Suatu saat saya ikut
menguji tesis di jenjang S2 suatu perguruan tinggi. Kebetulan mahasiswa yang diuji adala seorang
guru sebuah sekolah kejuruan yang tua dan cukup terkenal. Konon sekolah itu didirikan pada zaman
Belanda dan gedung-gedungnya merupakan cagar budaya. Guru yang sedang menempuh S2 itu cukup cerdas
dan masih muda. Oleh karena itu, ketika
membaca tesis terbersit di benak saya untuk mendorong yang bersangkutan
mengembangkan diri setelah selesai menempuh S2.
Presentasi tesis cukup
menarik karena akan menghasilkan seuatu produk yang mungkin sangat bermanfaat
untuk peningkatan kualitas pembelajaran di SMK. Namun metoda penelitian kurang komprehensif,
karena tidak mengkaji kualitas produk tersebut. Penelitian justru langsung
melihat kemanfaatan dalam pembelajaran.
Tampaknya mahasiswa belum faham bahwa produk itu perlu diuji dulu secara
substantif se
dan tanya jawab dengan
para penguji, saya agak terkejut karena ada penguji yang kukuh dengan
pendiriannya dan seakan menolak pendapat mahasiswa dan juga pendapat penguji
lain. Tampaknya pemahaman adanya school
of thought kurang mendapat perhatian, pada hal para penguji tentu semua
bergelar doktor dan bahkan beberapa orang profesor. Saya risau karena kekukuhan pendapat seperti
itu menunjukkan terbatasnya bacaan yang bersangkutan dan yang lebih mengkhawatirkan
akan mendorong mahasiswa berpikir kerdil karena tidak mengakui pemikiran orang
yang berbeda pendapat.
Sebagaimana kita
fahami bersama, dalam dunia keilmuan kebenaran itu bersifat relatif dan banyak
“aliran/teori/mazab” yang semuanya memiliki argumentasi masing-masing. Pada beberapa bidang ilmu perbedaan seperti
mudah “ditengahi”, tetapi pada bidang ilmu yang lain sulit dipertemukan karena
sangat terkait dengan konteks sosial budaya.
Oleh karena itu adanya dua atau beberapa teori yang berbeda itu akan
tetap berjalan dan memiliki “penganut” masing-masing.
Bahkan ada ahli yang
mengatakan keberasaan beberapa “teori/aliran/mazab” seperti itu justru
memberikan dampak positif karena akan mendorong kita mengkaji lebih lanjut
untuk menemukan yang lebih mana yang lebih cocok dengan konteks sosial budaya
atau masyarakat atau situasi yang kita hadapi.
Dan kajian sepertilah yang menjadi “pintu” perkembangan ilmu
pengetahuan.
Apakah fenomena dosen
yang saya temui itu hanya terjadi di satu tempat, yaitu tempat saya ikut
menguji tesis itu? Ternyata tidak. Informasi yang saya dapat dari beberapa teman
dosen, ternyata fenomena seperti itu juga terjadi di tempat lain. Lantas apa yang dapat kita lakukan? Tampaknya
perluasan wawasan bagi dosen sangat penting.
Dosen perlu didorong untuk sering membaca literatur baru dari berbagai penulis
yang mungkin saja bukan bidang keahliannya.
Dosen juga perlu didorog untuk terlibat diskusi akademik lintas bidang
agar mengetahui sudut pandang disiplin ilmu lain. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar