Selasa tanggal 12 Januari 2020 kemarin saya bersama isteri, kakak dan
adik berangkat umroh bersama rombongan Safira.
Sesuai dengan panduan, jama’ah sudah harus berkumpul di Terminal 1
Bandara Juanda pukul 07.00 pagi. Ketika
tiba di bandara saya bingung ternyata ada beberapa rombongan dengan seragam
yang berbeda-beda. Minimal ada empat rombongan
jamaah umroh, kaena ada empat jenis seragam.
Yang saya tahu juga ada logo dan tulisan yang di tas yang dibawa ada rombongan
Safira, rombongan Al Falah, rombongan Qiswah. Yang satunya lagi tidak terbaca.
Setelah dibriefing singkat dan mendapatkan identitas berupa kartu yang
dikalungkan, kami-rombongan Safira diminta masuk ke ruang tunggu untuk sarapan
pagi. Tampaknya lounge telah dibooking oleh Safira. Buktinya hampir tidak ada tamu lain selain
rombongan Safira yang konon berjumlah 140 orang. Dari sajian makanan tampaknya
sudah dipesan sesuai dengan “harga”, sehingga tidak sebanyak seperti lazimnya
di sebuah lounge bandara. Sederhana, ada
nasi soto, bubur kacang ijo, tahu petis, roti dan tentu saja kopi dan teh. Cukup untuk sarapan pagi.
Sekitar jam 10,
diumumkan agar jama’ah mulai pemeriksaan imigrasi karena pesawat akan take
off pukul 11.50. Saat masuk, pertama kali
pemeriksaan dokumen oleh petugas kesehatan untuk memastikan apakan jama’ah
sudah vaksin meningitis. Setelah itu
pemeriksaan imigrasi dan kemudian jama’ah dipersilahkan duduk di ruang tunggu,
menunggu panggilan boarding. Nah, saat
itu saya tertegun. Betapa banyaknya
jama’ah umroh. Kami akan terbang langsung ke Madinah dengan Saudi Air dengan
pesawat Bouing 747 seri 400 dengan
kapasitas 545 orang. Dan ternyata
setelah di pesawat saya lihat penuh. Tentu saya yang terbang di kelas ekonomi
tidak dapat melihat penuh tidaknya di bagian bisnis. Namun dengan kondisi seperti itu, saya yakin
jumlah penumpang tidak kurang dari 530 orang, dengan asumsi kursi bisnis banyak yang kosong. Pada hal semua yang ada di kelas
ekonomi adalah jama’ah umroh.
Sambil menunggu boarding saya terdorong mencari data berapa jumlah
jama’ah umroh dari Indonesia per tahun. Menurut data di Google, data tahun 2016 jumlah jama’ah umroh dari Indonesia 700.000 orang dan
naik sekitar 10 % setiap tahun. Kalau
data tersebut benar, tahun 2020 akan mencapai 1 juta orang. Teman saya bilang lebih dari itu, dan
menurutnya bisa mencapai 1,5 juta orang.
Saya fikir juga masuk akal, karena saya yang setiap minggu terbang ke
Jakarta melalui Terminal 2 Juanda, juga selalu ketemu jama’ah umroh yang
mungkin menggunakan penerbangan lain.
Jadi betapa besar jama’ah umroh kita.
Biaya umroh memang tidak sama, tetapi tidak ada yang dibawah 22 juta untuk
periode 10 hari dan bahkan ada yang mencapai 32 juta. Dengan demikian tentu
hanya yang punya tabungan cukup yang dapat berangkat umroh. Apa yang menyebabkan begitu banyak orang yang
berumroh? Apakah ghiroh agama orang Islam naik, sehingga terdorong untuk
umroh? Atau tingkat ekonomi masyarakat
muslim naik, sehingga mampu melaksanakan umroh?
Atau gabungan dari keduanya? Atau ada faktor lain? Pertanyaan itu yang berkecamuk di benak saya
sepanjang penerbangan Surabaya-Madinah.
Sebagai bangsa yang
religius tentu fenomena itu sangat menggembirakan. Katakanlah ekonomi kita
membaik, namun kalau ghiroh keagamaan tidak baik tentu orang tidak begitu mudah
menggunakan uang 25 juta untuk umroh. Walaupun demikian, masih terbersit
pertanyaan adakah unsur show off atau unsur mengikuti trend pada fenomena
tersebut? Semoga tidak. Cak Nun (Ehma Ainun Najib) pernah berseloroh
ada orang yang dalam ibadah lebih mementingkan bungkus dari isinya. Dalam konteks fenomena umroh tersebut.
Moga-moga jama’ah berangkat umroh bukan karena mengikuti trend, bukan karena ingin
show off atau sejenis itu, tetapi benar-benar ingin ibadah. Semoga didorong oleh isi dan bukan bungkus.
Mengapa saya mempertanyakan itu?
Bukankah itu berarti prasangka kurang baik? Apakah itu tidak berarti meragukan ketulusan
orang dalam beribadah? Semuanya betul.
Namun ada teman saya yang mengatakan ada orang yang keberagamaannya cenderung
mengikuti trend dan baru sampai kulitnya.
Teman tadi memberikan contoh, banyak orang yang berpakaian muslim
dan muslimah tetapi perilakunya masih dipertanyakan. Mengapa?
Karena berpakaian muslim dan muslimah sekarang menjadi trend, bahkan
konon iklan kosmetik yang membawa simbul Islam (halal) telah menjadi trend
setter. Masih banyak contoh lain yang diberikan teman tadi.
Walaupun dapat memahami penjelasan teman tadi dan juga mempertanyakan fenomena
banyaknya jama’ah umroh, saya memiliki harapan bahwa setelah melakukan ibadah di level
kulitnya, pelan-pelan yang bersangkutan masuk ke isinya. Setelah berpakaian muslim/muslimah, setahap
demi setahap yang bersangkutan menyadari bahwa perilakunya harus sesuai
pakaiannya. Walaupun mungkin melaksanakan
umroh masih lebih didorong ikut trend atau bahkan show off, tetapi setelah
melakukan ibadah maraton di tanah suci yang bersangkutan merasa harus melakukan
ibadah dengan lebih baik. Saya masih
ingat cerita Zamzawi Imron, si penyair celurit emas tentang Rendra. Katanya
suatu saat, dalam sebuah drama Rendra memerankan seorang tokoh Islam dan
sebagai dramawan tentu Rendra berusaha menghayati perannya itu. Saat seperti itu hati Rendra terpanggil masuk
Islam. Semoga jama’ah umroh (termasuk
saya) juga terpanggil hatinya menjadi muslim yang sebenarnya, setelah melakukan
serangkaian ibadah di tanah suci. Semoga.
1 komentar:
http://www.myownvogueworld.com/ menjadi salah satu blog kepercayaan untuk memcari informasi penting mengenai permainan judi bola SBOBET online.
Posting Komentar