Ujian Nasional (UN)
akan diganti dengan Uji Kompetensi dan Survai Karakter. UN yang berbasis konten tidak cocok dengan
kebutuhan anak-anak menghadapi masa depan, sehingga harus diganti denga uji
kompetensi. Dengan kompetensi, orang
akan dapat belajar sendiri apa yang dia perlukan dalam kehidupannya. Begitu kira-kita
ungkapan yang saya dengar, ketika beberapa teman membahas kebijakan Kemdikbud.
Apa yang dimaksud
kompetensi? Ternyata, sama dengan apa
yang sering disebut dengan istilah 4-C (critical
thinking, creativity, communication, collaboration). Kadang ditambah satu C lagi yaitu confident, sehingga menjadi 5-C. Ditambang satu C lagi yaitu curiosity, sehingga menjadi 6-C. Bahkan
ada yang menambahkan 1-P yaitu problem
solving dan 1-E yaitu empathy,
sehingga menjadi 6C+1P+1E.
Jika ditelusur,
aspek-aspek kompetensi tersebut telah disebut oleh Tony Wagner (2007) dalam
buku The Global Achievement Gap, dan diberi istilah the survival skills. Bernie
Trilling dan Thomas Fadel (2009) menyebutnya dengan istilah 21st century skills for live in
our time. The Economist-Intelligence
Unit menyebutnya dengan istilah the
future skills. Kemdikbud (2003)
dalam Pendidikan Kecakapan Hidup (Life
Skill Education) menyebut kemampuan seperti itu dengan istilah generic skills. Walaupun menggunakan istilah yag
berbeda-beda tetapi intinya sama, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk
menghadapi kehidupan, apapun profesinya.
Penelitian Samani dkk
(2014) yang menggabungkan berbagai konsep dan memverifikasi di lapangan, menyimpulkan
dua kemampuan pokok yang diperlukan dalam kehidupan, yaitu memecahkan masalah
secara kreatif (solving problem
creatively) dan hidup bersama di masayarakat secara harmonis (living together in a harmony). Kemampuan pertama disebut personal skills karena diperlukan setiap
orang walaupun dalam keadaan sendiri, sedangkan kemampuan kedua disebut social skills karena diperlukan ketika
yang bersangkutan bekerja dana tau hidup berkelompok. Critical
thinking, creativity, problem solving merupakan bagian bari personal skills, sedangkan communication, collaboration, empathy
merupakan bagian dari social skills. Sementara confident
dan empathy lebih merupakan karakter.
Namun perlu dicatat, karakter semestinya tidak hanya terkait dengan baik
terhadao orang lain, seperti jujur, sabar, suka menolong dan sejenisnya, tetapi
juga kerja keras, tangguh dan pantang menyerah (grit) yang menurut penelitian Angela Duckworth (2016) merupakan
kunci kesuksesan dalam kehidupan.
Lantas apa hubungannya dengan konten dan
karakter? Untuk membahasnya, saya ingin mengajukan pertanyaan: Ketika Leonel Messi sukses membuat gol
kemampuan apa yang diterapkan? Saya
yakin dia memerlukan critical thinking
untuk memahami situasi lapangan saat itu, creativity
untuk menemukan posisi tembak yang paling ideal. Dia juga harus memiliki keterampilan
menggiring bola dan menembakkan ke gawang lawan. Inilah konten yang dimiliki
oleh Messi dalam bermain bola. Messi
pasti juga memiliki karakter hebat, misalnya kerja keras, pantang menyerah, tidak
emosi walaupun diganjal lawan dan sebagainya.
Jadi performa hebat Messi dalam bermain bola, didukung oleh kompetensi,
konten dan karakter. Performa adalah
interseksi antara ketika aspek tersebut, seperti tampak pada Gambar berikut.
Pola ini tentu tidak hanya berlaku pada pemain bola, tetapi juga profesi lain,
misalnya insinyur, dokter dan guru.
Performa akan maksimal
jika ditunjang oleh ketiga aspek tersebut secara poporsional, sesuai dengan
karateristik tugas yang dihadapi seseorang. Yang pasti tidak mungkin performa
akan baik kalau salah satu dari aspek tersebut tidak ada. Dengan kata lain, ketiga aspek terebut
diperlukan, sehingga harus ditumbuh-kembangkan dalam pendidikan.
Dalam konteks
pendidikan, ketiganya tidak dapat dilepaskan. Sepertinya pesan Ki Hajar
Dewantara pengembangan aspek intellect,
karakter dan raga tidak dapat dipisahkan agar anak kita tumbuh dengan
sempurna. Konten dapat diibaratkan
sebagai wahana, sedangkan kompetensi dan karakter sebagai isi. Wahana, dalam konteks pendidikan, dapat
berupa matapelajaran, tugas, proyek dan sejenisnya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana menumbuhkan
critical thinking tanpa wahana, misalnya magnet dalam IPA atau Perang
Diporegoro dalam IPS. Tidak dapat
dibayangkan mengembangkan karakter percaya diri tanpa wahana misalnya tugas
yang sederhana dan anak pasti dapat mengerjakan. Dengan demikian antara
kompetensi, karakter dan konten tidak perlu dipertentangkan. Yang perlu dicari bentuknya adalah wujud
performa, yang mengandung ketiganya.
Bagaimana wujud pembelajaran yang dapat mengembangkannya. Misalnya bagaimana dirancang ketika siswa SMP
memperlajari topik magnet di IPA, mengapa suatu benda mengandung magnet,
mengapa yang tidak. Bagaimana menggunakan magnet untuk keperluan sehari-hari,
dan sebagainya. Ketika belajar topik Perang Diponegoro, siswa didorong berpikir
mengapa Diponegoro melawan Belanda, bagaimana seandainya Diponegoro justru
menang dalam perang tersebut. Jika
pembelajaran IPA dan IPS tersebut dikerjakan dalam bentuk tugas kelompok,
bagaimana karakter sabar, tenggang rasa dan juga kerja keras dapat ditumbuhkan.
Jika AKSI akan
menggantikan UN, bagaimana soal-soal AKSI dapat mengukur kompetensi dalam wadah
konten. Misalnya dapat mengukur critical thinking, creativity dan problem solving dalam konten persamaan kwadrat di Matematika SMP. Dapat mengukur kompetensi yang sama dalam
topik Pemerintahan Daerah di PPKn. Dan sebagainya.
Lebih dari itu, perlu
dirancang upaya bagaimana agar guru mampu melaksanakan konsep tersebut. Tidak
hanya tahu teori, tetapi juga mampu mengimplementasikan di kelas. Tidak hanya yang terkait dengan pembelajaran,
tetapi juga bagaimana mengukur ketercapaikan targetnya, sehingga dapat
melaksanakan remidial bagi yang belum mencapai dan pengayaan bagi yang melaju
lebih dahulu.
1 komentar:
Terima kasih prof
Posting Komentar