Saya sadar kalau
sebenarnya tidak memiliki kompetensi menulis masalah ini. Namun sebagai warga bangsa, saya tidak mampu
menahan untuk tidak berkomentar, walaupun mungkin dianggap salah atau bahkan
naif. Ya, namanya orang tidak punya
pengetahuan cukup jadinya asal ngomong sesuai dengan perasaan saja.
Beberapa hari setelah
Pak Jokowi dilatik, saya bertemu dengan seorang “kawan” yang punya pengalamana
malang melintang di dunis politik dan saat ini sedang memangku jabatan penting
di Jawa Timur. Seperti biasanya kami
ngobrol sambil sarapan, saya menanyakan komentar beliau tentang pelantikan
presiden. Ungkapannya sungguh
menarik. Pak Jokowi itu presiden tetapi
tidak memegang remote. Jadi bisa
kerepotan. Kita lihat saja nanti.
Saya mencoba mencerna
komentar kawan tadi dan tetap saja kesulitan memahami. Ketika saya tanya maksudnya, sambil
berkelakar beliau memberi analogi. Pak
SBY itu disamping presiden memegang remote.
Demikian juga Bu Mega dan Pak Harto.
Makanya beliau bertiga mampu mengendalikan orang-orang di dalam kabinet
maupun di DPR. Pak Habibie pegang remote
tetapi tidak sendiran dan akhirnya kerepotan juga. Lha ini, Pak Jokowi jadi presiden tetapi
remote-nya dipegang oleh Bu Mega, Pak Surya Paloh dan lain-lainnya.
Mendengar penjelasan
tersamar itu saya faham atau setengah
mengerti, kalau top pimpinan partai itu yang sesungguhnya memegang kendali para
menteri dan anggota DPR. Walaupun menteri
itu “bawahan” presiden ternyata lebih patuh kepada pimpinan di partainya. Apalagi anggota DPR tentu lebih patuh pada
partai induknya. Saya menjadi faham
kenapa pada era Pak SBY, menteri dari partai selain Demokrat seringkali seakan
membuat ulah yang tidak sejalan dengan kebijakan presiden. Tentu dengan “tutup” tertentu.
Mungkinkan “kisruh KPK
versus Polri” ini bukti kebenaran ungkapan kawan tadi? Mungkinkah Presiden Jokowi tidak mampu
mengambil kebijakan secara mandiri, karena tekanan para pemegang remote? Mungkinkah penunjukkan Jaksa Agung dan calon
tunggal Kapolri itu diambil secara terpaksa atas permintaan pemegang
remote? Bukankah seharusnya jaksa agung dan
kapolri itu orang non partisan, karena merupakan puncuk pimpinan lembaga
penegak hukum? Apakah DPR menyetujui
usulan calon Kapolri itu punya “udang di balik batu”, yaitu menjerumuskan
Presiden Jokowi? Apakah ada upaya sistematis
untuk mendelegitasi Presiden Jokowi?
Lebih jauh dari itu, apakah ada upaya “menikam dari dalam” kepada
Presiden Jokowi? Jujur saya tidak punya jawaban atas berbagai pertanyaan di
atas, karena memang tidak punya kompetensi di bidang itu. Namun pertanyaan itu terus berkecamuk dalam
benak.
Saya kasihan saat
melihat Presiden Jokowi mengumumkan penundaan palatikan Komjen Budi Gunawaan
dan pengangkatan Komjen Badrodin Haiti menjadi pelaksana Kapolri. Mimiknya tampak kaku, tegang dan berkali-kali
membaca catatan, seperti takut salah ucap. Jauh dari kebiasaan beliau saat
menyampaikan informasi-informas lain sebelum itu. Mimik serupa juga ditunjukkan
ketika menyampaikan informasi di istana Bogor, setelah bertemu dengan Wakapolri
dan Ketua KPK. Saya membayangkan betapa
besar tekanan batin terhadap Presiden saat itu.
Dalam hati saya
berpikir, seandainya dugaan tadi benar bahkan para pemegang remote itu yang
membuat Presiden Jokowi kerepotan membuat kebijakan, lantas apa maunya mereka
mendorongkan “orang yang kurang pas”?
Apa latar belakang keinginan kuat menempatkan “orangnya” menjadi jaksa
agung dan kapolri? Apakah itu untuk
memastikan agar penegakan hukum berjalan dengan baik, sesuai dengan cita-cita
partainya? Atau untuk menjaga agar dua
pejabat itu tidak mengusik kegiatannya di masa lalu? Sekali lagi saya tidak tahu jawabannya.
Saya jadi merenungkan
diskusi kami sekitar 10 tahun silam.
Pada saat itu situasi negara ini sangat “bising”. Banyak aktor politik “berakrobat” dengan
alasan reformasi dan kebebasan berpendapat.
Seakan di era reformasi, setiap orang boleh berbuat apapun. Waktu itu, seorang kawan membandingkan
Indonesia dengan Thailand dan Amerika Serikat.
Konon di Thailand situasi politik tidak stabil. Namun untungnya ada Raja Bhumibol yang sangat
dihormati, sehingga begitu raja memutuskan sesuatu semua orang patuh. Di Amerika Serikat orang boleh ngomong apa
saja atas dasar demokrasi. Namun karena
masyarakat sudah terdidik, omongan dan tindakan juga teratur. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Kawan tadi mengatakan, di Indonesia tidak ada
“tokoh yang dihormati”, sementara rakyat belum dewasa dalam berdemokrasi, ya
inilah hasilnya.
Apakah situasi
sekarang ini seperti itu? Presiden Jokowi tidak memiliki remote sehingga tidak
dipatuhi oleh orang banyak, khususnya para elit? Apakah rakyat, juga paar elit sebenarnya
belum siap untuk berdemokrasi, sehingga “menabrak rambu-rambu” demokrasi itu
sendiri? Semoga kita ingat syair lagu Padamu Negeri: Padamu
negeri kami berjanji. Padamu negeri kami berbakti. Padamu
negeri kami
mengabdi. Bagimu
negeri jiwa
raga kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar