Setelah tidak menjadi
rektor Unesa, saya tidak lagi disibukkan oleh tugas birokrasi kampus sehingga
memiliki banyak waktu untuk mengerjakan ini dan itu. Jadinya saya banyak menerima permintaan
mengisi diskusi, seminar, menjadi tim ini dan itu, serta menjadi konsultan
lepas di beberapa lembaga. Tentu semua
dalam bidang pendidikan dan tentu tidak melupakan tugas mengajar dan penelitian
kecil-kecilan di Unesa.
Ketika mengisi acara
diskusi atau seminar dan harus memperkenalkan diri saya sering kikuk. Maksudnya kikuk akan menyebut diri sebagai
apa atau apa pekerjaan saya. Supaya
mudah, biasanya saya menyebut sebagai dosen Unesa, karena itulah pekerjaan formal
saya. Kalau teman moderator atau panitia yang memperkenalkan, biasanya disebutkan
saya sebagai mantan direktur, mantan rektor, konsultan lembaga internasional
dan sebagainya. Kalau Pak Rektor Unesa
(Prof Warsono) punya cara sendiri, dengan menyebut saya sebagai Rektor Unesa ke-9,
sedangkan beliau Rektor Unesa ke-10. Kalau
Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Sumarna Surapranata, PhD), dengan
berkelakar menyebut bahkan memanggil saya Pak Rektor Unesa, karena rektor yang
sekarang itu penggantinya. Menanggapi
ungkapan seperti itu, saya menyahut “ya tapi semuanya bekas”.
Berbeda dengan Pak
Warsono dan Pak Pranata, pada suatu forum di Jakarta Pak Jiyono (mantan pejabat
dan Balitbang Dikbud dan Unicef) mengatakan: “pak Muchlas sekarang telah
kembali ke habitatnya”. “Direktur,
Rektor dan jabatan birokrasi lainnya itu hanya selingan, karena habitat asli
pak Muchlas ya pemikir pendidikan”. Pak
Bagiono, tokoh Pendidikan Kejuruan punya istilah lain dengan mengatakan: “pak
Muchlas itu penjahit tetapi bukan penjahit baju, karena yang dijahit adalah
potongan-potongan gagasan dari banyak orang menjadi suatu konsep yang utuh”.
Nah, yang repot kalau
saya harus menjelaskan pengalaman kerja.
Pada suatu acara, setelah memperkenalkan diri sebagai dosen Unesa,
moderator meminta saya menjelaskan apa pengalaman kerja yang saya miliki. Mungkin maksudnya baik, ingin menunjukkan
orang desa-anak petani kecil seperti saya kok bisa menjadi direktur dan
rektor. Saya bingung, sehingga dengan
kelakar saya menyebut diri saya sebagai barang loakan. Memang pernah menjadi ini dan itu, tetapi
semuanya “bekas”, jadi mirip barang bekas yang dijual di pasar loak di Jalan
Demak.
Kalau sedang berkumpul
dengan Pak Nuh (mantan Mendikbud) dan Pak Yazidie (mantan Dirjen Dikmen) dan
beberapa teman lain, seringkali Pak Nuh mengatakan: “kami ini asosiasi
pensiunan”. Karena pensiunan kami berkumpul agar tidak merasa nganggur dan
nggak terpakai. Biasanya saya menimpali: “kami ini barang loakan dan ruangan ini
seperti pasar loak karena isinya barang loak, yaitu orang-orang pensiunan”. Mendengar kelakar seperti itu, seorang teman
menimpali: “ya memang bekas tetapi tetap penting dan banyak yang memerlukan”. Saya menimpali lagi “ya mafaatkanlah seperti
prinsip memanfaatkan kertas bekas botol bekas, TV bekas dan sebagainya”. Biasanya dialog seperti itu diakhir dengan sama-sama
tertawa, atau bahkan kelakar lain yang lebih seru.
Beberapa waktu lalu,
saya diundang untuk mengisi acara pertemuan kepala sekolah se Surabaya. Sewaktu jadwal saya pukul 11.00-12.30, tetapi
karena saya harus ke RSI Jemursari acara ditukar menjadi pukul
13.00-14.30. Kepala Diknas Kota Surabaya
(Dr. Ihsan) sendiri yang menjadi moderator dan ketika mengantar diskusi saya
beliau menyampaikan bahwa saya punya pengalaman panjang sebagai ini dan
itu. Disambung dengan ajakan “mari kita
kuras pengalaman beliau”. Seperti
biasanya, saya berkelakar: “mohon dicatat semua yang disampaikan Pak Kepala
Dinas tadi harus ditambah kata bekas”. “Jadi
saya ini mirip barang loakan di jalan Demak”.
Sepulang dari acara
itu saya jadi berpikir, apakah orang seperti saya ini punya pengalaman yang
dapat dengan orang lain? Bukankah selama
ini saya mengerjakan tugas di beberapa jabatan lebih berdasarkan impian yang ingin
diwujudkan. Bukankah kalau saya
melakukan terobosan banyak meniru atau paling tidak terinspirasi pengalaman
orang lain? Bukankah ide-ide yang saya
keluarkan lebih banyak merupakan ramuan dari buku yang saya baca, sehingga dengan
kata lain itu pengalaman atau pendapat orang lain. Jadi mana sebenarnya yang milik saya sendiri?
Ketika pikiran itu
saya kemukakan kepada beberapa teman yang sama-sama pensiunan ternyata ada yang
tersinggung. Yang bersangkutan sampai
mengatakan apakah saya menyindir orang lain. Dengan bersemangat beliau
menjelaskan berbagai terobosan yang dilakukan ketika menjabat dan menurut
beliau itu gagasan orisinalnya. Tentu
saya mohon maaf, dengan mengatakan ungkapan saya itu hanya untuk diri saya sendiri
dan saya menyetujui bahwa beliau melakukan banyak terobosan yang sampai
sekarang dikenang oleh mantan anak buahnya.
Kawan lain yang saat
itu hadir menengahi. Kawan ini memang
dikenal punya pemikiran jernih dan perkataannya sejuk sehingga walaupun usianya
relatif muda sering dimintai nasehat oleh orang lain. Kawan ini menimpali: “ya semua orang kan
punya gagasan, terlepas itu mengadopsi atau terinspirasi orang lain”. “Nah, ketika
digunakan pastilah disesuaikan dengan kondisi setempat, sehingga yang
bersangkutan juga punya hak mengatakan itu gagasannya”. “Apalagi, berbagi
pengalaman dengan orang lain itu kan sama artinya menyampaikan ilmu, sehingga
jika ilmu atau pengalamannya itu bermanfaat, yang membagi pengalaman akan dapat
pahala berkesinambungan”.
Kalimat terakhir
itulah yang secara pribadi membuat saya bersemangat untuk berbagi gagasan dan
berbagi pengalaman. Hampir tidak ada
permintaan yang saya tolak, selama waktunya tidak bertabrakan dengan jadwal
mengajar dan tugas pokok lainnya serta kegiatan keluarga yang penting. Siapapun yang minta atau mengundang dan
dimana lokasi kegiatan atau lembaga hampir tidak menjadi pertimbangan. Oleh karena itu, Mas Nardi yang sering
membantu membelikan tiket pesawat berkomentar: “bapak sudah tidak jadi rektor
tetapi tetap sibuk sekali”.
Namun akhir-akhir ini
ada dua hal yang mengganggu. Pertama,
terkait dengan honorarium. Saya sudah
faham kalau diundang untuk mengisi diskusi, seminar atau sebagai konsultan
suatu lembaga/kegiatan mendapatkan honorarium.
Namun selama ini saya tidak pernah bertanya dan bahkan menghitung secara
teliti berapa honorarium yang saya terima.
Nah, suatu saat saya diminta oleh suatu yayasan besar di Jakarta untuk
mengisi acara pembinaan guru di beberapa kota.
Saya ditanya berapa tarif saya sekali datang. Saya menjawab tidak tahu, tetapi terus dikejar
untuk menyebutkan saya minta berapa.
Karena yang bertanya teman baik dan saya tahu yayasan itu sangat kaya karena
menampung CSR beberapa perusahaan besar, saya menjawab sekenanya dengan
menyebut angka tertentu. Sungguh kaget
karena teman itu berkomentar: “kok kecil amat”. Betul juga, ketika selesai mengisi acara
acara di Semarang saya disodori amplop dan kwitansi untuk ditandatangani. Jumlah honorariumnya sungguh sangat besar.
Kaget dan tidak nyaman
hati, saya menilpun pimpinan yayasan yang dahulu menanyakan tarif saya. Apa jawaban beliau? “Tarif panjenengan itu terlalu kecil, itu
bukan kelas Prof Muchlas”. Mendengar itu
saya tercenung dan bertanya-tanya dalam hati, apakah memang mengisi diskusi,
seminar dan pembinaan guru sudah menjadi profesi komersial yang harus ada
tarifnya?
Kekagetan saya karena
masalah tarif ternyata belum berhenti disitu.
Selang beberapa minggu setelah itu, saya dihubungi oleh mantan mahasiswa
Unesa. Yang bersangkutan menginformasikan
saya diminta menjadi konsultan lepas di tempat dia bekerja. Untuk itu saya diundang untuk bertemu dengan
bosnya. Ketika bertemu dan berdiskusi
dengan sang bos saya disodori TOR sebagai konsultan lepas. Dalam TOR itu tercantum honorariumnya
dihitung man days, berdasar jumlah
hari saya bekerja sesuai dengan kegiatan yang perlu saya hadiri atau pekerjakan
yang saya lakukan di rumah. Sangat
kaget, honorarium per hari itu sangat mirip dengan honorarium yang saya terima
ketika mengisi acara di Semarang bersama yayasan besar Jakarta.
Jujur, saya senang
mendapatkan honorarium yang sangat besar itu.
Bukan sekedar karena nilai uangnya, tetapi merasa ahli pendidikan (maaf
menyebut diri sbg ahli) mendapat penghargaan tinggi. Namun bersamaan dengan itu, saya takut kalau
kemudian terdorong untuk pilih-pilih berdasarkan honorarium. Kalau ada beberapa undangan yang bersamaan,
kemudian memilih berdasarkan honorarium dan bukan mana yang lebih membutuhkan. Bukankah banyak sekolah dan lembaga kecil
yang sering mengundang saya? Bukankah
sekolah dan lembaga seperti itu yang justru lebih memerlukan bantuan.
Kedua, keluhan isteri saya. Beberapa
minggu lalu saya tidak enak badan. Sakit
betul sih tidak, tetapi batuk tidak sembuh-sembuh. Mendapati suaminya seperti itu, isteri saya
berusaha meyakinkan dengan mengatakan: “papa jangan capek-capek, tidak usah
ngoyo mencari uang”. “Anak sudah
besar-besar dan mandiri”. “Sudah saatnya seperti kita ini menikmati hidup”.
“Kalau sakit, mereka tidak akan banyak peduli kok”.
Anak sulung saya yang
tinggal di Edinbrugh, Titi, menimpali di WA: “pap, mesti banyak istirahat dan
jalan-jalan gitu lho”. “Kemana gitu sama
mama biar fresh”. Si bungsu, Lala pernah
komentar: “papa kalau nggak punya kesibukan nanti malah bingung”. Sepertinya mereka, tiga anak saya itu berembuk
ketika ayahnya agak sakit. Sepertinya si
bungsu yang menjadi juru bicara, dengan mengatakan: “papa harus punya
kesibukan, tetapi jangan banyak-banyak agar tidak kecapekan”.
Betulkah saya
kecapekan? Betulkah saya harus punya
kesibukan? Apakah tugas mengajar dan
peneliti belum cukup membuat saya sibuk?
Bukankah saya punya keinginan untuk menulis buku dan artikel untuk
mengisi waktu. Saya mencoba menganalisis
diri sediri dan ternyata justru tidak mudah.
Setelah melakukan
refleksi diri, rasanya tugas mengajar dan menulis tampaknya memang kurang
menantang, sehingga saya memerlukan tantangan yang lain. Hanya saja ketika tawaran kegiatan yang
menantang itu datang, ternyata saya bukanlah orang yang baik dalam manajemen
diri. Seringkali saya tidak mampu
menolak permintaan, sehingga kadang-kadang overload.
Untunglah Allah menganugerahkan detektor kelelahan dalam diri saya, yaitu
sariawan. Jadi kalau saya terkena
sariawan pada hal sudah makan buah cukup, itu artinya harus mengurangi
kesibukan.
Sampai saat ini saya
belum menemukan formulasi kegiatan seperti apa dan seberapa agar saya merasa enjoy tetapi tidak sampai kecapekan. Ternyata orang yang sudah menjadi barang
loakan ini belum juga memahami diri sendiri, pada hal itu kemampuan penting
yang harus dimiliki setiap orang. Semoga
ada pembaca yang mau mengajari saya bagaimana cara sederhana untuk dapat
memahami diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar