Sungguh beruntung saya
diundang dalam pertemuan tanggal 10-11 Januari 2020, karena dapat bertemu
dengan Pak Iwan (Iwan Shahril, PhD, staf khusus Mendikbud). Mengapa?
Karena Pak Iwan menjelaskan apa yang dimaksud dengan merdeka belajar,
sehingga pertanyaan yang sebelumnya menggelayut di benak saya dapat terjawab. Mudah-mudahan saya tidak salah dalam memahami
penjelasan beliau. Berikut ini saya
ingin berbagi hasil renungan, setelah mendapat pencerahan tersebut.
Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang intinya ingin
membantu anak menjadi merdeka, mampu mandiri dan tidak tergantung orang lain. Tentu tetap harus diingat bahwa mandiri dan
merdeka itu tetap dalam koridor bahwa manusia itu bagian dari komunitas dimana
dia berada. Juga sebagai makhluk Sang
Pencipta (Al Khaliq), sehingga harus mengikuti koridor keyakinannya yang
bersumber dari Sang Pencipta.
Keharmonisan penerapan antara manusia merdeka, bagian dari komunitas dan
makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.
Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses. Pak Iwan menggunakan istilah yang sering
digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent
tetapi delivered. Dalam konteks ini, jujur saya belum memahami
secara baik, karena memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau
menggunakan metaphor WA, sent itu
ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya
diterima. Namun jika pesan itu dibaca
ditandai dua cawang berwarna biru (vv). Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca
dan bukan sekedar dikirim atau diterima.
Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori
pembelajaran yang secara konsep mirip dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya
menduga yang dimaksud merdeka belajar bukan proses berpikir dalam process
approach maupun K-13, tetapi proses pembelajaran. Artinya pembelajaran tidak boleh berhenti
pada apa yang dilakukan guru tetapi harus sampai apa yang diperoleh siswa. Jadi yang dimaksud bergeser dari proses ke
hasil, sama dengan prinsip shifting
paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian? Karena dalam teori pembelajaran “modern”,
justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin
dikembangkan dalam pendidikan. 5 M yang
dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu
terjadi, mencoba mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang
dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.
Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter. Menurut P Iwan yang
lebih penting bagi anak-anak kita adalah menguasai kompetensi critical thinking, creativity,
communication, collaboration, compassion, computational logic dan
sebagainya, yang sangat diperlukan di era disrupsi. Sedangkan konten itu nomor dua, karena dapat
dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menjelaskan secara
detail atau saya yang tidak dapat menangkap penjelasan beliau.
(2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak dapat melompat. Matematika merupakan salah satu contoh. Anak tidak akan dapat belajar perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan. Anak tidak akan dapat belajar pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa ketika belajar penjumlahan anak harus berpikir kritis sangat betul, tidak hanya hafal tetapi paham mengapa begini dan begitu.
Dalam menggandengkan
konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan bahan
banding. Matapelajaran (konten) disebut
sebagai learning areas, sedangkan
konten dan karakter disebut sebagai learning
goals. Misalnya, ketika anak SMP
belajar IPA salah satu tujuannya adalah siswa dapat menguasai dan memanfaatkan
pengetahuan tentang magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari
secara kreatif.
Ke-empat, sekolah sebagai unit inovasi, bukan seperti birokrasi. Pak Iwan sempat
memberi ilustrasi, jangan sampai statement Mendikbud tentang RPP 1 lembar
lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru. Guru harus menggunakan kemerdekaan dalam
mengajar untuk melakukan inovasi pembelajaran, agar hasil belajar siswa
maksimal. Prinsip ini sejalan dengan
temuan Abu Dohuo bahwa hasil belajar siswa itu fungsi dari inovasi praktis yang
dilakukan guru dalam pembelajaran.
Hasil-hasil inovasi
pembelajaran seperti itu akan sangat baik dijadikan bahan berbagi pengalaman
dalam forum KKG dan MGMP. Yang disebut
hasil, tidak harus berupa kesuksesan tetapi juga kegagalan dan hambatan ketika
melakukan suatu inovasi. Dengan demikian
KKG dan MGMP menjadi tempat saling belajar bagi para guru. Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan
menjadi tempat berbagi berbagai pengalaman memecahkan masalah berdasarkan
kondisi real di lapangan.
Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud
sebagai unit enabler. Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak
bertindak sebagai pihak yang memerintah dan mengontrol, tetapi justu membantu
dan memfasilitasi sekolah agar dapat melaksanakan proses pendidikan dengan
baik. Mungkin mirip dengan konsep total quality management (TQM) in education
yang diajukan oleh Sallis. Konsep ini
juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada konsep ini, tugas guru adalah membantu
dan menfalitiasi siswa agar dapat belajar dengan optimal. Tugas kepala sekolah adalah membantu dan
memfalitasi guru agar dapat bekerja dengan baik. Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud adalah
membantu sekolah agar dapat melaksanakan proses pendidikan dengan baik. Jadi bergeser dari to govern menjadi to empower
and to enable.
1 komentar:
Sangat memperkaya wawasan. Maturnuwun Bapak.
Posting Komentar