Tanggal 26 Maret 2020 semestinya saya
mengisi seminar nasional bertema Pendidikan Karakter di Universitas PGRI
Yogyakarta. Namun seminar ditunda karena
pandemik Covid 19 yang kini menakutkan.
Ketika menerima kontak dari panitia beberapa bulan lalu, saya senang
sekali karena informasinya yang akan hadir adalah mahasiswa PGSD dan guru-guru
di sekitar Yogyakarta. Pendidikan di SD
adalah tahapan strategis untuk menumbuhkembangkan karakter positif pada
anak-anak. Lebih dari itu guru SD dan
mahasiswa PGSD biasanya sebagian besar wanita yang pada saatnya menjadi ibu
atau sudah menjadi ibu yang memegang peran sentral dalam pendidikan karakter
anaknya. Tulisan pendek ini merupakan
inti yang semula ingin saya sampaikan di seminar itu. Naskah pendek ini sengaja menggunakan
pendekatan praktis dan bukan kajian akademik yang mungkin tidak mudah dicerna.
Jauh hari Ki Hajar Dewantara mengatakan
pendidikan pada dasarnya upaya mengembangkan karakter, pikiran dan tubuh anak.
Ketiganya tidak boleh dipisahkan demi kesempurnaan perkembangan anak-anak. Berbeda
dengan taksonomi Bloom yang menyebutkan kognitif (identik dengan pikiran) pada
urutan pertama, Ki Hajar Dewantara menyebutan karakter (identik dengan afektif)
pada urutan pertama. Apakah itu
kebetulan atau memiliki disengaja? Saya
menduga itu sengaja, karena disamping bapak pendidikan, Ki Hajar merupakan
filsuf yang kental dengan pemikiran kehidupan.
Soemarno Soedarsono (2013), salah satu
dosen Lemhanas dan penulis buku “Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang”, menyebutkan
karakter yang menuntun perilaku seseorang. Memang karakter bukan sesuatu yang fix, bukan bawaan
lahir sebagaimana fitrah Illahi. Artinya karakter itu seperti iman yang bisa naik
dan turun. Namun yang ingin disampaikan di
awal tulisan karakter itu ibarat kehidupan, yang menuntut perilaku seseorang. Meminjam metaphora Al Ghazali, hati itu ibarat
raja yang menentukan apa yang harus diperbuat.
Otak itu ibarat perdana menteri yang memikirkan bagaimana agar tugas
yang diberikan raja dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Kaki dan tangan itu ibarat tantara/karyawan
yang bertugas melaksanakan skenario kerja yang telah dirancang oleh perdana
menteri.
Mendasarkan pada pendapat Ki Hajar, Soemarsono
dan Al Ghazali, maka apa yang dilakukan oleh seseorang mencerminkan karakter
yang bersangkutan. Dengan demikian jika
kita ingin perilaku masyarakat baik, maka yang perlu dipikirkan adalah
bagaimana mengupayakan agar karakter masyarakat juga baik. Disinilah pentingnya pendidikan, baik di sekolah,
di rumah dan di masyakat. Dalam konteks
ini peran orangtua dan guru sangat penting.
Apalagi guru SD (dan PAUD) yang memupuk karakter anak-anak di tahap
awal.
Kapan dan bagaimana pendidikan karakter itu dilaksanakan? Itulah yang sering ditanyakan teman-teman
guru. Untuk membahasnya, kita dapat mulai dengan hasil FGD dengan teman-teman
di dunia industri. Ketika menerima karyawan
baru, aspek yang pertama dipersyaratkan adalah karakter. Mengapa?
Mereka berpendapat, orang yang sudah dewasa karakternya sudah terbentuk
dan sulit untuk diubah. Artinya,
pembentukan atau penumbuhkembangan karakter seharusnya dilakukan sejak
anak-anak. Itulah yang menadasari pemikiran
saya saat melukiskan proporsi pendidikan karakter dan pendidikan akademik di SD
sampai S3 di universitas. Proporsi
tersebut bukan sesuatu yang fix, tetapi hanya ingin menggambarkan pada SD
(bahkan PAUD) pendidikan lebih banyak menumbuhkembangkan karakter. Makin ke atas tingkatannya, proporsi akademik
semakin tinggi, sedangkan proporsi karakter turun dengan asumsi karakter anak-anak
sudah mulai terbentuk. Di tingkat
universitas, dengan asumsi mahasiswa sudah dewasa dan karakter mereka sudah “jadi”
maka pendidikan lebih menekankan pada akademik.
Bagaimana pendidikan karakter itu sebaiknya
dilakukan? Ketika meneliti sekolah yang
sukses melaksanakan pendidikan karakter, Kemdikbud (2009) menemukan bahwa: (1)
pendidikan karakter tidak memerlukan anggaran besar, buktinya sekolah kecil/sederhana
juga dapat suskes melaksanakan pendidikan karakter, (2) penumbuhkembangan
karakter memerlukan waktu lama, (3) budaya sekolah merupakan faktor determinan
dalam pembentukan karakter siswa, karena terbukti karakter siswa terbentuk saat
menyesuaikan diri dengan budaya tempat mereka bersekolah, (4) pendidikan
karakter memerlukan teladan.
Apa yang bisa dipetik dari hasil studi
tersebut? Mainstreaming pendidikan
karakter yang telah digulirkan Kemdikbud sejak tahun 2010 perlu dilanjutkan dan
diperkuat. Sekolah tidak perlu merisaukan
sarana-prasarana, karena terbukti pendidikan sekolah sederhanapun dapat
melaksanakan dengan baik. Yang penting
bagaimana menciptakan budaya sekolah yang mampu menumbuhkan karakter positif
siswa. Yang penting bagaimana pada pimpinan
sekolah, para guru dan karyawan mampu menjadi teladan berperilaku dalam
keseharian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar