Rabu, 07 Mei 2014

PEMILU DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Tulisan ini mungkin merupakan sambungan dari artikel pendek lain dengan judul Bermimpi Mau Nyaleg.  Senin tanggal 5 Mei 2014 saya kedatangan teman yang menjadi anggota Komisi X DPR RI.  Beliau pada awalnya seorang guru yang kemudian menjadi politisi dan menjadi anggota DPR.  Seingat saya, teman itu termasuk aktif dalam rapat-rapat Komisi X dan punya pandangan cukup jernih dan kadang-kadang tajam dalam bidang pendidikan.

Karena beliau ke Surabaya dalam rangka meninjau pelaksanaan Ujian Nasional, maka diskusi kami lebih banyak tentang pendidikan ke depan, Kurikulum 2013, pengadaan guru dan sebagainya.  Ketika saya tanya hasil pileg, beliau menjadi pendek: “kalah dengan yang punya duit”.   Artinya beliau tidak terpilih karena kalah dengan teman lain yang memiliki banyak uang.  Dia menambahkan: “besuk DPR akan diisi oleh mereka yang punya duit”.  Beliau juga bercerita bagaimana sengitnya persaingan antar caleg dalam satu partai.

Teman anggota Komisi X tidak terlalu kecewa, karena tidak mengeluarkan biaya banyak untuk kampanye.  Justru beliau kasihan kepada rekan lain anggota Komisi X yang sudah keluar biaya 5 milyar tetapi tidak terpilih juga.  Saya kaget mendengarnya.  Mengapa?  Karena saya kenal dengan rekan yang diceritakan itu dan seingat saya beliau bukan pengusaha besar.  Bagaimana beliau tega mengeluarkan dana 5 milyar. 

Mendengar cerita teman tadi, saya jadi ingat cerita seorang pejabat Kanwil Kementerian Agama.  Kawan dari Kanwil Kemenag berecerita persaingan antar caleg dalam satu partai lebih seru dibanding antar partai.  Mengapa?  Karena persaingan caleg dalam satu partai itu berebut pemilih yang sama.  Kawan dari Kemenag tadi berseloroh, jangan kaget kalau persaingan itu diwarnai tenung.

Belum habis merenungkan “keganjilan” itu, Jawa Pos tanggal 7 Mei 2014 memberitakan Tim Adies Kadir-Priyo Budi Saling Gugat.  Kedua caleg beken dari satu partai itu saling mencurigai teman (atau pesaing?) melakukan kecurangan dalam proses pileg.  Konon “saling gugat” banyak terjadi dan itu antara caleg dalam satu partai.  Jadi analisis pejabat Kanwil Kemenag tadi ternyata benar.

Sebagai orang yang awam dalam bidang politik saya jadi bertanya-tanya.  Apa yang dicari mereka yang nyaleg?  Bukankah tujuan utama menjadi caleg adalah memperjuangan aspirasi konstituennya.  Tentu dalam kerangka nilai-nilai dan program partai politik yang diikuti. Bukankah teman dalam satu partai memiliki nilai-nilai, program dan konstituen yang sama. Mengapa mereka berebut dengan mengeluarkan dana milyaran rupiah, saling gugat dan bahkan menurut seloroh teman dari Kemenag sampai memunculkan isu tenung.

Tidak hanya itu, hari-hari ini kita disuguhi berita televisi bagaimana komentar caleg yang kalah atau kawatir kalah.  Kita juga disuguhi riuhnya rapat penetapan suara yang seringkali muncul protes dengan kata-kata yang kurang layak diucapkan di depan publik.  Belum lagi kalau kita menonton acara Indonesia Lawyer Club yang kerap memunculkan depat dengan kata-kata yang menurut saya kurang cocok disampaikan oleh para tokoh.

Memikirkan fenomena itu saya menjadi kasihan kepada guru dan pendidik yang sedang giat mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter.  Menurut para ahli, perkembangan karakter itu dipengaruhi apa yang terjadi di lingkungannya.  Karakter lebih efektif ditularkan dan bukan diajarkan, artinya guru dan pendidik harus mampu menjadi teladan bagaimana perilaku berkarakter.  Apa yang terjadi dan dilakukan oleh guru, para tokoh, para orang penting lebih menancap dibanding dari apa yang diajarkan di kelas dan apa yang tertulis di buku pelajaran.

Nah, jika seperti itu fenomena yang terjadi selama pemilu dan seperti itu perilaku para tokoh, para orang penting, bukan tidak mungkin jika guru menumbuhkan karakter, siswa akan berguman: “Ah itu sih teori doang.  Lihat saja di lapangan.  Bukankah begitu untuk menjadi orang panting?”.  “Ah pak guru itu apa sih?  Buktinya dia tidk bisa menjadi tokoh.  Kalau ingin sukses, ya tirulah bagaimana para tokoh itu berperilaku”.  Semoga itu semua Cuma mimpi buruk di siang bolong.

Tidak ada komentar: