Sudah lama saya mempertanyakan mengapa bangunan kerajaan yang konon
sangat besar “hilang”. Bahkan situsnya sering diperdebatkan. Ambil contoh kerajaan Majapahit yang diyakini
memiliki wilayah seluas Nusantara.
Majapahit yang memiliki Mahapatih Gajahmada dengan sumpah Amuki
Palapa-nya. Hal sama juga terjadi pada
kerajaan Sriwijaya. Bahkan kerajaan
Demak yang relatif “muda” (akhir abad ke-14 s.d awal abag 15) juga tidak
meninggalkan bangunan kerajaan yang utuh.
Beberapa teman menjelaskan karena bangunan kerajaan di Indonesia dibuat
dari batu bata dan kayu sehingga mudah rusak.
Berbeda dengan peninggalan kerajaan di negara lain yang dibuat dari batu
andesit yang tahan lama. Ada juga teman
yang menjelaskan bangunan kerajaan tersebut terkena bencana, seperti gunung
meletus, gempa bumi atau banjir bandang sehingga hancur. Keduanya masuk akal. Namun, mengapa bangunan Masjid Demak masih
ada? Bukankah masjid itu dibangun di
masa yang sama dengan bangunan kerajaan?
Merenungkan
itu, saya jadi teringat istilah politik bumi hangus. Sepengetahuan saya artinya menghilangkan
jejak rezim sebelumnya dengan maksud agar masyarakat terbebas dengan kenangan
masa lalu dan perhatiannya segera berpindah ke rezim yang baru. Mungkinkah bangunan fisik kerajaan Majapahit
dibumihanguskan oleh Demak? Mungkinkah
bangunan fisik kerajaan Demak dihancurkan oleh Pajang? Jujur saya tidak tahu dan belum pernah
membaca tentang itu. Teman-teman yang mendalami sejarah yang lebih tepat
menjawabnya.
Apakah politik bumi hangus itu masih ada di zama modern ini? Saya juga tidak tahu. Namun, seingat saya ketika Orde Baru
menggantikan Orde Lama, kejadian yang mirip dengan politik bumi hangus juga
terjadi. Tentu dalam bentuk yang
berbeda. Tentu tidak merusak bangunan
istana dan sejenisnya. Tetapi kebijakan
atau ajaran yang menjadi ciri Orde Lama seakan dihapuskan. Ketika Orde Baru digantikan oleh “Orde
Reformasi” tampaknya kejadian yang mirip juga terjadi. Kebijakan yang menjadi ciri Orde Baru hilang
dan digantikan dengan kebijakan baru. Tampaknya
fenomena seperti itu terjadi karena rezim yang baru memiliki latar belakang dan
atau ideologi yang berbeda.
Apakah kebijakan seperti salah?
Saya tidak tahu. Teman yang
mendalami ilmu politik dan kebijakan publik yang dapat menjawabnya. Seorang teman menjelaskan, mungkin saja
pergatian kebijakan memang diperlukan karena kebijakan yang lama sudah tidak
cocok dengan tuntutan zaman. Orang
dengan pandangan seperti itu mengatakan, hanya orang-orang status quo yang
berada di zona nyaman yang tidak mau menerima perubahan. Di pihak lain ada yang berpendapat, pergatian
kebijakan yang seakan menegasikan apa yang dilakukan oleh rezim sebelumnya
menunjukkan kekerdilan jiwa. Jadi
sepertinya ada perbandingan diametral antara politik bumi hangus dengan politik
status quo.
Mana yang lebih baik atau katakankah lebih tepat diterapkan? Kembali saya juga tidak tahu. Saya teringat dengan rangkaian metaphora yang
dibuat pada bagian pendahuluan sebuah buku tentang public policy. Begini kira-kira tafsirnya. (1) Untuk menghasilkan kebijakan yang baik,
diperlukan data dan hasil kajian yang komprehensif; (2) Namun jika data dan
hasil kajian yang komprehensif tersedia belum tentu dihasilkan kebijakan yang
baik; (3) Jika tersusun kebijakan yang baik belum tentu digunakan oleh pejabat
yang memiliki kewenangan mengambil keputusan. (4) Jika kebijakan yang baik
tersebut diputuskan untuk diterapkan belum tentu berjalan dengan baik. Butir nomor 1 menguatkan bahwa kajian terhadap
apa yang sudah terjadi diperlukan sebagai salah satu dasar menyusun kebijakan
baru. Tanpa landasan data yang cukup, bisa
terjadi kebijakan salah sarah. Tentu
juga harus ada kajian lain, misalnya tantangan secara makro, sehingga kebijakan
punya landasan yang komprehensif.
Saya jadi teringat sebuah buku yang
menjelaskan tahapan penyusunan kebijakan publik. Menurut buku itu suatu kebijakan harus
berpijak dari hasil analisis terhadap masalah yang ingin diselesaikan. Untuk
itulah harus dilakukan kajian yang komprehensif. Hasil kajian itulah yang digunakan sebagai salah
satu dasar menyusun alternatif kebijakan.
Sebelum diputuskan, alternatif kebijakan itu harus “dinegosiasikan”
dengan stake holder yang terkait, untuk menguji apakah dapat diterima dan dapat
dilaksanakan. Setelah diyakini kebijakan
tersebut dapat diterima dan dapat dilaksanakan, barulah diformulasikan secara
utuh. Sebaliknya, walaupun kebijakan
tersebut diyakini baik tetapi ternyata tidak diterima publik dan atau sangat
sulit dilaksanakan, harus direvisi. Barulah setelah itu kebijakan difinalkan
dan disusun organisasi pelaksanaannya.
Apakah para pengambil kebijakan tidak melakukan urutan tersebut? Teman saya yang punya pengalaman banyak di
birokrasi mengatakan, biasanya pejabat dikejar waktu dan terlalu lama jika
harus mengikuti alur tersebut. Akhirnya, policy research digantikan oleh
hasil-hasil monitoring dan evaluasi terhadap program yang telah berjalan. Seringkali juga ditambah atau bahkan diwarnai
oleh pemikiran atau keinginan pejabat yang berangkutan atau “staf inti” yang
memberi masukan kepadanya. Kentalnya
warna pemikiran atau keinginan pejabat itulah yang menyebabkan pejabat baru seringkali
memiliki program baru yang bisa jadi sangat berbeda dengan pejabat yang digantikan. Semakin berbeda pola pikir dan atau latar
belakang antara pejabat lama dan pejabat baru semakin tinggi kemungkinan
munculnya kebijakan baru yang berbeda dengan yang lama. Jika perbedaan itu begitu jauh, ada kesan
terjadinya bumi hangus.
Jadi apakah tidak boleh pejabat baru membuat kebijakan yang sangat
berbeda dengan pejabat sebelumnya? Jawabnya,
boleh. Namun, harus didasarkan kajian
yang mendalam dan menyimpulkan bahwa kebijakan sebelumnya tidak cocok dengan
tuntutan zama. Kebijakan baru yang
sangat berbeda tersebut dapat diterima oleh stake holders dan yakin dapat
dilaksanakan.
Sebaliknya apakah boleh pejabat tidak membuat kebijakan baru, sehingga
seperti status quo? Juga boleh. Tetapi juga harus didasarkan pada kajian yang
menunjukkan kebijakan selama ini tepat dan kajian yang menunjukkan tidak terjadi
perubahan tantangan dari instansi yang dipimpinya. Jika ternyata kebijakan yang selama ini berjalan
tidak optimal dan atau ada perubahan tantangan, maka kebijakan yang lama harus
direvisi dan bahkan diubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar