Beberapa minggu lalu
saya kedatangan beberapa rekan alumni Unesa.
Seperti biasanya kita ngobrol ngalor ngidul, melepas rindu sambil
berkelakar tentang masa lalu. Tiba-tiba
seorang rekan yang termasuk agak yunior menyampaikan keluhan. Yang bersangkutan berprofesi sebagai guru IPS
di sekolah swasta yang favorit di Surabaya dan bercerita kalau kelabakan
ditanya muridnya yang memang dikenal pandai dan kritis.
Kami semua
mendengarkan, karena memang ceritanya menarik.
Konon siswanya baru mendengarkan talk show di televisi dan mendapatkan
informasi bahwa untuk dapat menjadi bupati atau walikota diperlukan biaya
minimal 50 milyar rupiah. Yang memberi
informasi itu seorang tokoh dan tokoh lain yang hadir di talk show itu
mengamini biaya itu. Nah siswanya
mengajukan dua pertanyaan: (1) untuk apa biaya sebesar itu?, dan (2) apakah
gaji dan pendapatan bupati/walikota cukup untuk mengembalikan dana 50 milyar
itu?
Pertanyaan logis dan
cerdas, karena tentu dana yang dikeluarkan ketika mencalonkan diri itu harus
dapat kembali dari penghasilan saat yang bersangkutan menjabat. Mungkinkah ada seseorang yang mencalonkan
menjadi bupati/walikota/gubernur tanpa dapat pengembalian dana itu, dengan
alasan itu sebuah perjuangan untuk rakyat?
Mungkin saja, tetapi rasanya tidak banyak orang seperti itu. Toh kenyataannya banyak orang yang mencalonkan
diri menjadi bupati/walikota dan konon tidak ada bupati/walikota yang menjadi
melarat setelah selesai menjabat.
Mungkin karena yang
datang adalah teman lama dan tujuan mereka ngumpul bukan untuk diskusi, maka
keluhan itu tidak mendapatkan tanggapan serius.
Boro-boro diberi bantuan untuk menjawab, justru teman yang bertanya itu
dibuli: “Pertanyaan gitu saja, guru IPS tidak dapat menjawab”. “Coba saya
kepala sekolahnya, pasti besuknya sampeyan tak pensiun”. Ada lagi teman yang memberi komentar miring:
“Toh banyak yang ingin jadi bupati dan walikota, pastilah penghasilannya lebih
banyak dibanding yang dikeluarkan”.
Ketika teman-teman
pulang, saya jadi ingat pendapat Prof Djoko Santosa, dosen ITB yang waktu itu
menjadi dirjen Pendidikan Tinggi. Suatu
saat Pak Djoko bercerita, biaya politik kita ini sangat tinggi. Saya lupa angka pastinya, tetapi Pak Djoko
menyebutkan untuk menjadi anggota DPR memerlukan biaya yang tinggi, untuk
menjadi bupati/walikota.gubernur memerlukan biaya yang lebih tinggi. Nah,
selama biaya politik yang tinggi itu terjadi, maka akan ada saja oknum bupati/walikota
yang korupsi untuk dapat pengembalian dana yang dikeluarkan. Saya bertanya, mengapa
seperti itu? Kata Pak Djoko, berapa
penghasilan resmi anggota DPR/bupati/ walikota/gubernur. Apa cukup untuk mengembalikan uang yang
dikeluarkan itu? Apa ada orang yang mau
jadi bupati/walikota/gubernur jika biaya saat mencalonkan diri tidak
terkembalikan saat menjabat?
Saya mencoba
menggandengkan keluhan teman guru IPS tadi dengan pendapat Pak Djoko
Santosa. Untuk menjadi bupati diperlukan
biaya 50 milyar dan masa jabatan bupati itu selama 5 tahun. Jika logika bahwa pengeluaran itu harus balik
selama menjabat, maka dalam satu tahun bupati/walikota harus punya penghasilan
10 milyar. Jika dihitung per bulan,
berarti bupati/walikota harus memiliki penghasilan rata-rata 833 juta per
bulan.
Saya tidak tahu berapa
gaji bupati/walikota dan berapa penghasilan tambahan, misalnya tunjangan ini
dan itu serta penghasilan lain. Namun
saya ragu apakah mencapai 830 juta rupiah dalam satu bulan. Nah, jika perkiraan tersebut benar, maka apa
yang dikatakan oleh Pak Djoko itu mungkin ada benarnya. Jadi saya dapat mengerti jika teman guru IPS
tadi kelabakan untuk menjawab pertanyaan muridnya. Rasanya sulit untuk menjelaskan kepada siswa
kalau penghasilan bupati itu lebih dari 833 juta per bulan.
Untuk apa dana 50
milyar itu? Jujur saya tidak tahu. Mungkin untuk biaya kampanye. Tapi apa untuk kampanye perlu biaya sebesar itu? Saya juga tidak tahu. Namun yang saya pikirkan, seandainya uang
sebesar itu didepositokan berapa keuntungan yang diperoleh. Katakanlah menggunakan bank konvensional yang
memberikan bunga 6% per tahun, berarti dari uang 50 milyar itu akan diperoleh bunga
3 milyar setahun atau 250 juta per bulan.
Pertanyaan yang muncul, untuk apa orang mengeluarkan uang sebanyak 50
milyar untuk menjadi bupati, pada hal kalau dana itu didepositokan akan
mendapat penghasilan 250 juta per bulan atau 8,3 juta per hari. Rasanya orang dapat hidup mewah dengan
penghasilan 8,3 juta per hari.
Merenungkan
angka-angka di atas, saya bingung sendiri.
Rasanya kok banyak yang tidak masuk akal ya. Apakah akal saya yang tidak sampai atau
memang dunia itu tidak selalu rasional. Untunglah saya tidak menjadi guru IPS
sehingga tidak menghapi pertanyaan murid yang sulit dijawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar