Beberapa hari lalu saya menonton Gus Mus di acara Mata
Najwa-Metro TV. Tampaknya Najwa Sihab
sengaja ingin menampilkan Gus Mus sebagai sosok utuh, sehingga yang hadir dan
diminta pendapat tentang Gus Mus adalah berbagai orang yang tentu memberikan
testomoni tentang Gus Mus dari berbagai sudut pandang pula. Sosok Gus Mus sebagai ulama, sebagai
budayawan dan juga sebagai “manusia” sedikit banyak tergambarkan.
Di akhir acara, Najwa minta Gus Mus membacakan puisinya
dengan judul Puisi Islam. Seingat saya,
saya sudah pernah membaca puisi itu, tetapi ketika dibacakan oleh penulisnya
saya menjadi tercenung. Saya merasa baru
dapat menangkap makna puisi itu ya saat dibacakan oleh Gus Mus sendiri. Itupun kalau benar tangkapan saya sebagai
orang awam dalam hal puisi. Ijinkan saya
mengutip puisi Gus Mus itu secara utuh.
Islam agamaku nomor satu di dunia
Islam benderaku berkibar di mana-mana
Islam tempat ibadahku mewah bagai istana
Islam tempat sekolahku tak kalah dengan yang
lainnya
Islam sorbanku
Islam sorbanku
Islam sajadahku
Islam kitabku
Islam podiumku kelas exclussive yang mengubah
cara dunia memandang
Tempat aku menusuk kanan kiri
Islam media massaku
Cahaya komunikasi islami masa kini
Tempat aku menikam saat ini
Islam organisasiku
Islam perusahaanku
Islam yayasanku
Islam istansiku , menara dengan seribu
pengeras suara
Islam muktamarku, forum hiruk pikuk tiada
tara
Islam pulsaku
Islam warungku hanya menjual makanan sorgawi
Islam supermarketku melayani segala keperluan
manusiawi
Islam makananku
Islam teaterku menampilkan karakter-karakter
suci
Islam festifalku memeriahkan hari-hari mati
Islam kaosku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semua
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa saja
Tuhan
islamkah aku?
Dalam
pemahaman saya, kalimat terakhir puisi itu seakan mempertanyakan semua kalimat
sebelumnya. Pada kalimat-kalimat
sebelumnya Gus Mus menyodorkan Islam sebagai label kita dalam segala aktivitas,
yang tentu dengan segala warna-warninya.
Nah, puisi diakhiri dengan sebuah pertanyaan jika kita punya aktivitas
seperti itu apakah kita layak disebut sebagai orang Islam. Seakan Gus mempertanyakan apakah orang-orang
yang mengaku Islam, memiliki berbagai aktivitas berlabel Islam dan bahkan
seringkali menyelekean orang lain yang
tidak sefaham, betul-betul dia Islam.
Saya sungguh tidak faham apa yang dimaksud dengan kata “Islamkah aku”
oleh Gus Mus. Apakah masuknya “yang
benar-benar Islam dan bukan hanya kulitnya saja”. Jika itu seperti apa ya indikatornya? Jujur saya tidak tahu dan moga-moga ada teman
yang berkenan memberikan pencerahan.
Saya tidak
punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu.
Saya justru ingin menggunakan puisi itu sebagai analogi kehidupan kita
sehari-hari. Rasanya kita sering melihat
fenomena seperti itu atau bahkan kita juga termasuk yang melakukannya. Kita sering mempertanyakan betulkah yang
diungkapkan di si Fulan itu akan dilaksanakan.
Atau betulkah apa yang dilakukan di Fulan itu bertujuan mulia seperti
yang diomongkan. Bahkan kita juga dapat
mempertanyakan kepada diri sendiri, betulkah apa yang saya lakukan bertujuan
mulia seperti yang saya ucapkan?
Jangan-jangan itu semua hanya kedok, karena di balik itu ada tujuan lain.
Merenungkan
itu saya teringat seorang teman baik di Unesa yang menyampaikan kelakar berupa
pertanyaa sebagai berikut. Bangsa mana
yang sedikit bicara tetapi banyak kerja?
Biasanya teman lain menjawab: bangsa Jepang. Betul, nah bangsa mana yang banyak bicara dan
juga banyak kerja. Ketika tidak ada yang
menjawab kawab tadi menjawab sendiri: bangsa Amerika. Pertanyaan selanjutnya, bangsa mana yan
banyak bicara tetapi sedikit kerja.
Beberapa kawan menjawab; bangsa Indonesia. Teman tadi mengatakan: bukan, itu bangsa
Arab. Lha kalau kita bangsa Indonesia
termasuk apa? Kalau kita, apa yang
dibicarakan dan dikerjakan berbeda.
Tentu itu
hanya kelakar dan kita tidak harus menanggapinya dengan serius. Namun ketika
kawan tadi mengatakan: kalau bangsa kita, apa yang dikatakan berbeda dengan
yang dikerjakan, jangan-jangan seiring dengan puisi Gus Mus di atas. Mari kita menggunakan puisi Gus Mus untuk
cermin untuk melakukan refleksi diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar