Kemarin sore sekitar
pukul 16.30 saya naik taksi dari bandara Halim Perdana Kusuma menuju daerah
Darmawangsa Jakarta Selatan. Macet? Pasti. Waktunya pulang kantor. Apalagi proyek
jalan layang atau LRT disitu juga belum selesai-selesai. Nah, dalam situasi seperti itu beberapa kali
terdengar klakson mobil patwal meminta mobil lain minggir, karena ada mobil
“orang penting” mau lewat. Biasanya plat
mobilnya berindeks RFS atau semacam itu.
Tetapi sepanjang jalan dari Halim ke Darmawangsa kemarin, juga ada mobil
berplat TNI dan Polri yang juga membunyikan klakson untuk minta mendahului.
Menikmati situasi
seperti itu, saya jadi teringat ketika sedang naik taksi dari bandara Soetta ke
kota. Maksudnya ke lokasi di daerah
tengah Jakarta dan melalui tol. Sering
juga ada mobil “orang penting” meminta jalan seperti itu dan yang lucu biasanya
menggunakan bahu jalan. Secara
kebetulan, saya juga sedang membuka HP untuk mencari berita di detik.com dan
menemukan heading “Ditilang karena lampu motor tak menyala, mahasiswa: kemapa
Jokowi tak ditilang?”. Saya baca,
ternyata ada mahasiswa FH UKI ditilang karena lampu motornya tidak menyala.
Yang bersangkutan tidak terima dan menggugat UU Lalu Lintas. Nah dalam gugatan itu, dia berdalih Presidem
Jokowi juga pernah melakukan hal yang sama (tidak menyalakan lampu saat naik
motor) tetapi tidak ditilang. Saya tersenyum membacanya.
Seingat saya almarhun
Cak Nur (Nucholis Majid) pernah mengatakan, perilaku kita di jalan raya itu
menggambarkan karakter bangsa ini.
Ungkapan yang sejalan dengan itu juga pernah disampaikan oleh Pak Rum
(Prof Rum Rowi, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya), katanya kita sering naik
motor ngebut, nyalib kiri-kanan, bahkan menyerempet orang karena takut
terlambat Jum’atan. Yang punya moge
(motor gede) konvoi dan meminta kendaraan lain minggir. Yang menyopir becak
melaju terus walaupun lampu merah atau bahkan melawan arus.
Almarhum Mbah Ti (ibu saya) mengatakan anak usia 2-4 tahun itu “kemratu-ratu” atau merasa dirinya seperti raja, sehingga menganggap dirinya paling penting dan semua keinginannya harus dipenuhi. Oleh karena itu, anak-anak seusia itu akan merengek, seakan memaksa orang lain memenuhi keinginannya. Jika tidak dipenuhi akan merengek sampai orangtuanya bingung.
Lantas, apa
hubungannya dengan pendidikan karakter?
Dugaan saya, semua atau paling tidak sebagian besar yang saya sebutkan meminta
orang lain minggir tersebut pernah sekolah.
Atau bahkan sarjana, tetapi kalau “ilmunya Mbak Ti” itu valid, berarti
mereka itu masik “kemratu-ratu”.
Sikapnya masih seperti anak usia 3-4 tahun. Jadi pendidikan karakter yang diharapkan
dapat mengubah sikap anak-anak agar menghargai hak orang lain, “saya punya hak,
tetapi orang lain juga punya hak yang tdak boleh saya langgar”, tidak berhasil.
Pada hal penanaman pengetahuan dan sikap seperti itu sudah dilakukan sejak SD
sampai perguruan tinggi. Bahkan di jaman
Penataran P4 era Pak Harto, hal seperti itu juga ditumbuhkan.
Mengapa pendidikan
karakter tidak berhasil atau kasarnya gagal?
Pada hal sikap “kemratu-ratu” itu bisa merembet ke sikap koruptif, yang
menganggap dirinya punya hak untuk mengambil hak komunitas atau hak rakyat atau
hak negara. Itulah yang perlu kita
temukan, agar pendidikan karakter yang oleh Mendikbud saat ini (Nadiem Makarim)
ditekankan lain. Seingat saya, di era
Mendikbud Prof Malik Fajar, upaya mengarusutamakan pendidikan karakter sudah
dimunculkan melalui konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills), di era Mendikbud
Prof M. Nuh, juga dimunculkan lagi bahkan sampai disusun Buku Pedoman Pendidikan
Karakter. Jika penyebab kurang
berhasilnya pendidikan karakter di masa lalu tidak ditemukan, saya khawatir
kita akan “terantuk batu yang sama”, mengulangi kegagalan yang sudah dialami
sebelumnya.
Namun kita memahami pada proses
belajar, termasuk bersikap dan berperilaku, tidak hanya terjadi di sekolah. Seperti kata Peter Senge dalam buku School
That Learn, siswa berinterkasi juga
dengan siswa atau teman lain di luar sekolah, dengan orangtua di rumah, dan
juga media sosial yang mereka tonton dan baca.
Dengan demikian perilaku siswa tidak hanya dipengaruhi oleh budaya
sekolah dan orang-orang disekolahnya, tetapi juga oleh lingkungan keluarga dan
orang-orang disitu, serta teman-teman lainnnya maupun media sosial yang di luar
rumahnya. Apalagi, rentang waktu anak-anak di sekolah juga pendek dibanding di
luar sekolah. Jadi, karakter siswa tidak
hanya dipengaruhi oleh keteladanan orang-orang di sekolah, tetapi juga oleh
keteladanan orang-orang di luar sekolah, termasuk di televisi dan media sosila
lainnya. Pertanyaannya nambah lagi,
apakah perilaku orang dewasa, apalagi orang-orang penting dan juga film-film
ditelevisi tidak dapat menjadi contoh berperilaku yang baik ya?
Dari cerita di atas,
berarti pendidikan karakter tidak dapat diserahkan kepada sekolah saja. Pendidikan karakter harus menjadi tugas semua
pihak. Yang harus menjadi contoh berperilaku
yang baik, tidak hanya guru, tetapi juga orangtua, dan tokoh-tokoh yang menjadi
panutan masyarakat. Masyarakat kita
sangat patronistik, sehingga meniru patronnya. Film, sinetron, youtube juga harus
dikendalikan agar sesuai dengan karakter yang ingin dikembag]ngkan. Jadi rumit ya? Mungkin itulah mengapa pendidikan karakter
belum berhasil, walaupun sudah dijalankan sekian lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar