Judul tulisan kali ini meniru judul sebuah buku yang saya lupa siapa pengarangnya. Saya teringat judul buku itu ketika mengamati fenomena di Dakha Bangladesh. Jujur saya membaca buku tersebut hanya sepintas dan itupun milik teman. Namun dari judul dan beberapa halaman saja, saya menyetujuinya. Rasanya itu sesuai dengan apa yang saya saksikan di berbagai tempat.
Sekian puluh tahun lalu untuk pertama kalinya saya punya kesempatan keluar Jawa dalam suatu penelitian yang dibiayai Unesco. Saat itu lokasi penelitian di pelosok Sulawesi dan kami (saya bersama dua orang teman) harus tinggal di daerah itu sekitar dua minggu. Di hari kedua di daerah itu, ketika mencoba jalan pagi saya dikagetkan oleh suara orang agak berteriak “kuncine neng ngendi” (kuncinya dimana). Kenapa saya kaget, karena berada di pelosok Sulawesi mendengar ucapan bahasa Jawa. Ternyata di daerah itu cukup banyak orang Jawa dan umumnya berdagang, khususnya makanan. Orang yang berteriak tersebut berjualan bakso dan menurut ceritanya cukup laris, sehingga dapat mengontrak sebuah rumah yang cukup baik.
Pada tahun-tahun berikutnya, ketika mendapat kesempatan menjelajah daerah luar Jawa saya menjumpai fenomena serupa. Banyak orang Jawa dan umumnya mereka berkehidupan cukup baik. Rumahnya relatif baik dan lebih baik dibanding rumah rata-rata pendudukn setempat. Bahkan ketika tahun 2021 pertama ke Berau Kalimantan Utara saya terperanjat melihat nama-nama rumah makan. Ada rumah makan Madiun, Tulungagung dan sebagainya. Ternyata pemilik rumah makan itu memberi nama sesuai asal mereka. Ketika ke Meraoke, saya diajak ke daerah transmigran dan ternyata kehidupan mereka relatif lebih baik dibanding penduduk asli.
Dengan pengalaman itu akhirnya saya memahami dan cenderung membenarkan buku The Power of Kepepet yang menjelaskan orang yang kepepet akan keluar akalnya, tekatnya dan semangat berjuang untuk berkerja keras agar keluar dari situasi kepepet. Itulah yang menyebabkan para pendatang biasanya lebih sukses dibanding penduduk asli. Si pendatang merasa kepepet sehingga harus berjuang dan bekerja keras, sementara si penduduk asli santai karena merasa aman di tanah lelulur sendiri.
Ketika mengamati kehidupan di Dakha Bangladesh itu saja jadi teringat apa yang dijelaskan buku tersebut. Bangladesh, khususnya kota Dakha yang sangat padat penduduk dengan kondisi perekonomian masih terbatas tampaknya membuat banyak orang merasa kepepet, sehingga mengeluarkan kreativitasnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Menurut teman di sana, di Dakha banyak orang yang berasal dari pedesaan yang merantau mencari pekerjaan. Konon sebagian pengemudi rigsaw, yaitu becak ala Bangladesh, berasak dari pedesaan yang merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan. Itulah sebabnya mereka rela bekerja keras, menggenjot rigsaw yang tampak sangat berat. Jika pengemudi becak lazimnya duduk di atas sadel, pengemudi rigsaw tidak. Ketika ada penumpang, pengemudi rigsaw harus menggenjotnya sambil berdiri, mirip pembelap sepeda ketika harus meningkatkan kecepatan.
Di Dakha banyak sekali apartmen yang sedang dibangun. Saya tidak tahu apakah itu kebijakan pemerintah karena penduduk sangat banyak sementara negaranya sangat kecil, sehingga untuk menghemat laham, apartmen menjadi pilihan hunian. Yang jelas, sepanjang jalan yang saya lewati, di kanan-kiri jalan sangat banyak apartmen yang sedang dibangun. Saya mencoba mencermati umumnya 5-10 lantai. Yang menarik tidak satu pembangunan tersebut menggunakan crane, sehingga bahan bangunan dinaikkan dengan semacam kerekan yang dilakukan oleh manusia. Tampak sekali mereka membangun apartmen secara tradisional. Saya lihat betapa berat kerja mereka.
Di Dakha ada kendaraan seperti bemo roda tiga yang sekian tahu lalu menjadi kendaraan umum di Indonesia. Mereka menyebutnya CNG, singkatan dari Compressed Natural Gas, karena kendaraan tersebut menggunakan gas alam. Di beberapa tempat saya melihat rigsaw yang tidak lagi digenjot tetapi diberi motor listrik. Mereka menyebutkan Electric Bike. Ternyata itu produksi lokal, artinya dibuat oleh bengkel lokal, bukan buatan pabrik. Oleh karena itu bentuknya sangat bervariasi. Menurut saya itu suatu keberanian berinovasi
Ketika makan malam dan mencari makanan non Bangladesh ternyata sangat mudah, Banyak restoran di mall yang menyediakan makanan berbagai negara. Namun saya melihat semua yang melayani orang Bangladesh. Iseng-iseng saya bertanya mengapa begitu. Ternyata itulah inovasi mereka. Karena banyak orang asing di Dakha dan makanan asli Dakha tidak cocok, maka mereka belajar memasak masakan negara lain dan kemudian menyajikan di restoran. Sebuah inovasi yang jitu.
Mengamati berbagai fenomena itu dalam hati saya bertanya, apakah itu juga bukti the power of kepepet ya. Karena kepepet sulitnya kehidupan orang Bangladesh mengeluarkan segala akal agar mampu mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut saya itu contoh Teknologi Tepat Guna yang sesuai dengan konteksnya. Mestinya SMK di Indonesia juga bisa, apalagi perguruan tinggi sekelas ITS. Dari pada buat Gesits yang seperti hilang dari peredaran, inovasi yang dapat dikerjakan secara lokal akan memberi manfaat nyata buat masyarakat kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar