Sore kemarin saya
harus menunggu isteri di bandara Ngurah Rai Denpasar sekitar 2 jam. Ceritanya
saya diundang oleh Undiksa untuk mengisi sebuah seminar tentang Pendidikan
Teknologi di Era Industri 4.0. Nah,
karena harinya Sabtu saya mengajak isteri, agar bisa sekedar jalan-jalan di
Bali. Namun, pada hari Jum’at posisi
saya sedang di Jogya, sementara isteri di rumah (Surabaya). Jadinya, saya terbang dari Jogya sedangkan
isteri terbang dari Surabaya dan janjian ketemu di bandara Ngurah Rai Denpasar.
Sebenarnya jam
penerbangan sudah diatur, agar datangnya hampir bersamaan. Namun begitulah penerbangan kita. Penerbangan isteri saya dari Surabaya delay
sekitar 3 jam, sehingga yang mestinya datang lebih dahulu, kedatangan isteri
saya justru di belakang kedatangam saya sekitar 2 jam. Jadi saya harus menunggu di bandara sekitar 2
jam, agar dapat ke hotel sama-sama.
Saya memutuskan
menunggu di taman kecil di dekat pintu masuk gedung terminal dari arah
kedatangan. Maksud saya agar isteri
tidak perlu mencari-cari, karena begitu masuk gedung terminal sudah
ketemu. Saya juga lebih mudah melihat kedatangan
isteri. Apalagi di dekat itu ada monitor
yang melaporkan kedatangan pesawat, sehingga saya dapat melihat apakah pesawat
dari Surabaya sudah mendarat.
Karena lokasi taman
kecil itu di pinggir jalan menuju tempat pengambilan bagasi dan juga pintu
keluar, maka semua penumpang yan datang melewatinya. Jadilah saya mengamati para penumpang yang
lewat selama sekitar 2 jam, termasuk yang mampir berfoto ria di taman itu,
maupun di dekat baliho tentang run and pace yang akan diadakan pada tanggal 9
September 2018. Macam-macam ulah mereka, apalagi yang membawa anak atau cucu
hampir semuanya mampir untuk berfoto ria.
Tentu kita tahu,
bandara Ngurah Rai adalah pintu masuk wisatawan, baik domestik maupun
asing. Dengan demikian yang lewat di
dekat saya juga campuran orang asing maupun orang Indonesia. Tentu itu hanya
perkiraan saya, karena saya sering kesulitan menebak, ini orang Indonesia atau
Malaysia atau Thailand. Ini orang bule
atau orang Indonesia yang berdarah campuran, karena salah satu orangtuanya
orang asing, baik itu orang Barat atau mungkin Jepang. Saya juga sulit membedakan orang Indonesia
keturunan Tionghoa atau memang orang dari China atau Taiwan atau Hongkong yang
sedang berwisata. Saya juga tidak dapat
membedakan orang Indonesia keturunan Arab atau memang orang Timur Tengah yang
datang ke Indonesia. Nah, saya baru bisa menebak-nebak, kalau mereka berbicara.
Karena tidak punya
kepentingan apa-apa, selain nunggu kedatangan isteri, akhirnya saya sekedar
melihat orang yang lewat. Nah, yang saya
segera lihat adalah cara mereka berpakaian.
Ada yang berpakaian “resmi”, pakai jas atau batik, ada yang berpakaian
kasual, ada juga yang sangat santai dengan celana pendek dan kaos oblong dengan
sandal jepit. Itulah yang menarik
perhatian saya, sehingga akhirnya selama sekitar 2 jam saya mencermati cara orang
berpakaian.
Sangat menarik. Sangat
warna warni. Bule yang lewat saat itu hampir semua bepakaian santai, misalnya
celama jin dengan kaos oblong. Wisatawan
dari Asia Timur ada yang pakaiannya lebih santai dari para bule, misalnya
dengan “tank top yang terkesan seadanya” tetapi juga banyak berpakaian
kasual. Nah, cara berpakaian orang
Indonesia juga sangat menarik untuk diamati.
Ada yang berpakaian relatif formal dengan baju batik atau jas tanpa
dasi. Mungkin dalam perjalanan untuk acara resmi. Namun juga ada sangat santai, dengan
bersandal jepit, celana pendek dan kaos oblong belel. Bahkan juga yang berpakaian seksi dengan rok
super mini dan kaos ketat. Namun
demikian, dari warna pakaian tidak ada yang mencolok. Selama 2 jam seingat saya
hanya ada 1 orang ibu muda yang bercelana panjang berwarna kuning cerah dan
bagi hijau bermotif bunga. Lainnya
dengan warna pakaian soft, seperti putih, krem, biru muda, biru hitam dan
sejenis itu.
Mencermati pakaian
orang yang lalu lalang di bandaa Ngurah Rai, saya jadi teringat amatan
berpakaian orang dari berbagai negara/daerah yang pernah dimuat di blok
ini. Orang Jerman dan Belanda umumnya
berpakaian dengan warna soft. Saya tidak
pernah melihat orang Jerman (asli-bukan pendatang) yang memakai pakaian berwarna
cerah/mencolok, misalnya merah, kuning dan hijau. Sebaliknya teman-teman dari Afrika banyak
yang senang memaka baju berwarna cerah dan warna-warni. Setahu saya, di Indonesia juga ada orang
daerah tertentu yang umumnya berpakaian warna soft tetapi juda ada daerah yang
orang-orangnya senang berpakaian warna cerah.
Saya tidak tahu, apakah
cara berpakaian terkait dengan kepribadian atau tidak. Apakah terkait dengan
tradisi seseorang atau tidak. Yang saya
amati sore itu, ternyata cara berpakaian orang sangat bervariasi, baik orang-orang
Indonesia maupun orang-orang Asia Timur.
Yang justru tidak banya variasi adalah turis bule. Mungkin teman
psikologi yang dapat menjelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar