Teman saya mengatakan orang ibadah umroh seperti wisatawan yang tidak
rewel. Bahkan Yuswohadi dalam buku
Middle Class Muslim Marketing menyebut umroh kini banyak dikemas dikaitkan
dengan wisata religi. Yang tentu niat ibadah kental dalam semua acaranya. Mungkin saya juga termasuk yang seperti
itu. Ketika di Madinah maupun di Makah,
jama’ah termasuk saya, akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk ibadah di
masjid, seperti sholat, dzikir, baca Al Qur’an, thawaf dan sebagainya, sehingga
tidak terlalu memikirkan layanan yang diberikan. Apalagi pembimbing seringkali mengingatkan
bahwa niatnya umroh itu untuk ibadah.
Ketika umroh kali ini, saya mengamati nuansa wisata memang kentara. Saya tidak tahu alasannya, tetapi semua
rombongan mesti diajak untuk kunjungan ke beberapa tempat, yang punya sejarah
terkait dengan haji maupun perjuangan Rosul dalam menegakkan dan menyebarkan
Islam. Nah, ketika berkunjung ke masjid Quba, Jabal
Tsur, Jabal Uhud, padang Arofah dan sebagainya pedagang ternyata sangat
banyak. Bahkan di Jabal Uhud banyak
anak-anak usia sekitar 10-15 tahun dan berwajah Afganistan atau sekitarnya yang
menawarkan dagangan sambil berlari-lari.
Kebun kurma yang selalu menjadi tempat berbelanja di Madinah juga telah
menjelma menjadi semacam took besar.
Lantai dasar dan basement hotel tempat jamaáh menginap baik di Madinah
dan di Makah merupakan mall atau pertokoan dan juga da supermarketnya.
Mengamati itu saya mencoba mereka-reka kalkulasi dari sisi pariwisata
secara amatiran. Daya tampung masjid
Nabawi itu 600.000 orang dan dalam situasi tertentu dapat menampung 1.000.000
orang. Pada hal selama saya di Madinah masjid selalu penuh. Anggaplah berisi 90%, berarti ada 540.000
jamaáh di Madinah. Konon jama’ah di
Makah lebih banyak. Katakanlah di Makah
1,5 kalinya atau sekitar 750.000.
Berarti ada 1,25 juta jama’ah setiap hari di Makah dan Madinah. Mereka memerlukan penginapan di sekitar
masjid Nabawi dan Masjidil Haram, yang tentu tarifnya cukup tinggi. Mereka juga makan di hotel, karena tidak mau
memikirkan masak. Mereka tentu juga
berbelanja, paling tidak untuk oleh-oleh.
Menurut seorang teman yang mengurusi umroh, hotel di sekitar masjid
Nabawi dan Masjidil Haram selalu penuh dan bahkan harus pesan jauh-jauh
hari. Mungkin itu betul. Hotel tempat
saya menginap, baik di Madinah maupun di Makah penuh jama’ah umroh. Umumnya dari Indonesia dan Malaysia. Pada hal hotel ‘kelas menengah atas’ sehingga
tentu cukup mahal. Lokasi sekeliling
masjid Nabawi dan Masjidil Haram konon telah habis untuk hotel dan itupun
katanya selalu penuh. Mungkin
benar. Jika ada 750.000 orang jama’ah
secara Bersama-sama di Makah, anggap saja 80% atau 600.000 orang ingin menginap
di dekat masjid, berapa hotel yang diperlukan.
Data tentang
jumlah jama’ah tersebut tentu dapat memberikan gambaran berapa besar uang yang
perputas di daerah itu. Sewa kamar,
makan di hotel maupun restoran di sekitarnya, belanja oleh-oleh dan barang
lainnya. Jika dibuat sederhana, setiap orang menghabiskan uang 1,5 juta
perhari, untuk sewa kamar hotel, makan siang, akan malam dan keperluan lain, maka
setiap hari ada uang 600.000 x 1,5 juta rupiah atau 900 milyar rupiah atau 0,9
trilyun rupiah uang jama’ah yang dibelanjakan di Makah. Di Madinah mungkin sedikit lebih rendah. Dengan asumsi jama’ah di Madinah 540.000 orang
dan 80% menginap di hotel, dengan tarif yang sama, maka uang jama’ah yang dibelanjakan
di Madinah 0,8 x 540 x 1,5 juta = 648 milyar rupiah. Jadi kalau uang jama’ah yang dibelanjakan di
Makah dan di Madinah akan 1.540 milyar ataa 1,5 trilyun rupiah. Jumlah yang sangat besar, sehingga masuk akal jika
kedua kota itu menjadi incaran pengusaha.
Apalagi jama’ah atau wisatan religion itu tidak rewel.
Ketika data di atas saya sampaikan kepada teman, yang bersangkutan
langsung menyatakan itulah hasil do’an Nabi Ibrahim, yang termuat di Al Qur’an “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman
di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian
itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37). Saya menimpali, itulah salah satu miracle Al
Qur’an.
Tulisan ini mohon tidak dimaknai saya mengatakan umrah sebagai sebuah aktivitas wisata. Tetapi sebagai pencermatan pola pikir penyedia jasa wisata ketika mereka melihat meningkatkannya jama’ah umroh. Sebagai sering dimuat di berbagai media, pengusaha selalu mencermati fenomena di masyarakat dan kemudian mencari peluang bisnis yang dapat dimunculkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar