Sebagai anak petani
yang dibesarkan di lingkungan pedesaan, saya menyenangi situasi
persawahan. Oleh karena itu setiap
pulang kampung dan punya waktu longgar, saya selalu kesawah dan ngobrol dengan
tetangga dan siapa saja yang kebetulan saat itu sedang berada di sawah. Tentu ngobrol yang ringan sambil
bernostaligia bekerja di sawah. Apalagi
jika yang ketemu adalah teman lama atau tetangga yang seumur dan dulu pernah
bermain atau mengerjakan sawah bersama-sama, pastilah obrolan menjadi sangat
gayeng.
Kali ini, pada
liburan akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, saya pulang kampung dengan waktu
yang longgar. Tidak ada pekerjaan yang
dikejar dead line dan tidak ada acara
khusus di kampung. Paling-paling janjian
bertemu dengan beberapa teman untuk mendiskusikan “aset tanah dan gedung” yang
dulu diamanahkan kepada kami (Yayasan Pendidikan Somoroto) dan selama ini
kurang terurus. Jadi saya pulang bersama
dengan isteri dengan santai, selama dua hari penuh.
Sejak awal
merencanakan pulang, yang kami berdua bayangkan adalah makan pecel, “jangan
blendrang” (sayur kemarin yang sengaja disimpan untuk dimakan hari berikutnya),
lihat sawah yang kabarnya baru saja selesai “tandur” (menanam padi) dan ziarah
ke makan bapak-ibu. Mudah-mudahan pas
ada acara “maulidan”, sehingga dapat ikut makan nasi kenduri dengan ingkung ayam
yang sangat khas rasanya.
Ketika beberapa kali
ke sawah, bertemu dengan tetangga dan saudara serta ngobrol di pematang, saya
menangkap perubahan pertanian yang kurang menggembirakan dan perlu mendapat
perhatian. Sayangnya saya tidak faham
dan tidak tahu solusinya,sehigga sampai tulisan ini dibuat seakan menjadi beban
moral bagi anak pertani seperti saya ini.
Mudah-mudahan ada pembaca yang tahu solusi dan berkenan berbagi dengan
yang lain.
Perubahan budaya
tampaknya terjadi sangat intens di pedesaan.
Mungkin karena gencarnya siaran TV dan atau banyaknya pemuda desa yang bekerja
di kota atau bahkan di negara lain sebagai TKI/TKW. Rumah-rumah di kampung saya sebagian sudah
direhab dan diubah bentuknya, sehingga menyerupai bentuk rumah di kota. Mungkin tinggal beberapa rumah (termasuk
rumah keluarga kami) yang bentuknya masih tetap ala rumah pedesaan. Biasanya disebut rumah “sinom” atau
“dorogepak”. Semua rumah sekarang
“berlistrik” dan punya TV.
Sepeda motor
sekarang banyak bersliweran, apalagi jalan di kampung semua telah
beraspal. Pola berpakaian “era saya di
desa” sudah tidak ada lagi, kecuali orang-orang tua. Pemuda desa sekarang banyak memakai celana
jean dan berkaos oblong, seperti umumnya pemuda di perkotaan. Pokoknya baik laki-laki maupun perempuan,
cara berpakaian anak-anak kampung saya tidak beda dengan anak-anak muda di
Surabaya.
Dari sisi pandang
kemajuan dan mungkin kesejahteraan, kita patut bersyukur. Namun ada sisi lain yang cukup
mengkhawatirkan, khususnya dari keberlanjutan pertanian. Ini hanya dugaan saya
yang tidak ahli dalam bidang itu. Namun
saya ingin berbagi kerisauan ini, siapa tahu dugaan saya benar. Harapannya mereka yang ahli dapat segera
menemukan jalan keluarnya.
Bentuk rumah dan
cara berpakaian tampaknya merupakan indikator telah terjadi perubahan pola
pikir dari masyarakat pedesaan, khususnya kaum muda. Anak-anak muda di kampung saya hampir tidak
ada yang tertarik bekerja di sawah.
Termasuk anak-anak petani yang punya sawah. Oleh karena itu petani di kampung saya
sekarang kesulitan mencari tenaga kerja untuk mengerjakan sawah.
Sekarang memang
tidak ada lagi orang membajak, karena dikerjakan dengan traktor. Namun untuk mencari tenaga untuk tandur
(menanam padi) dan matun (menyiangi padi) sudah sangat sulit. Mereka yang masih mau adalah yang usianya
diatas 40 tahun, yaitu mereka yang saat muda belum “tersentuh” budaya saat
ini. Mereka yang berusian di bawah 30
tahun sudah hampir tidak ada yang mau.
Apalagi yang sudah mengenyam pendidikan setingkat SMA. Mungkin mereka berkata “hari gini masih
bekerja di sawah”.
Saya tidak dapat
membayangkan lima sepuluh tahun lagi, ketika petani yang sekarang berusia di
atas 40 tahun sudah tidak lagi kuat bekerja di sawah. Bagi mereka yang sawahnya luas, mungkin
dapat “mencari pekerja dari daerah lain”, tetapi bagi petani yang sawahnya
sedikit dan selama ini dikerjakan sendiri, saya tidak dapat membayangkan. Anak-anak mereka praktis tidak ada yang
membantu orangtuanya ke sawah. Mereka
lebih memilih pekerjaan lain, seperti menjadi sopir atau kenek angkutan umum
atau bekerja di kota atau bahkan menjadi TKI/TKW.
Mengapa
demikian? Ternyata mereka sangat
“rasional”. Di samping berkerja di sawah
dianggap gengsinya rendah, ternyata menjadi petani apalagi menjadi buruh tani,
secara ekonomi tidak menjanjikan. Jauh
kalah dibanding bekerja di pabrik apalagi bandingkan dengan menjadi
TKI/TKW. Ongkos bekerja menjad buruh
tani lebih rendah dan pekerjaannya tidak terjadi sepanjang tahun. Mereka hanya mendapat pekerjaan waktu tanam
padi, matun (menyiangi padi), panen. Di
sela-sela musim itu mereka menganggur.
Bagi petani pemilik
sawah juga tidak kalah sulit, walaupun sedikit lebih beruntung. Mereka kesulitan mencari tenaga kerja untuk
menggarap sawah. Ongkos kerja juga
semakin mahal, sementara harga hasil pertanian praktis tidak ada kenaikan
signifikan. Harga itu jauh tertinggal
dibanding produk industri yang mereka harus beli untuk kehidupan
sehari-hari. Bayangkan, ketika anak
sekolah yang perlu membeli sepatu seharga 250 ribu rupiah, itu sama dengan 30
kg beras. Kalau anaknya sekolah SMA dan
perlu membeli laptop sederhana dengan harga 2,5 juta, itu artinya harus menjual
beras 3 kwintal (300 kg). Sungguh berat
bagi petani. Di satu sisi harga produk
pertanian dijaga agar terbeli oleh masyarakat luas, di lain pihak harga barang
non pertanian naik terus.
Di samping itu,
lahan yang dimiliki petani cenderung menurun.
Mengapa? Di pedesaan lahan sawah
adalah warisan utama, sehingga dibagi untuk anak-anak. Jika anaknya 2 orang, berarti sang anak hanya
mendapatkan sawah separuh sawah orangtuanya. Dengan demikian secara beruntun, sawah mereka
terus menurun luasnya.
Saya mencoba
membandingkan situasi itu dengan petani di negara lain. Di Jepang (yang saya tahu) bentuk sawahnya
mirip dengan di Indonesia (kampung saya), yaitu berupa petak-petak kecil. Petani di Jepang juga banyak yang menanam padi. Namun dari informasi yang saya dapat, bertani
merupakan pekerjaan sambilan di Jepang.
Mereka memiliki pekerjaan pokok di pabrik atau perusahaan tertentu. Nah, diwaktu senggang mereka mengerjakan
sawah. Oleh karena itu, walaupun luas sawahnya tidak luas, mereka tetap dapat
hidup dengan baik. Apalagi bibit, pupuk
dan kepeluan pertanian mendapat subsidi dari pemerintah.
Di Amerika Serikat,
konon banyak petani tulen yaitu petani sebagai pekerjaan utama. Namun mereka memiliki lahan sangat luas,
sampai berhekar-hektar. Di samping itu
mereka bertani secara modern dengan subsisi dari pemerintah. Oleh karena itu petani merupakan pekerjaan
yang cukup bergengsi di sana.
Dengan perbandingan
itu dan melihat petani di kampung saya, saya jadi sedih. Walaupun kita negara agraris, sepertinya
perhatian kepada petani kurang maksimal.
Harga produknya dikendalikan agar terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Bahkan jika kurang, impor dilakukan
secara besar-besaran. Namun subsidi
tampaknya tidak dinikmati petani. Pada
hal jumlah petani (termasuk buruh tani) jumlahnya sangat besar. Apakah kita terus membiarkan mereka
menderita? Tentu tidak. Namun bagaimana caranya? Nah, jujur saya tidak tahu. Semoga para ahli dapat membantu mencari
solusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar