Rabu
tanggl 21 Mei 2014 saya mengikuti rapat Paguyuban PTN Jawa Timur di Universitas
Brawijaya Malang. Salah satu topik yang
dibahas adalah pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun 2014. Sebagaimana diketahui, PTN Jawa Timur ditugasi
menjadi pengawas independen dan kebetulan tahun ini terjadi kasus “pencurian
soal” di Kabupaten Lamongan. Oleh karena
itu disepakati kasus itu akan dibahas dalam rapat.
Konon
ada ungkapan tentang perbedaan antara dosen dengan pengusaha. Dosen itu pendapatnya banyak, tetapi
pendapatannya sedikit. Sebaliknya
pengusaha itu pendapatnya sedikit, tetapi pendapatnya banyak. Jadi wajar kalau diskusi berlangsung hangat,
ada yang mengusulkan agar UN ditiadakan karena toh hasilnya tidak dapat
menggambarkan prestasi siswa karena selalu terjadi banyak pelanggaran. Juga ada yang mengatakan UN menyebabkan siswa
dan guru tidak jujur, karena dorongan untuk lulus dengan nilai bagus membuat
mereka menghalalkan segala cara. Ada
yang mengusulkan UN tetap dilaksanakan, tetapi perlu ditinjau model dan
pelaksanaannya. Termasuk bentuk soal
pilihan ganda yang selama ini digunakan.
Yang
paling menarik adalah pendapat Prof Triyogi Yuwono, Rektor ITS, yang
mempertanyakan logika bahwa UN
menyebabkan siswa dan guru tidak jujur. Pak
Triyogi bertanya, apakah jika UN dihapuskan kemudian siswa dan guru berubah
menjadi jujur. Beliau mengingatkan bagaimana sekolah mengisi rapor
siswa untuk mendaftarkan siswanya ke SNMPTN.
Juga bagaimana masyarakat mengisi data-data UKT ketika anaknya mendaftar
ke PTN. Isian rapor maupun data-data UKT
banyak yang tidak jujur. Bukankah ketidak
jujuran dalam UN sebenarnya gambaran bahwa masyarakat kita memang “sakit”,
sebagaimana mereka juga tidak jujur saat mengisi rapor maupun data-data UKT. Jadi bukan UN yang menyebabkan siswa dan guru
tidak jujur, tetapi memang ketidakjujuran sudah ada di masyarakat dan itu juga
berlaku ketika menghadapai UN.
Merenungkan
pendapat yang berkembang selama diskusi itu, muncul pertanyaan dalam benak saya:
“Jika UN dihapuskan, apakah sekolah memberikan nilai yang “sebenarnya” kepada
siswanya?”. Jika Un diganti dengan ujian sekolah (US)
apakah siswa tidak nyontek ketika mengerjakan?
Apakah sekolah dan guru memberikan soal yang sesuai dengan SKL (standar
kelulusan) dan standar isi? Apakah hasil
US dikoreksi dengan jujur sehingga nilai US benar-benar menggambarkan capaian
siswa terhadap kurikulum?
Seingat
saya kita pernah punya era tidak melaksanakan UN, sekitar tahun 1978-1984. Di era itu sekolah melaksanakan ujian sendiri
atau US. Beberapa kawan mengatakan sejak
saat itu mulai terjadi “semua siswa lulus” dan “semua siswa naik kelas”. Kebiasaan itu menjadikan masyarakat
menganggap aneh ketika ada siswa yang tidak naik atau tidak lulus. Bahkan konon ada sekolah yang dirusak oleh
masyarakat, karena ada siswa yang tidak naik kelas atau tidak naik.
Ketika
istri saya masih mengajar Bahasa Inggris di SMK saya pernah bertanya, jika
dilakukan dengan benar berapa persen siswa Kelas II yang naik ke Kelas
III. Istri saya mengatakan, jika standar
kenaikan diterapkan dengan ketat yang benar-benar naik paling hanya 50 persen. Saya bertanya lagi, terus bagaimana nilai
yang dicantumkan dalam rapor? Ternyata
nilainya “dikatrol” sehingga memenuhi syarat untuk naik kelas.
Saya
tanyakan lagi, bukankah sekarang ada KKM (ketercapaian kompetensi minimal) yang
harus dicapai siswa sebelum memperlajari pokok bahasan berikutnya? Bukahkah kalau anak sudah mencapai KKM
berarti sudah menguasai materi ajar?
Bukanhkah jika belum mencapai KKM siswa harus mengikuti program
remedial? Rentetan pertanyaan itu saya
ajukan karena secara logika, jika siswa sudah sampai pada pokok bahasan
terakhir di kelas II berarti mereka sudah menguasai semua pokok bahasan
sebelumnya.
Apa
jawaban isteri saya? Sungguh
mengejutkan. Katanya guru cenderung
memberikan KKM sudah tercapai, jika siswa sudah diberi remedial tanpa mengecek
lagi hasilnya. Susah kalau terus menerus
melakukan remedial, karena siswanya tidak dapat mencapai KKM. Jadi sebenarnya guru sudah tahu kalau ada
atau bahkan banyak siswa yang tidak akan dapat mengerjakan soal ulangan akhir
semester, karena belum mencapai KKM.
Jadi pengatrolan nilai sebenarnya hanya merupakan kelanjutan dari
pengatrolan KKM.
Menurut
beberapa teman, jadi guru kelas 3 di SMP dan SMA/SMK itu paling jelek
nasibnya. Mereka menerima siswa yang
sebenarnya tidak siap untuk ikut UN karena bekal dari kelas II tidak
memadai. Pada hal waktu belajar di kelas
III hanya sekitar 8 bulan. Akibatnya
guru memutar otak bagaimana agar siswanya dapat lulus dengan nilai baik, karena
kesuksesan siswa selalu menjadi salah satu indikator utama keberhasilan guru
dan kepala sekolah.
Saya
berpikir jangan-jangan kasus di Lamongan juga berawal dari logika
tersebut. Para guru (dan Kepala Sekolah)
merasa kalau siswa kelas III belum siap untuk menempuh UN, pada hal jadwal UN
tidak dapat diundur. Akhirnya mereka
mencari akal bagaimana dapat membantu siswa agar memperoleh nilai UN yang
bagus. Sayangnya cara yang ditempuh
salah dan bahkan melawam hukum. Mereka
tidak dapat melakukan pengatrolan nilai UN karena yang mengorekasi pihak lain.
Yang
mereka lakukan adalah “mengatur” nilai P dan Q agar ketika digabung dengan
nilai UN menjadi nilai akhir, siswa tetap lulus. Jadi kita tidak perlu kaget jika ada siswa
yang nilai UN-nya hanya 4 tetapi nilai akhirnya 7 ke atas, karena sangat
mungkin nilai P dan Q hampir sepuluh.
Teman saya berkelakar, jika nilai P dan Q boleh lebih dari 10, mungkin
saja ada sekolah yang memberi nilai P dan Q 12.