Tulisan
ini mungkin merupakan sambungan dari artikel pendek lain dengan judul Bermimpi
Mau Nyaleg. Senin tanggal 5 Mei 2014
saya kedatangan teman yang menjadi anggota Komisi X DPR RI. Beliau pada awalnya seorang guru yang
kemudian menjadi politisi dan menjadi anggota DPR. Seingat saya, teman itu termasuk aktif dalam
rapat-rapat Komisi X dan punya pandangan cukup jernih dan kadang-kadang tajam
dalam bidang pendidikan.
Karena
beliau ke Surabaya dalam rangka meninjau pelaksanaan Ujian Nasional, maka
diskusi kami lebih banyak tentang pendidikan ke depan, Kurikulum 2013,
pengadaan guru dan sebagainya. Ketika
saya tanya hasil pileg, beliau menjadi pendek: “kalah dengan yang punya duit”. Artinya beliau tidak terpilih karena kalah
dengan teman lain yang memiliki banyak uang.
Dia menambahkan: “besuk DPR akan diisi oleh mereka yang punya duit”. Beliau juga bercerita bagaimana sengitnya
persaingan antar caleg dalam satu partai.
Teman
anggota Komisi X tidak terlalu kecewa, karena tidak mengeluarkan biaya banyak
untuk kampanye. Justru beliau kasihan
kepada rekan lain anggota Komisi X yang sudah keluar biaya 5 milyar tetapi
tidak terpilih juga. Saya kaget
mendengarnya. Mengapa? Karena saya kenal dengan rekan yang
diceritakan itu dan seingat saya beliau bukan pengusaha besar. Bagaimana beliau tega mengeluarkan dana 5
milyar.
Mendengar
cerita teman tadi, saya jadi ingat cerita seorang pejabat Kanwil Kementerian
Agama. Kawan dari Kanwil Kemenag
berecerita persaingan antar caleg dalam satu partai lebih seru dibanding antar
partai. Mengapa? Karena persaingan caleg dalam satu partai itu
berebut pemilih yang sama. Kawan dari
Kemenag tadi berseloroh, jangan kaget kalau persaingan itu diwarnai tenung.
Belum
habis merenungkan “keganjilan” itu, Jawa Pos tanggal 7 Mei 2014 memberitakan
Tim Adies Kadir-Priyo Budi Saling Gugat. Kedua caleg beken dari satu partai itu saling
mencurigai teman (atau pesaing?) melakukan kecurangan dalam proses pileg. Konon “saling gugat” banyak terjadi dan itu
antara caleg dalam satu partai. Jadi
analisis pejabat Kanwil Kemenag tadi ternyata benar.
Sebagai
orang yang awam dalam bidang politik saya jadi bertanya-tanya. Apa yang dicari mereka yang nyaleg? Bukankah tujuan utama menjadi caleg adalah
memperjuangan aspirasi konstituennya. Tentu dalam kerangka nilai-nilai dan program
partai politik yang diikuti. Bukankah teman dalam satu partai memiliki nilai-nilai,
program dan konstituen yang sama. Mengapa mereka berebut dengan mengeluarkan
dana milyaran rupiah, saling gugat dan bahkan menurut seloroh teman dari
Kemenag sampai memunculkan isu tenung.
Tidak
hanya itu, hari-hari ini kita disuguhi berita televisi bagaimana komentar caleg
yang kalah atau kawatir kalah. Kita juga
disuguhi riuhnya rapat penetapan suara yang seringkali muncul protes dengan
kata-kata yang kurang layak diucapkan di depan publik. Belum lagi kalau kita menonton acara
Indonesia Lawyer Club yang kerap memunculkan depat dengan kata-kata yang menurut
saya kurang cocok disampaikan oleh para tokoh.
Memikirkan
fenomena itu saya menjadi kasihan kepada guru dan pendidik yang sedang giat
mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter. Menurut para ahli, perkembangan karakter itu
dipengaruhi apa yang terjadi di lingkungannya.
Karakter lebih efektif ditularkan dan bukan diajarkan, artinya guru dan
pendidik harus mampu menjadi teladan bagaimana perilaku berkarakter. Apa yang terjadi dan dilakukan oleh guru,
para tokoh, para orang penting lebih menancap dibanding dari apa yang diajarkan
di kelas dan apa yang tertulis di buku pelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar