Rabu, 28 Mei 2014

UJIAN NASIONAL DAN KEJUJURAN

Rabu tanggl 21 Mei 2014 saya mengikuti rapat Paguyuban PTN Jawa Timur di Universitas Brawijaya Malang.  Salah satu topik yang dibahas adalah pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun 2014.  Sebagaimana diketahui, PTN Jawa Timur ditugasi menjadi pengawas independen dan kebetulan tahun ini terjadi kasus “pencurian soal” di Kabupaten Lamongan.  Oleh karena itu disepakati kasus itu akan dibahas dalam rapat.

Konon ada ungkapan tentang perbedaan antara dosen dengan pengusaha.  Dosen itu pendapatnya banyak, tetapi pendapatannya sedikit.  Sebaliknya pengusaha itu pendapatnya sedikit, tetapi pendapatnya banyak.  Jadi wajar kalau diskusi berlangsung hangat, ada yang mengusulkan agar UN ditiadakan karena toh hasilnya tidak dapat menggambarkan prestasi siswa karena selalu terjadi banyak pelanggaran.  Juga ada yang mengatakan UN menyebabkan siswa dan guru tidak jujur, karena dorongan untuk lulus dengan nilai bagus membuat mereka menghalalkan segala cara.  Ada yang mengusulkan UN tetap dilaksanakan, tetapi perlu ditinjau model dan pelaksanaannya.  Termasuk bentuk soal pilihan ganda yang selama ini digunakan.

Yang paling menarik adalah pendapat Prof Triyogi Yuwono, Rektor ITS, yang mempertanyakan   logika bahwa UN menyebabkan siswa dan guru tidak jujur.  Pak Triyogi bertanya, apakah jika UN dihapuskan kemudian siswa dan guru berubah menjadi jujur.  Beliau  mengingatkan bagaimana sekolah mengisi rapor siswa untuk mendaftarkan siswanya ke SNMPTN.  Juga bagaimana masyarakat mengisi data-data UKT ketika anaknya mendaftar ke PTN.  Isian rapor maupun data-data UKT banyak yang tidak jujur.  Bukankah ketidak jujuran dalam UN sebenarnya gambaran bahwa masyarakat kita memang “sakit”, sebagaimana mereka juga tidak jujur saat mengisi rapor maupun data-data UKT.  Jadi bukan UN yang menyebabkan siswa dan guru tidak jujur, tetapi memang ketidakjujuran sudah ada di masyarakat dan itu juga berlaku ketika menghadapai UN.

Merenungkan pendapat yang berkembang selama diskusi itu, muncul pertanyaan dalam benak saya: “Jika UN dihapuskan, apakah sekolah memberikan nilai yang “sebenarnya” kepada siswanya?”.   Jika Un diganti dengan ujian sekolah (US) apakah siswa tidak nyontek ketika mengerjakan?   Apakah sekolah dan guru memberikan soal yang sesuai dengan SKL (standar kelulusan) dan standar isi?  Apakah hasil US dikoreksi dengan jujur sehingga nilai US benar-benar menggambarkan capaian siswa terhadap kurikulum?

Seingat saya kita pernah punya era tidak melaksanakan UN, sekitar tahun 1978-1984.  Di era itu sekolah melaksanakan ujian sendiri atau US.  Beberapa kawan mengatakan sejak saat itu mulai terjadi “semua siswa lulus” dan “semua siswa naik kelas”.  Kebiasaan itu menjadikan masyarakat menganggap aneh ketika ada siswa yang tidak naik atau tidak lulus.  Bahkan konon ada sekolah yang dirusak oleh masyarakat, karena ada siswa yang tidak naik kelas atau tidak naik.

Ketika istri saya masih mengajar Bahasa Inggris di SMK saya pernah bertanya, jika dilakukan dengan benar berapa persen siswa Kelas II yang naik ke Kelas III.  Istri saya mengatakan, jika standar kenaikan diterapkan dengan ketat yang benar-benar naik paling hanya 50 persen.  Saya bertanya lagi, terus bagaimana nilai yang dicantumkan dalam rapor?  Ternyata nilainya “dikatrol” sehingga memenuhi syarat untuk naik kelas.

Saya tanyakan lagi, bukankah sekarang ada KKM (ketercapaian kompetensi minimal) yang harus dicapai siswa sebelum memperlajari pokok bahasan berikutnya?  Bukahkah kalau anak sudah mencapai KKM berarti sudah menguasai materi ajar?  Bukanhkah jika belum mencapai KKM siswa harus mengikuti program remedial?  Rentetan pertanyaan itu saya ajukan karena secara logika, jika siswa sudah sampai pada pokok bahasan terakhir di kelas II berarti mereka sudah menguasai semua pokok bahasan sebelumnya.

Apa jawaban isteri saya?  Sungguh mengejutkan.  Katanya guru cenderung memberikan KKM sudah tercapai, jika siswa sudah diberi remedial tanpa mengecek lagi hasilnya.  Susah kalau terus menerus melakukan remedial, karena siswanya tidak dapat mencapai KKM.  Jadi sebenarnya guru sudah tahu kalau ada atau bahkan banyak siswa yang tidak akan dapat mengerjakan soal ulangan akhir semester, karena belum mencapai KKM.  Jadi pengatrolan nilai sebenarnya hanya merupakan kelanjutan dari pengatrolan KKM.

Menurut beberapa teman, jadi guru kelas 3 di SMP dan SMA/SMK itu paling jelek nasibnya.  Mereka menerima siswa yang sebenarnya tidak siap untuk ikut UN karena bekal dari kelas II tidak memadai.  Pada hal waktu belajar di kelas III hanya sekitar 8 bulan.  Akibatnya guru memutar otak bagaimana agar siswanya dapat lulus dengan nilai baik, karena kesuksesan siswa selalu menjadi salah satu indikator utama keberhasilan guru dan kepala sekolah.

Saya berpikir jangan-jangan kasus di Lamongan juga berawal dari logika tersebut.  Para guru (dan Kepala Sekolah) merasa kalau siswa kelas III belum siap untuk menempuh UN, pada hal jadwal UN tidak dapat diundur.  Akhirnya mereka mencari akal bagaimana dapat membantu siswa agar memperoleh nilai UN yang bagus.  Sayangnya cara yang ditempuh salah dan bahkan melawam hukum.  Mereka tidak dapat melakukan pengatrolan nilai UN karena yang mengorekasi pihak lain.

Yang mereka lakukan adalah “mengatur” nilai P dan Q agar ketika digabung dengan nilai UN menjadi nilai akhir, siswa tetap lulus.  Jadi kita tidak perlu kaget jika ada siswa yang nilai UN-nya hanya 4 tetapi nilai akhirnya 7 ke atas, karena sangat mungkin nilai P dan Q hampir sepuluh.  Teman saya berkelakar, jika nilai P dan Q boleh lebih dari 10, mungkin saja ada sekolah yang memberi nilai P dan Q 12.

Bukankah perilaku di atas menunjukkan kalau ketidakjujuran memang sudah menjadi gejala di bidang pendidikan?  Jadi pernyataan Prof Triyogi sangat mungkin benar.  Bukan UN yang menyebabkan siswa dan guru tidak jujur, tetapi memang masyarakat kita, termasuk guru dan siswa, “sedang sakit tidak jujur”.  Kalau begitu yang harus dicarikan obat adalah ketidakjujuran dan bukan menghapuskan UN.  Semoga.

Tidak ada komentar: