Judul di atas diambil
dari berita di Jawa Pos tanggal 17 April 2016.
Pada sambungannya di halaman berlakang, judulnya diubah menjadi “Dan
banyak yang diterima”. Sore harinya saya
mendapat banyak SMS, WA maupun telepon mempertanyakan mengapa seperti itu. Sebenarnya
fenomena itu yang sudah lama terjadi, tetapi baru kali ini ada koran yang
memuat.
Dalam satu rapat
pantia SBMPTN beberapa tahun lalu fenomena itu juga pernah didiskusikan bahkan
melebar sampai ketidakselarasan penjurusan di SMA dengan SBMPTN. Dalam diskusi itu terungkap kalau penjurusan
di SMA lebih merupakan klasifikasi kemampuan siswa. Siswa yang nilai MIPA-nya (Matematika,
Fisika, Kimia, Biologi) bagus masuk ke jurusan IPA, sedangkan yang kurang bagus
masuk ke jurusan IPS dan atau Bahasa.
Sepanjang informasi yang saya peroleh sangat jarang sekolah yang
mendasarkan penjurusan itu atas dasar bakat dan minat siswa.
Apa pola itu baru
sekarang terjadi? Tidak. Anak sulung saya yang sekolah di salah satu SMA
Kompleks Surabaya awal tahun 2000 pernah mengalami hal menarik. Saat itu penjurusan dimulai di kelas 2. Nah anak saya naik ke kelas 2 IPA, karena
nilai untuk matapelajaran MIPA memang baik. Namun dia minta pindah ke IPS,
karena dia lebih tertarik ke hal-hal yang bersifat seni dan aktif di kegiatan
sosial. Inginnya dia nanti akan kuliah
di Psikologi atau Komunikasi. Ketika
menyampaikan keinginan itu kepada wali kelas, justru ditertawakan dan
dikomentari “kamu aneh, lainnya merengek pindah dari IPS ke IPA kok malah minta
pindah dari IPA ke IPS”. Tampaknya nilai matapelajaran IPS, Bahasa dan Kesenian
tampaknya tidak begitu menjadi pertimbangan.
Memang akhirnya
terbukti. Saat S1 anak saya mengambil
bidang Manajemen Komunikasi yang isinya merupakan perpaduan antara sosial dan
seni. Setelah malang melintang di
pekerjaan, kemudian mengambil S2 di bidang Lingkungan dengan peminatan food security. Agak berat karena banyak matakuliah yang termasuk
kelompok MIPA dan itu tidak pernah didapat di SMA IPS maupun S1 Manajemen
Komunikasi. Namun kerja keras dan
mungkin potensi bidang MIPA yang cukup toh dia dapat lulus dengan baik dan
sekarang aktif di kegiatan NGO bidang food
security. Tampaknya potensi seni dan
aktivis sosial tidak dikenali atau tidak mendapat perhatian saat penjurusan di
SMA. Bahwa nilainya untuk matapelajaran
MIPA bagus bukan karena minatnya, melainkan karena kemampuan dasarnya baik.
Tahun lalu keponakan
saya, anak kedua adik bungsu saya, juga mengalami hal yang sangat menarik. Ketika pendaftaran SMA keponakan saya ikut
tes psikologi dan atas dasar tes itu keponakan saya dimasukkan di jurusan IPS. Namun karena si anak lebih tertarik IPA dan bapaknya
menyampaikan hal itu ke Kepala Sekolah, oleh sekolah keponakan saya diberi
peluang untuk semacam uji coba kelas IPA dan nanti akan dilihat hasilnya. Ketika uji coba berjalan setengah sementer,
wali kelas dan kepala sekolahnya bingung karena nilai bidang MIPA dan IPS
seimbang. Yang menarik kepala sekolahnya
berkomentar “kok nilai Biologi rendah, kalau sampai akhir sementer seperti itu
akan dimasukkan ke IPS”.
Untungnya ada hal
“ajaib” terjadi. Ketika hasil tes
psikologi per siswa dikirim oleh lembaga pengetes dan dibagikan kepada
masing-masing siswa diketahui bahwa hasil tes keponakan saya cenderung ke IPA. Ternyata
lembaga itu melakukan kesalahan saat melakukan tabulasi hasil tes psikologi,
sehingga keponakan saya yang hasilnya cenderung ke MIPA-Engineering dimasukan
ke IPS. Akhirnya walaupun nilai Biologi
tetap kurang baik, keponakan saya dimasukkan
kelas IPA. Tampaknya nilai Biologi yang kurang baik
menjadi pertimbangan untuk memasukkan ke IPS, pada hal nilai mapel IPS juga
kurang baik.
Jadi kenapa banyak
lulusan IPA memilih Soshum dan banyak yang diterima bukan karena salah pilih,
tetapi karena mereka memang “anak pintar”, sehingga dapat masuk kelas IPA. Teman-teman saya yang lulusan Psikologi,
Ekonomi dan bahkan bahasa Indonesia dengan prestasi menonjol ternyata banyak
yang lulusan SMA IPA. Jadi mereka yang
lulusan IPA mendaftar ke Soshum dan diterima bukan karena matapelajaran
IPA-nya, tetapi karena mereka memang anak pintar.
Penelitian yang
memandingkan lulusan SMA dan SMK mungkin dapat menjadi tambahan
penjelasan. Ada studi yang menyimpulkan
lulusan SMA lebih baik kinerjanya dan kariernya dibanding lulusan STM (sekarang
disebut SMK Bidang Rekayasa). Nah,
ketika datanya dikoreksi dengan NEM mereka saat SMP, ternyata kinerja dan
karier mereka tidak berbeda. Jika NEM
SMP dapat dimaknai sebagai indikator “pintarnya” seseorang, berarti setelah
dikoreksi dengan analisis kovariat, perbandingan lulusan SMA dan STM sudah
disamakan kepintarannya dan hasilnya tidak beda. Jadi perbedaan kinerja dan karier bukan
karena asal sekolah tetapi karena kepintarannya.
Nama Soshum dalam SBMPTN
adalah istilah yang baru digunakan mulai tahun 2012 atau 2013 untuk
menggantikan istilah IPS. Seingat saya
penggunaan istilah Soshum sebagai solusi terhadap fenomena ketidaksesuaikan
penjurusan di SMA dengan tes di UMPTN atau yang sekarang disebut SBMPTN. Di SMA ada tiga jurusan yaitu IPA, IPS dan
Bahasa, tetapi di waktu lalu UMPTN hanya punya dua pilihan program yaitu IPA
dan IPS. Nah akhirnya istilah IPS diubah
menjadi Soshum yang merupakan “gabungan” IPS dan Bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar