Tahun ini kebijakan
zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) dilaksanakan secara nasional
dan menimbulkan polemik, bahkan Mendikbud terpaksa harus turun tangan. Sejauh yang saya tahu, PPDB dengan zonasi,
artinya penerimaan siswa baru menggunakan pertimbangan utama kedekatan antara
tempat tinggal calon siswa dengan sekolah yang diinginkan. Tentu ada kuota yang diberikan untuk calon
siswa yang tempatnya jauh dari sekolah, namun jumlahnya kecil sehingga hanya
mereka yang sangat pandai yang dapat memilih sekolah yang jauh dari tempat
tinggalnya.
Sebenarnya pola itu
bukan sesuatu yang baru. Seingat saya,
Pemkot Surabaya sudah melaksanaan pola itu cukup lama dengan nama sistem rayon. Saya termasuk mendukung pola itu, dengan dua
alasan. Pertama, banyaknya siswa yang bersekolah di tempat jauh dari
rumahnya akan menyebabkan transportasi tambah padat. Belum lagi jika dihitung berapa banyak bensin
atau biaya transportasi yang dihabiskan untuk siswa pulang pergi ke sekolah
yang jauh dari rumahnya. Saya pernah
berkelakar, jika di Surabaya ada 1 juta siswa yang bersekolah yang jauh dari
rumahnya dan setiap hari memerlukan bensin 2 liter untuk pergi sekolah, maka
dalam 1 hari ada 2 juta liter bensin yang dihabiskan. Jika dalam satu bulan ada 24 hari sekolah,
maka dalam 1 tahun diperlukan bensin 12x24x2 juta liter atau 576 juta
liter. Sangat besar bukan?
Kedua, pola rayon akan memaksa pemerintah kota untuk memeratakan mutu
sekolah. Maksudnya mengupayakan agar
mutu sekolah merata di semua wilayah.
Jika Surabaya dijadikan contoh dan sudah dikenal SMA yang baik itu “SMA
Kompleks” di Surabaya Pusat, maka Pemkot Surabaya harus mengupayakan agar di
wilayah Surabaya Utara, Surabaya Timur, Surabaya Selatan dan Surabaya Barat
agar ada SMA yang mutunya setara dengan SMA Kompleks, sehingga lulusan SMP di
wilayah tersebut punya peluang mendapatkan SMA yang baik. Itulah mengapa, sebelum pola rayoninasi,
Pemkot Surabaya mengembangkan apa yang disebut “sekolah kawasan”. Saat itu Pemkot Surabaya mengembangkan
beberapa sekolah negeri di wilayah Utara, Timur, Selatan dan Barat agar mutunya
setara dengan SMA di tengah kota. Salah
satu hasil dari program itu misalnya SMA 15 di Menanggal (Surabaya Selatan),
SMP 19 (Surabaya Timur) yang mutunya sudah setara dengan sekolah baik di
Surabaya Pusat.
Pentahapan itu yang
menyebabkan PPDB dengan sistem rayon yang diterapkan di Surabaya dan kemudian
berubah nama menjadi PPDB dengan sistem zonasi tidak menimbulkan gejolak
berarti di Surabaya. Tetap ada yang tidak puas, tetapi tidak semasif daerah
lain, karena di setiap wilayah sudah ada sekolah yang mutunya baik. Ditambah
lagi di Surabaya muncul sekolah-sekolah swasta yang bermutu bagus yang umumnya
justru berlokasi di pinggiran kota, sehingga orang tua yang tidak cocok dengan
sekolah negeri “terbaik” di daerahnya dapat memasukkan anak ke sekolah swasta
tersebut.
Sepanjang yang saya
baca di koran dan lihat di televisi, orang tua yang protes umumnya beralasan di
wilayahnya tidak ada sekolah yang bermutu bagus, sehingga merasa
kebingungan. Mungkin memang ada sekolah
yang bermutu baik dan tidak dibatasi zonasi, tetapi umumnya ber-SPP mahal. Oleh
karena itu, orang tua yang keuangannya “terbatas” dan masih memilih sekolah
negeri merasa kebingungan untuk mendapatkan sekolah bagi anaknya dan akhirnya
protes.
Fenomena protes orang
tua terhadap kebijakan PPDB berzonasi semakin memperkuat keyakinan bahwa mutu
pendidikan kita belum merata.
Kesenjangan mutu pendidikan, tidak hanya antara Jawa dan Luar Jawa
sebagaimana sering disebutkan orang, tetapi juga di Jawa dan bahkan dalam satu
kabupaten/kota. Tidak hanya di kota kecil tetapi juga kota besar. Sebagai
contoh di Surabaya, ada sekolah-sekolah yang bagus tetapi juga masih banyak
sekolah yang mutunya jauh dari harapan.
Kita dapat melihat ada
sekolah yang tergolong cyber school, tetapi juga ada sekolah masih dengan ruang
dan papan tulis. Jika menggunakan
tahapan industri, sekolah kita khususnya di kota besar sudah ada yang
terketegori industri 4.0, tetapi juga masih ada yang tergolong industri 2
bahkan industri 1. Jika menggunakan istilah
Alvin Tofler, sudah ada sekolah yang tergolong gelombang 3 tetapi juga masih
ada sekolah yang tergolong gelombang 1.
Dengan munculnya
protes orang akibat kebijakan PPDB berzonasi mengingatkan kita semua bahwa
kesejangan mutu pendidikan kita sangat lebar dan mendorong kita semua untuk
mengatasinya. Menurut saya, fungsi pemerintah adalah menyempitkan kesenjangan
penddidikan. Enersi pemerintah yang
terbatas harus difokuskan untuk membantu sekolah yang mutunya rendah. Ibarat kita punya anak banyak, biarkan
sekolah yang mutunya sudah bagus dan biasanya diminati banyak orangtua untuk
mandiri, enersi kita untuk membantu sekolah-sekolah yang mutunya kurang baik
dan biasanya tidak diminati oleh orangtua.
Semoga.