Minggu sore tanggal 15 Oktober 2017, saya diundang
anak-anak aktivis di Unesa. Seperti
biasanya mereka mengadakan kegiatan yang diberi nama pembinaan kader. Sekitar 90 menit saya terlibat diskusi dengan
mereka, anak-anak cerdas dengan semangat juang yang menggelora. Anak-anak muda yang menurut saya memerlukan
pendampingan agar daya nalar dan semangat itu terus terpelihara dan mengarah ke
aktivitas positif untuk kemajuan bangsa ini.
Pada awalnya, saya
menyampaikan fenomena digital yang bergitu cepat mengubah pola kehidupan dan
pola pekerjaan. Saya memberi contoh,
jika e-money yang sekarang sedang digalakkan oleh pemerintah ini sukses, maka
akan semakin banyak toko bahkan penjual di pasar yang memiliki scaner yang
dapat menerima pembayaran dengan e-money.
Dengan begitu kita tidak memerlukan banyak uang kontan. Jumlah kantor bank akan menyusut dan
karyawannya akan menyusun petugas gerbang tol yang sekarang kelimpungan.
Jika Indomart,
Alfamart, Sakinah, Tokopedia, Bukalapak, Grab, Ubder, Gojek dan sejenisnya
terus berkembang, maka keberadaan toko dan taksi akan goncang. Anak-anak sekarang cenderung memberi barang
secara online, membaca berita online, naik taksi online, pesan makanan
online. Ketika punya barang nggal
terpakai segera saja dijual online, toh tidak sulitdan syukur jika segera ada
yang membeli.
Untuk menjaga dan
memastikan agar idealisme anak-anak muda tidak terus terjaga, di akhir
pertemuan saya menitipkan tiga hal, yaitu: (1) visi dan misi mereka sebagai
aktivis kampus, (2) kegigihan untuk mencapai visi tersebut, dan (3) nilai-nilai
yang harus dipegang dalam perjuangan. Tentang visi, tujuan saya tidak meragukan,
karena mereka adalah aktivis cerdas.
Namun untuk kegigihan dan nilai-nilai perjuangan saya betul-betul
mengingatkan, karena godaan begitu kuat.
Saya menunjukkan gejala pragmatisme dan mungkin hedonisme yang seringkali merusak kedua
prinsip tersebut.
Saya merasa lega,
ketika anak-anak aktivis cerdas itu sepakat untuk menjaga idealisme dan
berjanji akan menjaga diri untuk tidak tergoda oleh pola pikir pragmatisme yang
mementingkan diri sendiri. Saya pulang
dari acara itu dengan harapan sangat tinggi, kelak beberapa tahun mendatang
akan memiliki generasi muda, intelektual dan berjuang gigih untuk memajukan
negeri ini. Tentu sesuai dengan profesi
dan bidangnya masing-masing, levelnya masing-masing.
Besuk paginya, Senin 16
Agustus 2017 saya diajak makan siang dengan beberapa rekan. Kebetulan yang mengajak adalah teman lama dan
yang hadir juga teman-teman lama.
Seperti biasanya, sambil makan kita ngobrol “ngalor-ngidul”, dan karena
salah seorang yang hadir adalah guru besar ilmu politik, maka obrolan sedikit
banyak menyentuh ke bidang itu. Nah,
ketika kita sedang makan itu, sang pengundang mendapat tilpun dari salah
seorang yang oleh Koran disebut-sebut memiliki peluang untuk maju menjadi calon
Gubernur Jawa Timur. Akhirnya, obrolan
banyak berkisar ke arah itu.
Karena awam, saya
menjadi pendengar dan kemudian bingung sendiri.
Teman ahli ilmu politik tadi menjelaskan, mengapa partai A mendukung
calon X, mengapa calon Y yang dahulu diusung oleh partai B sekarang diusung
partai C yang di masal lalu menjadi pesaingnya.
Teman lain yang kenyang makan garam birokrasi menimpali, bahwa semua itu
demi kepentingan. Kepentingan agar
aman. Teman yang lain mengatakan,
pilihan gubernur Jawa Timur ini tidaklah semata-mata untuk gubernur, tetapi
menata untuk pemilu 2019. Sang profesor
ilmu politik memberi kata pamungkas, itulah politik yang penuh dengan
kepentingan. Tidak ada kawan abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan
itu. Celakanya kadang-kadang kepentingan
seperti itu diwarnai oleh hal-hal yang pragmatis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar