Tanggal 4 September
2018, saya diminta memandu diskusi di forum pendidikan diadakan oleh Bank Dunia
Jakarta bersama Balitbang Dikbud Jakarta.
Diskusi dibagi menjadi tiga putaran dengan tiga topik yang berbeda namun
saling terkait. Saya kebagian memandu putaran
pertama, dengan topik Performance Based Teacher Pay dan Teacher Hiring, dengan
pembicara Dr. Subandi (Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Masyarakat
Bappenas), Dr. Supriano (Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan), Noah Yarrow
(Team Leader Bank Dunia Jakarta dan Timor Leste), dan Dewi Susanti (Senior
Social Development Specialist Bank Dunia).
Putaran kedua dipandu oleh Pak Ismunadar dari ITB dengan topik
Performance Based BOS dengan pembicara Dr. Hamid Muhammad (Dirjen Dikdasmen),
Dr. Kamarudin Amin (Dirjen Pendais Kemenag), Javier Luque (Education expert
Bandu Dunia Jakarta), Rafael de Hoys (Lead economist di Education Unit Bank
Dunia Latin Amerika). Putara ketiga dipandu
oleh Bu Najeela Shihab dari UI, dengan topik Education performance index dan
student assessment, dengan pembicara Dr. Totok Suprayitno (Ka Balitbang
Dikbud), Dr. Bahrul Hayat (UIN Jakarta dan mantan Sekjen Kemenag), Blane Lewis
(Direktur ANU’s Indonesia Project), Rythia Afkar (Economist Bank Dunia). Peserta diskusi sekitar 40 orang, umumnya
pejabat di Kemdikbud, staf Bank Dunia. Fihak luar yang diundang antara lain,
pemerhati pendidikan dari perguruan tinggi maupun NGO, misalnya Prof Satryo (dosen
ITB dan mantan Dirjen Dikti), Dr. Abdul Malik (konsultan pendidikan ADB), Dr.
Itje Chodijah (aktivis Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan), Prof T. Basarudin
(Ketua BAN PT dan dosen UI), Dr. Jahja Umar (UIN Jakarta dan mantan Kepala
Pusat Penelitian), Prof Iwan Pranoto (dosen ITB).
Walaupun tampaknya
pembicara dan pesertanya “tokoh-tokoh” plus “bule-bule” Bank Dunia, ternyata
pemikiran yang muncul hampir tidak ada yang baru dan juga tidak terlalu
dalam. Pada saat membahas performance
based teacher pay, yang muncul hasil studi Bank Dunia bahwa tidak ada dampak
tunjangan profesi terhadap hasil belajar siswa, absensi guru yang mendapat
tunjangan profesi justru lebih tinggi dibanding rekannya yang belum mendapatkan
tunjangan profesi. Itu temuan 3 tahun
lalu dan sudah sering dibahas. Menurut
saya studi itu hanya “dipermukaan” karena tidak mengungkap faktor
penyebabnya. Hasil belajar yang dilihat
dari nilai UN rasanya tidak cukup valid untuk menentukan kinerja guru. Kita
sama-sama tahu banyak variabel yang berpengaruh terhadap nilai UN. Kehadiran guru juga demikian. Saat studi itu dilakukan, baru separuh guru
yang mendapat tunjangan profesi dan pada umumnya mereka guru senior. Semua orang faham bagaimana tingkat kehadiran
guru jika dikaitkan dengan senioritas.
Jadi simpulan bahwa tunjangan profesi tidak bepengaruh terhadap kinerja
guru adalah sebuah simpulan yang terlalu simplifikatif. Bahkan Pak Supriano menunjukkan pengaitan
tunjangan profesi dikaitkan dengan kinerja guru sedang dirumuskan mekanismenya.
Ketika membahas
teacher hiring, tim Bank Dunia mengusulkan agar seleksi menjadi guru dilakukan
dengan ketat, sehingga hanya mereka yang “pandai” yang menjadi guru. Apakah itu hal baru? Menurut saya tidak. Hampir semua orang
mengatakan begitu. Yang menjadi masalah adalah bagaimana operasional keinginan
itu. Bahkan pasal 23 ayat (1) UU 14/2005
tentang Guru dan Dosen mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengembangan
pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama agar lebih efisien dan
bermutu. Jadi kesadaran pentingnya
mendapatkan calon guru yang bermutu sudah ada.
Sekali lagi yang menjadi problem adalah kemauan dan kemampuan untuk
melaksanakannya.
Pada putaran kedua,
Dr. Rafael dari Bank Dunia mencotohkan bagaimana sebuah distrik di Brasil mampu
menggunakan anggaran semacam BOS untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bagaimana
pemberian BOS dikaitkan dengan kinerja sekolah.
Apa itu sesuatu yang baru? Tidak.
Sudah banyak diskusi tentang efektivitas BOS, bahkan mempertanyakan apakah BOS
tidak diarahkan untuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan, sehingga hanya
sekolah “level bawah” yang mendapatkan.
Juga sudah dibahas adanya duplikasi perhitungan anggaran pendidikan
(yang di dalamnya ada komponen BOS) dari DAU yang dihitung oleh pemerintah
pusat tetapi juga dihitung lagi di propinsi/kabupaten/kota. Akibatnya, di
sebagian besar kabupaten/kota anggaran pendidikannya mengandalkan dari DAU,
sedangkan yang berasal dari PAD sangat minim.
Pada pembahasan
student assessment di putaran ketiga juga tidak ada yang baru, bahkan seakan
ada kontradiktif. Dr. Rythia Afkar dari
Bank Dunia menyarankan penggunaan standardized test sejak kelas awal SD,
sementara itulah yang ditentang banyak fihak karena tes seperti itu tidak
merangsang anak berpikit alternatif.
Sementara Dr. Blane Luwis justru menjarankan penggunaan education index
yang diperoleh dari normalized skor hasil belajar digabung dengan tingkat
kenaikan kelas.
Yang menggelitik
adalah, walaupun yang diungkapkan di forum itu praktis tidak ada yang baru,
tetapi banyak peserta mengangguk-angguk.
Saya tidak tahu apa pikiran peserta di balik itu. Yang saya takutkan, mereka begitu mempercayai
apa yang disarakan tim Bank Dunia karena yang menyampaikan “bule” apalagi
dilabeli ahli Bank Dunia. Tampaknya
ungkapan not the song but the singer masih berlaku di kalangan elit pendidikan
kita. Kita silau karena yang mengatakan
pada “bule” dan bukan terhadap apa yang dikatakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar