakah setelah menjadi angota DRP/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten, mereka  tidak memikirkan pengembalian uang untuk pencalegan ya.  Saya kok ragu.  Tetapi jika mereka memikirkan, kok menjadi tidak logis.  Jika untuk menjadi caleg DPR memerlukan dana 5 milyar, sedangkan masa jabatannya 5 tahun, berarti setiap tahun harus mendapat penghasilan 1 milyar.  Itupun hanya untuk mengembalikan modal nyaleg.  Lantas berapa gali anggota DPR ya?  Pada hal, katanya anggota DPR harus menyumbang ke partainya juga.

Jangan-jangan itu yang menjadi penyebab, anggota DPR terpaksa mencari “tambahan penghasilan”, karena harus mengembalikan modal nyaleg, ditambah kebutuhan keluarga, ditambah lagi sumbangan ke partai.  Tetapi kok kehidupan para anggota DPR tampak mewah ya.  Tetapi kok hampir semua anggota DPR nyaleg lagi ya.  Bukankah itu indikator penghasilan DPR cukup besar bahkan berlebih untuk kebutuhan di atas.

Sebagai pendidik saya sulit untuk mengerti.  Mungkin pepatah 1 + 1 pasti sama dengan dua salam Matematika.  Tetapi dalam dunia politik konon  1 + 1 tidak selalu sama dengan 2. Nah, mungkin pola iti juga berlaku dalam hitung-hitungan penghasilan anggota DPR.  Betapa sulitnya matematika DPR ya.  Oleh karena itu mimpi nyaleg-pun saya tidak berani, karena tidak faham matematikanya.

Tidak ada komentar: