Republika
tanggal 29 April memuat tulisan Buya Syafi’i Ma’arif tentang tentangganya yang
menjadi tim sukses calon anggota DPRD. Katanya
menjelang pileg, yang bersangkutan menebar uang kepada calon pemilihnya. Katanya untuk 1 TPS menghabiskan dana 50 juta
rupiah. Pak Didik, seorang teman di
Jakarta bercerita, temannya yang sekarang sudah menjadi anggota DPR nyaleg lagi
tetatpi gagal terpilih. Mengapa? Karena subuh menjelang pileg, pesaingnya
menyebar uang 50 ribu per orang. Instilahnya
serangan fajar. Pak Gong, teman saya
yang lain bercerita temannya yang juga nyaleg sangat cerdik. Di mengandeng teman lainnya yang nyaleg di
propinsi dan kabupaten. Mereka bertiga kongsi
menyebar serangan fajar 100 ribu per orang, tetapi untuk satu paket, calon DPR
Pusat, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten.
Dan sukses. Kata Pak Gong,
masyarakat tidak melihat itu paket atau perorangan, yang nampak duitnya 100
ribu rupiah.
Merenungkan
tulisan Buya Syafi’i Ma’arif, cerita Pak Didik dan Pak Gong, saya jadi ingat
berita tentang penelitian Pramono Anung untuk disertasinya. Konon untuk nyaleg memang perlu biaya
mahal. Saya tidak ingat berapa besar
dana yang diperlukan. Namun, beberapa
hari lalu, seorang caleg muda mengeluarkan dana 8 milyar lebih dan
berhasil. Saya juga dapat info, katanya
kalau nyaleg DPR (pusat) dan serius ingin jadi diperlukan dana minimal 3-5
milyar, untuk DPRP Provinsi perlu 1-3 milyar dan untuk DPRD Kabupaten/kota
diperlukan dana minimal 750 juta- 2 milyar.
Saya tidak bergitu yakin terhadap informasi tersebut.
Namun
diam-diam juga merenung, jangan-jangan benar.
Buktinya ada caleg yang mengalami gangguan jiwa ketika gagal. Ada juga yang meminta uangnya kembali kepada
pemilih yang pernah diberinya. Ada yang
ngamuk. Di televisi ada calon yang
mengeluh, sudah beberapa bulan “membina” konstituen dan habis biaya banyak,
tiba-tiba konstituwen mendapat serangan fajar dan berpindah pilihan.
Saya jadi merenung, kalau begitu berapa dana yang dikeluarkan oleh para caleg ya? Konon jumlah caleg DPR, DRPD Provinsi dan DPRD Kabupaten sebanyak kurang lebih 20.000 orang. Bisa jadi dana yang dikeluarkan mereka, jika ditotal bisa melebihi 40 trilyun rupiah, dengan asumsi setiap caleg rata-rata mengeluarkan 2 milyar. Masya Allah, besar sekali ya. Kalau dana sebesar itu dibuat membangun SD dan setiap SD memerlukan 0,5 milyar berarti dana tadi dapat membangun 80.000 buah SD. Karena Indonesia memiliki sekitar 400 kabupaten/kota, berarti setiap kabupaten/kota rata-rata mendapat bagian 1.600 buah SD baru. Bukan main.
Dalam
suatu kesempatan saya bertemu teman tokoh muda, anggota DPR dan juga sedang
nyaleg lagi. Saya berkelakar, dari pada
beliau menghabiskan dana 4 milyar untuk ini dan itu, apa tidak lebih baik dana
itu dibuat membangun sekolah di kabupaten/kota Dapilnya. Nanti dibuat acara peresmian, biar masyarakat
mengetahuinya. Apa jawab beliau? Menurut beliau, pola itu tidak cocok di era
ini. Era sekarang, setiap pemilih ingin
mendapat uang untuk dirinya. Toh kalau
sudah terpilih tidak dapat lagi nagih apa-apa.
Bahka untuk bertemu saja susah.
Mengapa
percalegan memerlukan dana sebegitu besar?
Itupun belum termasuk dana penyelenggaran pemilu. Betapa mahalnya demokrasi untuk memilih
anggota DRP, DRPS Provinsi dan DPRD Kabupatebn/Kota. Apa memang demokrasi itu mahal ya? Apakah ada yang salah demokrasi kita,
sehingga menjadi begitu mahal?
Saya
bukan ahli ilmu politik atau ilmu hukum tata negara, sehingga tidak punya
kapasitas untuk menjawabnya. Saya juga bukan politisi dan tidak pernah menjadi
tim sukses, sehingga tidak punya pengalaman bagaimana liku-liku
percalegan. Dan saya juga belum pernah
“dapat serangan fajar”, sehingga tidak tahu bagaimana perasaan saat menerima
serangan seperti itu.
Namun,
sebagai orang yang menekuni dunia pendidikan ingin berbagi pandangan dari sisi
pendidikan. Dalam dunia pendidikan itu
dikenal prinsip “perilaku melebihi ucapan” dan “anak didik seringkali lebih
pandai dari pada yang kita duga”. Saya
menduga ada siswa SMA dan bahkan mungkin SMP yang memikirkan angka-angka yang
saya sebutkan di atas. Saya jugabtidak
tahu apa simpulan anak-anak SMP dan SMA jika mengetahui biaya yang dikeluarkan
oleh para caleg dan biaya untuk penyelenggaraan pemilu.
Saya
membayangkan, apakah setelah menjadi angota DRP/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten,
mereka tidak memikirkan pengembalian
uang untuk pencalegan ya. Saya kok
ragu. Tetapi jika mereka memikirkan, kok
menjadi tidak logis. Jika untuk menjadi
caleg DPR memerlukan dana 5 milyar, sedangkan masa jabatannya 5 tahun, berarti
setiap tahun harus mendapat penghasilan 1 milyar. Itupun hanya untuk mengembalikan modal
nyaleg. Lantas berapa gali anggota DPR
ya? Pada hal, katanya anggota DPR harus
menyumbang ke partainya juga.
Jangan-jangan
itu yang menjadi penyebab, anggota DPR terpaksa mencari “tambahan penghasilan”,
karena harus mengembalikan modal nyaleg, ditambah kebutuhan keluarga, ditambah
lagi sumbangan ke partai. Tetapi kok
kehidupan para anggota DPR tampak mewah ya.
Tetapi kok hampir semua anggota DPR nyaleg lagi ya. Bukankah itu indikator penghasilan DPR cukup
besar bahkan berlebih untuk kebutuhan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar