Delapan hari di
Madinah dan Makah saya banyak belajar, khususnya tentang keberagaman. Tahun 2015 (kalau tidak keliru) saya sudah
menulis tentang ini, tetapi kali ini rasanya saya lebih banyak lagi belajar. Mungkin pada tahun 2015 saya hanya 2 hari di
Madinah dan 2 hari di Makah, sementara kali ini dua kali lipat, sehingga saya
memiliki waktu lebih banyak untuk mengamati.
Atau mungkin usia yang semakin tua, sehingga lebih mudah memahami
perbedaan. Atau mungkin juga memang
kondisi saat ini berbeda dengan tahun 2015.
Oleh karena itu, saya ingin berbagi dengan pembaca.
Ketika berada di dalam
masjid, baik Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram, dan bahkan ketika di halaman,
saya memperhatikan jama’ah. Dari postur
tubuh, warna kulit, wajah, rambut dan pakaian sangat beragam. Tentu saya tidak dapat mengenali dengan
tepat, tetapi hanya mengira-ira berdasar informasi dan bacaan seadaanya. Mulai
jama’ah katakankah ras Melayu, mungkin dari Indonesia, Malaysia, Brunai dan
sekitarnya. Secara fisik mungkin sama
atau paling tidak sangat mirip. Postus tubuhnya tidak terlalu besar, berkulit
sawo matang, mata oval dan hidung relatif kecil. Cara berpakaian juga hampir sama. Yang membedakan mungkin kopiah, karena hanya
orang Indonesia yang memakai songkok hitam.
Itu tidak semua, karena juga banyak yang memakai kopiah putih. Yang
membedakan biasanya tas dan tanda pengenal.
Jama’ah dari Asia
Timur, misalnya dari Cina dan mungkin Jepang dan Korea, dengan postur sedang
atau sedikit lebih besar dibanding oleh Melayu, raut muka lebih bulat, berkulit
putih, mata sipit, rambut lurus dan yang laki-laki berjangut tipis dan lurus. Umumnya
memahami celana kombor putih dan baju mirip baju koko juga berwarna putih. Ada
yang memakai kopiah putih tetapi juga ada yang menggunakan kafiyeh yang
diubelkan di kepada. Pengamatan saya,
jumlah jamaah dari Asian Timur tidak banyak. Yang relative agak banyak
teman-teman dari Cina bagian Barat, mungkin yang sering disebut Uighur.
Jama’ah dari Asia
Selatan, India, Pakistan dan Bangglades sangat banyak. Jujur saya tidak dapat membedakan ketiganya,
kecuali yang dari India-khususnya ibu-ibu karena memakai semacam giwang di
hidung. Posturnya lebih tinggi dan
kurus, berkulit sawo matang dan sedikit lebih gelap dibanding jama’ah dari
Melayu. Raut muka oval, cederung tirus.
Umumnya memelihara janggut panjang yang seringkali kurang rapi. Bercelana
dengan panjang tengah-tengah antara lutut dan mata kaki dengan baju
khasnya. Lebih pendek dari gamis tetapi
lebih panjang dibanding baju takwa. Di bagian samping krowak seperti baju
lengan panjang kita. Menggunakan ikat
kepala semacam kafiyeh yang diubelkan.
Kadang-kadang kafiyehnya sangat besar, sehingga ubelan di kepalanya
cukup besar dan kurang rapi. Demikian
juga pakaiannya.
Jama’ah dari Asia
tengah, misalnya dari Afganistan, Kazakstan, Usbekisten, Tajikistan dan
sekitarnya juga cukup banyak. Posturnya
besar seperti orang Eropa, Raut wajahnya
cenderung tirus, walaupun tidak setirus orang Eropa. Mungkin tengah-tengah antara orang Asia Timur
dengan orang Eropa. Kulitnya putih
dengan rambut hitam yang cenderung lurus.
Sebagian besar memelihara jangut tetapi pendek dan diatur rapi. Bajunya mirip dengan jama’ah dari Asia Timur,
hanya kainnya lebih tebal dan banyak yang bajunya bertuliskan negaranya. Jadi mudah dikenali, oh ini teman dari
Afganistan, ini dari Usbekitan dan seterusnya.
Umumnya mereka datang ke masjid secara kelompok.
Jama’ah dari Turki
juga mudah dikenali. Posturnya seperti perpaduan Arab dan Eropa. Berkulit kuning (bukan putih), rambut hitam,
raut muka oval agak tirus, dengan rambut hitam.
Ibu-ibu, mohon maaf, umumnya gemuk.
Pakaian mereka mirip dengan jama’ah dari Asia Tengah, dengan celana
kombor dan baju semacam gamis tetapi pendek. Yang membedakan hanya jam’ah Turki
umumnya menggunakan kafiyeh yang diubetkan ke kepada dengan rapi. Umumnya juga datang secara kelompok.
Secara tidak sengaja
di Masjidil Haram saya duduk berdekatan dengan sekelompok jama’ah yang memakai
gamis berwarna putih gading, rapid an tampak bersih. Mereka menggunakan kopiah putih dililit
dengan kafiyek putih dengan sangat rapi. Semula saya mengira mereka dari daerah
Yordan atau sekitarnya. Namun ketika berkenalan, ternyata mereka dari
Turki. Dalam kelompok itu sepertinya ada
yang senior ada yang yunior. Yang yunior
sangat hormat kepada yang senior. Bakan
jama’ah Turki yang lain tampak juga hormat.
Saya tidak tahu, apakah mereka ini semacam tokoh atau kyai untuk istilah
di Indonesia. Yang pasti ternyata, di
Turki cara berpakaian jama’ah juga tidak sama.
Jama’ah dari Saudi
Arabia dan sekitarnya mudah dikenali, karena selalu memakai baju gamis putih
dengan kafiyeh. Wajahnya juga khas,
berhidung mancung, mata hitam tajam, dengan rambut hitam ikal. Sementara yang
wanita memakai abaya hitam. Jujur saya tidak dapat membedakan, maka yang warga
negara Saudi, mana yang Uni Emirat Arab dan sebagainya. Umumnya mereka datang individual, tidak berkelompok. Mungkin karena “di kampung” sendiri, sehingga
tidak perlu kuatir apa-apa.
Bagaimana tata cari
sholat? Tentu secara global, mulai takbiratul ihram dan seterusnya sampai salam
sama. Namun detailnya, bagaimana
melakukannya sangat beragam. Misalnya
bagaimana cara mengangkat tangan saat takbiratul ihram sangat beragam. Ada yang diangkat sejajar telinga dan cukup
lama. Ada yang diangkat sejajar pundak
dan juga ada yang setinggi dada dengan sangat cepat.
Saat membaca Alfatihah
dan surat (mungkin karena saya tidak mendengar), ada yang bersedekap dan ada
yang tangannya lurus (lepas kebawah).
Cara bersedekapnya juga sangat beragam.
Ada yang di tengah dada, ada yang miring ke kanan, ada yang agak ke
bawah. Saat dalam posisi itu ada yang tampak serius, ada yang sambil mengelus
janggut, ada yang bolak-balik membetulkan baju, ada yang sambil menata kafiyeh
dan sebagainya.
Bagaimana cara rukuk? Juga sangat beragam, khususnya pada “kedalaman”
membungkuk dan itu sangat mungkin juga terkait dengan usia. Ada jama’ah yang saat rukuk, membungkuk
sangat dalam dan kepala seakan menjulur ke bawah. Ada yang badannya datar dengan kepala sejajar
dengan badan. Ada juga yang hanya
sedikit membungkuknya, yang mungkin dengan usia. Waktu membungkuk juga sangat
beragam. Ada yang sebentar sekali, tetapi juga da yang sangat lama.
Posisi duduk tahiyat
awal maupun akhir ternyata juga sangat beragam, khususnya posisi telapak kaki.
Ada yang keduanya ditekuk ke tengah, seperti posisi orang dzikir. Ada yang ujung telapak kaki kiri dimasukkan
di bawah kaki kanan, sementara ujung jari kaki kanan diposisinya tegak. Ada pula yang telapak kaki kanan diposisikan
ke luar. Bahkan ada yang kedua kakinya
dipakai tumpuan duduk dengan ujung telapaknya ditegakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar