Life long
learning atau belajar sepanjang hayat telah menjadi mantra yang sering
diucapkan oleh orang yang bergerak dalam pendidikan. Tulisan ini juga dipicu oleh tulisan Lant Pritchett
berjudul Schooling but not Learning. Namun
tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau sebaliknya menyalahkan
tulisan Lant Pritchett atau tulisan lain yang selama ini sudah mengemuka.
Tulisan pendek ini semata-mata ingin mendudukkan konsep life long learning terkait dengan pendidikan dan persekolahan.
Kita
mulai dengan membahas apa makna learning
atau belajar. Dalam bahasa Inggris, learning sering
diartikan sebagai the process or experience of gaining knowledge or skill, sedangkan
dalam bahwa Indonesia belajar sering
dimaknai sebagai terjadinya perubahan perilaku yang merupakan hasil interaksi
individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat permanen. Dengan demikian belajar berbeda dengan
bersekolah. Belajar dapat diterjadi
dimana saja dan kapan saja, sepanjang seseorang memperoleh pengetahuan atau
sikap atau keterampilan baru.
Pengetahuan atau sikap atau keterampilan itu
dapat diperoleh ketika diajarkan oleh guru di sekolah, atau didalam permainan
bersama kawan atau bahkan dari kejadian yang ditemui ketika seseorang sedang
sendirian. Ketika kita tanpa sengaja berjalan dengan telanjang kaki di jalan
aspal di siang hari dan merasakan panas, sebenarnya saat itu telah terjadi
proses belajar. Yaitu, mendapatkan
pengetahuan bahwa jalan aspal di siang hari panas. Ketika melihat TV yang
menayangkan berita bahwa Tsunami yang terjadi saat Anak Krakatau meletus
dikarenakan adanya dinding gunung yang runtuh, maka saat itu juga terjadi
proses belajar. Ketika seorang ini
mencoba-coba memasukkan benang ke jarum dan menemukan cara yang tepat, pada
saat itu juga terjadi belajar. Ketika
melihat pengendara sepeda motor menerobos lampu merah dan kita mengatakan itu
perbuatan berbahaya dan jangan ditiru, maka saat itu juga terjadi proses belajar. Yang ingin ditekankan disini bahwa proses
belajar dapat terjadi tanpa adanya guru dan tanpa ada seseorang yang
mengajari. Bukankah ada kata-kata bijak
“apapun yg kita jumpai itu merupakan pelajaran dari Allah swt. Jika itu baik
harus kita tiru, sebaliknya jika jelek harus kita hindari”.
Berarti belajar sepanjang hayat dapat dilakukan
oleh setiap orang? Menurut saya
“ya”. Hanya saja, ada yang by design (dengan sengaja) dan ada yang by chance (secara kebetulan, tidak
disengaja). Disinilah masalahnya. Ketika seseorang yang dengan sengaja
mengamati suatu fenomena dan ingin mengetahui dengan lebih dalam, maka yang
bersangkutan dengan sengaja ingin belajar.
Misalnya, kita baru membeli HP dan membaca buku manual dan mencoba
menerapkannya, maka kita dengan sengaja belajar. Lantas seperti apa contoh belajar tanpa
sengaja? Tadi, ketika tanpa sengaja kita
berjalan di jalan aspal di siang hari.
Kita tidak sengaja ingin mengetahui jalan aspal itu panas di siang hari. Pengetahuan itu kita dapatkan tanpa sengaja.
Jika proses belajar dapat terjadi secara
alamiah pada siapapun, kapanpun dan dimanapun, lantas apa gunanya sekolah? Lantas apa bedanya dengan pendidikan? Untuk membahas itu kita perlu fahami dahulu
apa pengertian pendidikan (education). Dalam bahasa Inggris kata education sering
dimaknai sebagai the process of facilitating learning,
sedang dalam bahasa Indonesia pendidikan dimaknai dengan
upaya membantu peserta didik dalam belajar.
Pada UU Sisdiknas pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran Jadi pendidikan
terjadi jika ada seseorang (guru/orangtua/tutor dsb) membantu orang lain (murid
atau siapapun) untuk mempelajari sesuatu. Dengan
kata lain, pendidikan dilakukan agar terjadi proses belajar by design, bukan by chance.
Lantas apa kaitannya dengan sekolah atau school? Dalam bahasa Inggris, school diartikan
sebagai an educational institution designed to provide learning
spaces and learning environments for the teaching of students, sedang dalam bahasa Indonesia sekolah diartikan sebagai lembaga pendidikan yang
dirancang secara khusus untuk mendidik siswa dalam pengawasan para guru. Jadi sekolah adalah lembaganya. Pendidikan adalah proses fasiltasi atau
pemberian bantuan oleh guru/pengajar kepada siswa agar dapat belajar dengan
baik. Sedangkan belajar adalah proses memperoleh pengetahuan dan atau
keterampilan baru.
Mengaitkan
ketiganya (belajar, pendidikan dan sekolah) kita dapat menemukan makna belajar
sepanjang hayat atau life long learning. Di sekolah diharapkan terjadi proses
pendidikan untuk membiasakan anak-anak belajar (by design) dan kebiasaan terus
dibawa setelah mereka lulus dan menjalani kehidupan di masyarakat dan
bekerja. Dengan demikian yang
bersangkutan secara sengaja terus belajar, baik dari fenomena yang dialami
ataupun pelatihan. Maka sekolah
diharapkan menjadi tempat penyemaian life
long learning. Itulah sebabnya saya mendukung Kurikulum 2013 yang
menggunakan pendekatan saintifik 5 M (mengamati, mempertanyakan, menalar, mencoba
dan mengkomunikasikan). Anak dibiasakan
mengamati fenomena di sekitarnya dan mempertanyakan mengapa itu terjadi,
mengapa begini dan begitu. Setelah itu
mencoba menalar (membuat dugaan-dugaan atau bahasa ilmiahnya mengajukan
hipotesis sesuai dengan tingkatan pendidikannya), apakah itu karena ini atau
itu. Setelah itu mencoba untuk menguji
apakah dugaannya itu benar atau salah.
Terakhir mengkomunikasikan atau menyampaikan apa yang dialami dan
dipikirkan kepada orang lain.
Apakah
life long learning merupakan konsep
baru? Jawabnya “tidak”. Dalam Islam dikenal hadis: “tuntutlah ilmu
mulai dari buaian sampai liang lahat”.
Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Barangsiapa
yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang
beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang
yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya
kemarin maka dia terlaknat”. Jika ucapan Ali bin Abi Thalib itu dikaitkan
dengan kepandaian, maka bermakna setiap orang diminta untuk belajar terus
sepanjang hayat.
Jika kaitannya seperti itu, apa yang dimaksud oleh Lant Pritchett schooling but not learning? Tentu itu bukan makna harafiah, sekolah
tetapi tidak belajar. Bukankah setiap
saat orang belajar, apalagi di sekolah yang tentu ada guru yang tugasnya
membantu siswa agar dapat belajar dengan baik.
Dalam buku tersebut, Pritchett menunjukkan data bahwa pada
sekolah-sekolah di beberapa negara, kompetensi siswa jauh dari standar yang
ditetapkan oleh negara tersebut.
Anak-anak sekolah tetapi hasil belajar mereka jauh di bawah standar yang
seharusnya dicapai, sehingga Pritchett menyebutkan di sekolah-sekolah tersebut
tidak terjadi proses belajar (seperti yang seharusnya).
Walaupun
diungkapkan dengan kalimat sarkastis, tetapi fenomena itu perlu mendapat
perhatian kita. Walaupun penelitian
Pritchett tidak di Indonesia, kita perlu merenungkan apakah kejadian seperti
itu juga terjadi di sekolah kita.
Jangan-jangan ada atau bahkan banyak anak-anak kita yang naik kelas atau
lulus sekolah tetapi tidak mencapai standar kompetensi yang seharusnya. Kita tentu pernah mendengar ada anak lulus SD
tetapi belum lancar membaca. Anak lulus
SMA tetapi belum pandai menyelesaikan soal-soal pecahan sederhana. Jika hal itu terjadi, tentu kita harus bahu
membahu mengatasinya. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar