Walaupun sudah sering ke Lombok, baru kali ini saya menyeberang ke Gili Trawangan, setelah mengelilingi Gili Air dan melintas di dekat Gili Menu. Menurut saya sungguh indah dan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata skala internasional. Memang saya sudah sering mendengar bahwa di Gili Trawangan tidak ada mobil dan motor dan tidak ada kendaraan bermotor lainnya. Di samping untuk menjaga polusi bahan bakar, konon supaya “situasi alam” tetap terjaga. Ternyata itu benar. Sudah ada scoter listrik. Mungkin ini jalan tengah.
Setelah ada pemekaran, tiga pula Gili tersebut di atas masuk wilayah Kabupaten Lombok Utara, sehingga dari dermaga kecil-tradisional sebelah utara Malaka itu kami, rombongan LAMDIK menyeberang. Oleh pemandu, sebelum menyeberang kami ditanya, siapa yang akan snorkling, siapa yang akan manja – hanya melihat ikan dan karang dari kaca perahu, dan siapa yang akan langsung Goli Trawangan. Tampaknya perahunya berbeda. Anak-anak muda banyak yang memilih snorkling, sementara semua yang tua, termasuk saya, memilih manja.
Karang yang terlihat di sekitar Gili Air ternyata tidak seindah yang saya bayangkan. Saya membayangkan ujung-ujung karang itu berwarna-warni, cerah dan bergerak-gerak bagai daun ditiup angin sepoi-sepoi. Karang di sekitar Gili Air tampak kusam dan tidak banyak yang punya ujung berwarga cerah. Sangat sedikit yang bergerak mengikuti ombak. Saya tidak tahu dan memang bukan ahlinya, apakag itu tanda-tanda karang yang rusak atau memang aslinya seperti itu. Jika itu rusak, mungkinkah karena terlalu banyak polusi akibat banyaknya perahu yang lalu lalang membawa wisatawan? Tampaknya perlu ahli yang meneliti agar ditemukan solusi yang terbaik.
Bagaimana dengan ikannya? Melalui kaca di perahu, saya melihat ikan kecil-kecil berwarna warni. Cukup indah. Ikan-ikan tersebut sepertinya sudah “jinak”, karena ketika kami melempar potongan roti kecil-kecil, mereka memakannya. Jadi tidak takut dengan orang. Apakah pemberian makanan (roti) seperti baik untuk kelestarian ikan atau justru sebaliknya, saya tidak tahu. Seandainya berakibat kurang baik, mungkin perlu pengumuman dan para pemandu wisata memberitahukan kepada para tamu.
Kami tidak sempat singgah (naik ke pulau) baik di Gili Air maupun Gili Menu. Memang fokusnya wisata air dan waktunya tidak cukup kalau mendarat ke kedua pulau tersebut. Oleh karena itu setelah puas menikmati pemandangan air di sekitar Gili Air, langsung menuju Gili Trawangan untuk makan siang dan wisata di daratannya. Dalam perjalanan, termasuk saat keliling di Gili Air kami menjumpai banyak sekali wisatawan yang sedang snorkling. Kebanyakan wisata asing (bule) yang melakukan snorkling secara rombongan dan agak jauh dari pantai. Tampaknya perahu yang mengantarkan juga berjaga disekitar para snorkler itu. Mungkin jaga-jaga yang kalau ada sesuatu yang harus ditolong.
Sampai di Gili Trawangan, sungguh saya kagum. Pulau itu dikelilingu jalan paving selebar sekitar 4 meter. Tidak ada bangunan diantara jalan dengan pantai. Yang ada kursi-kursi untuk wisatawan yang makan atau minum, sedangkan warung atau restorannya di seberang jalan. Di antara jalan paving dengan pantai atau jalan khusus untuk pejalan kaki dengan ketinggian sekitar 15 cm di atas jalan paving. Di bibir pantai ditumbuhi pepohonan besar-besar, sehingga pejalan kaki maupun wisawatan yang makan atau minum berada di keteduhan. Sungguh nyaman.
Yang menarik ada Balai Pengobatan yang di papannya tertulis melayani BPJS dan ada dokter on call. Di samping resoran dan café juga ada hotel. Ada juga tempat untuk belajar snorkling dan diving. Juga ada masjid yang cukup besar dengan halaman cukup luas, luayan bersih dengan air wudhu yang melimpah. Saat kami ikut sholat dhuhur jama’ah juga cukup banyak. Di beranda masjid akan tempat yang infonya untuk mengaji. Tidak ada penjaja souvenir seperti di tempat wisata lain, sehingga wisatawan tidak terganggu oleh mereka. Memang ada penjual souvenir, tetapi di beberapa kios di tepi jalan.
Karena tidak ada kendaraan bermotor, yang lalu lalang di jalan adalah cidomo dan sepeda. Memang banyak speda yang dapat disewa. Juga da beberapa scoter listrik yang juga dapat disewa. Namun sepertinya yang paling banyak disewa adalah speda. Naik cidomo berkeliling Gili Trawangan bertaif 150 ribu.
Pengamatan saya jumlah wisatawan asing dan domestik sebanding. Mungkin sedang awal liburan sekolah, sehingga banyak anak-anak yang dibawa orangtuanya berwisata ke Gili Trawangan. Seperti di daerah lain, wisatawan banyak yang hanya memakai celana pendek dan yang wanita banyak memakai bikini. Sementara wisatawan domestik umumnya memakai kaos dan celana Panjang.
Gili Trawangan cukup bersih. Namun masih perlu dirapikan. Karena cuaca panas dan di pantai, akan sangat baik jika di beberapa tempat di tepi jalan ada tempat cuci tangan dan cuci kali setelah wisatawan bermain air di pantai. Tempat sampah juga perlu ditambah dengan dipilah untuk sampah organik dan non organik. Terlepas dari kekurangan itu, pengaturan di antara jalan dengan pantai tidak ada bangunan dan tidak ada kendaraan bermotor, juga tidak ada pedagang asongan merupakan awal kebijakan yang sangat baik.