
Bahwa setiap pejabat punya kebijakan
untuk mewujudkan mimpinya saat memimpin tentu merupakan sesuatu
keniscayaan. Bukankah seorang pejabat
pasti punya keinginan agar para eranya instansinya menjadi “seperti ini”, yang
lebih baik dari era sebelumnya. Untuk
mewujudkan itu dibuatlah kebijakan guna mengarahkan seluruh warga instansi
untuk bekerja keras mewujudkan mimpi tersebut. Namun disisi lain, muncul komentar “setiap
ganti menteri ganti kebijakan”.

Saya ingat Pak Budi Kuncoro, yang sekarang menjadi staf khusus Menko
Polhukam, sering meggunakan ungkapan itu. Saat menjadi konsultan yang menangani
pelatihan dosen dan guru yang mengajar di PPG, beliau tidak menggunakan istilah
pelatihan tetapi capacity sharing (berbagi pengalaman, berbagi
kemampuan). Beliau menjelaskan, istilah
itu digunakan agar para dosen (sebagian professor) tidak merasa digurui. Pada hal yang melatih dosen yang lebih
yunior. Dalam pelatihan tersebut para
dosen digabungkan dengan guru yang mungkin saja bekas mahasiswanya.
Kawan saya yang doktor public policy menjelaskan, kebijakan memang
diperlukan atau bahkan membuat kebijakan merupakan salah satu tugas pejabat. Mengusahakan agar kebijakan itu difahami dan
diterima oleh publik merupakan tahap berikutnya yang tidak kalah rumit. Mengutip
pendapat seorang pakar, kawan tadi mengatakan untuk menyusun suatu kebijakan diperlukan
data yang lengkap sebagai landasan, namun ketika data tersedia lengkap belum
tentu tersusun kebijakan yang baik.
Tergantung keahlian si pembuat kebijakan. Ketika kebijakan yang baik sudah terumuskan
belum tentu publik memahami dan menerimanya. Tergantung kepandaian staf yang bertugas
melakukan sosialisasi. Dalam bagian ini
diperlukan tahap negosiasi, untuk mencocokkan kebijakan dengan kondisi
lapangan.
Seringkali pembuat kebijakan melupakan tahapan tersebut. Seringkali pembuat kebijakan tidak faham
kondisi lapangan yang akan terkena atau menjalankan kebijakan tersebut. Seringkali
pembuat kebijakan menganggap masyarakat luas “pandai” seperti dirinya. Gap pengetahuan dan pemikiran antara pembuat
kebijakan, pelaksana kebijakan dan masyarakat yang terkena kebijakan seringkali
menjadi penyebab lembatnya atau gagalnya suatu kebijakan.
Apakah kebijakan harus diberi nama yang menjadi trade mark pejabat
pembuatnya? Menurut teman yang PhD publik
policy, tergantung tujuan dan siatuasinya.
Jika diyakini kebijakan itu sederhana, mudah difahami dan akan membuat publik
senang, pemberian nama baru tepat. Namu
jika kebijakan tersebut dapat membuat banyak orang resisten, sebaiknya tidak
diberi nama. Dilakukan saja secara bertahap,
nanti jika masyarakat sudah faham dapat dimunculkan namanya. Mengapa begitu? Jika masyarakat tidak faham dan bahkan
resisten, akan menghabiskan waktu dan enersi untuk menyelesaikannya. Nanti malah “kolamnya keruh dan ikan semakin
sulit didapatkan”.
Bagaimana dengan Kemdikbud? Teman
saya, menjawab ibarat kapal kemdikbud itu kapal induk. Ukuranya besar, isinya beranekaragam, banyak
kepentingan di dalamnya. Coba lihat,
apapun kebijakan pendidikan (untuk dasar menengah), pada akhirnya yang
melaksanakan guru di sekolah. Guru
diseluruh peloson tanah air. Berapa jenjang
yang harus dilalui agar keijakan Mendikbud sampai pada guru? Sangat Panjang dan bukan tidak mungkin
terjadi distorsi. Bagaimana dengan
pendidikan tinggi? Lebih repot, karena
dosen merasa otonomi sehingga seringkali tidak begitu saja patuh pada kebijakan
dari atas. Oleh karena itu, teman tadi
mengusulkan sebelum kebijakan itu diumumkan, lebih baik dilakukan “negosiasi”
atau “sosialisasi” lebih dahulu dengan tanpa memberikan nama yang mungkin bisan
membuat public heboh.
1 komentar:
artikel yang bagus gan, sangat bermanfaat
Chatbot
Web Designer
Posting Komentar