Sejak beberapa bulan
lalu saya terlibat dalam tim Revitalisasi Pendidikan Vokasi yang diketuai Prof.
Waras Kamdi dari UM. Anggotanya lain
antara lain, Dr. Ananto Kusuma (staf ahli Mendikbud), Dr. Agus Setiawan dari
UPI, Dr. Bruri dari UNY, Prof Djoko Kustono dari UM, dan masih ada beberapa
orang lagi. Di samping orang-orang
tersebut tentu ada pimpinan/staf Dit PSMK (Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan), sebagai pemilik kegiatan.
Ketika pertama ikut
rapat, saya mencoba memahami apa yang dimaksud dengan revitalisasi. Apakah sekedar menguatkan SMK, Kursus
Keterampilan yang ada sekarang? Ataukah
mencoba merancang SMK, Kursus Keterampilan dan pendidikan keterampilan lain
agar mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Tampaknya tim belum satu bahasa. Sebagai anggota baru, saya tidak berani
menanyakan lebih jauh atau mendesak untuk mendapatkan satu kesepakatan. Jadi saya pasif saja dan berusaha mengikuti
apa yang sudah berjalan.
Setelah beberapa kali
ikut rapat saya mulai dapat melihat sudut pandang masing-masing peserta rapat. Tentu
setiap orang memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang sangat mungkin berbeda
satu dengan lainnya. Namun tampak sekali
kalau ada beberapa teman yang berpikiran revitalisasi artinya menguatkan SMK
yang ada saat ini, misalnya dengan menambah peralatan workshop, meningkatkan
kompetensi guru, menguatkan hubungan SMK dengan DUDI.
Teman seperti itu sepertinya
tidak memiliki keinginan untuk mempertanyakan apakah program-program di SMK yang
saat ini ada sesuai dengan tuntutan dunia kerja, khususnya jika dikaitkan
dengan perkembangan iptek yang sangat cepat.
Sebagaimana diketahui dari berbagai studi dunia kerja berubah dengan
cepat. Pekerjaan yang sekarang ada dan
bahkan populer bukan tidak mungkin akan hilang dalam beberapa tahun
mendatang. Bersamaan dengan itu akan
mucul pekerjaan baru yang saat ini belum terbayangkan. Pertanyaannya, bagaimana program di SMK agar
mampu menghasilkan lulusan yang dapat sukses dalam situasi semacam itu.
Ketika beberapa teman
yang lain mencoba menjelaskan fenomena itu, sepertinya tidak mendapatkan
respons yang memadai. Saya tidak tahu,
apakah teman lainnya tidak faham atau “terperangkap” dalam kerutinan pekerjaan,
sehingga menjadi miopik. Suatu saat saya
menambahkan pandangan dengan memutar sebuah film pendek tentang tuntutan dunia
kerja itu, ternyata beberapa teman tersebut tidak menanggapi. Mereka tertarik pada film tersebut, tetapi
setelah itu juga terus hilang begitu saja.
Saya dan beberapa teman sampai kerepotan untuk mengajak teman-teman itu untuk
memahami fenomena yang menuntut perubahan pendidikan, termasuk di SMK.
Merenungkan kerepotan
itu, saya teringat konsep difusi inovasi yang menyebutkan bahwa respons
terhadap suatu hal baru, orang dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu early adpter, late adopter dan lagard.
Orang yang tergolong early adopter
adalah mereka yang segera memahami dan mengadopsi suatu inovasi atau fenomena
baru dan konon jumlahnya hanya 16%.
Orang yang termasuk late adopter
adalah mereka yang sulit memahami fenomena baru atau mengadopsi suatu inovasi
dan menunggu orang lain memberi contoh. Populasi kelompok late adopter sangat
besar yaitu 68%. Orang yang termasuk lagard adalah mereka yang sangat sulit
memahami perlunya perubahan dengan mengatakan “kita tidak perlu berubah”. Jumlah kelompok lagard sama dengan early adopter yaitu 16%.
Setelah mencoba menggunakan
konsep tersebut, saya dapat memahami mengapa hanya beberapa orang dari tim itu
yang “berani keluar dari perangkap” untuk mencari model pendidikan vokasi yang
sesuai dengan tuntutan zaman. Tampaknya
hanya mereka yang termasuk early adopterlah yang berani keluar perangkap.