Sabtu, 04 November 2023

DAKHA BANGLADESH

 Tanggal 2 – 4 Nomber saya ke Dakha Bangladesh untuk ikut academic conference yang diadakan oleh APQN (Asia Pacific Quality Network), sebaga utusan LAMDIK.  Kami hadir ber enam, Prof Aceng, Prof Sofia, Prof, Ivan, Prof Ekohariadi, Prof Pratiwi dan saya.  Isteri saya juga ikut. Keikutsertaan Lamdik di conference tersebut bukan semata-mata memaparkan hasil studi, tetapi ingin mengenalkan diri kepada APQN dengan harapan Lamdik dapat menjadi full member dari APQN.  Tentu juga membangun jaringan dengan lembaga sejenis di luar negeri.

Ini pertama kali saya ke Bangladesh, sehingga sebelum berangkat mencoba mencari informasi seperti apa kota Dakha.  Informasi yang saya dapatkan melalui internet kurang menyenangkan, karena informasinya Dakha merupakan kota yang sangat padat penduduk, sangat macet.  Lebih padat dan lebih macet dibanding Jakarta.  Mungkin karena negara yang relatif baru berkembang dan sedang berbenah diri.  Bangladesh Merdeka pada tahun 1971 setelah melepaskan diri dari Pakistan.  Sebelumnya merupakan Pakistan Timur setelah merdeka dari koloni Inggris.  Konon Indonesia banyak mengimpor kain dari Bangladesh dan setahu saya memang banyak “baju bermerek” kalau dilihat name tage-nya dibuat di Bangladesh.

Kami ke Dakha dengan naik Singapore Airline (SQ) dan transit di Singapore.  Waktu transit ketemu dan ngobrol dengan seorang ibu muda dengan dua anaknya kecil-kecil.  Dia orang Bangladesh yang sekarang tinggal di Sidney.  Anaknya lucu-lucu dan mau bermain dengan saya. Keduannya cewek berusia lima dan tiga tahun, namanya Yara dan Yala.  Ketika tahu Bu Pratiwi alumni Melbourne University dan sekarang mengajar di Unesa, dia tampak kaget. Mengapa tidak mencari pekerjaan di Australia, toh sebagai doktor tidak sulit mendapatkan pekerjaan dan memperoleh PR.  Pertanyaan wajar dari orang-orang dari negara yang memang punya tradisi ber-diaspora, yaitu menetap di negara lain yang memberikan kehidupan lebih baik dibanding di negara asalnya.  Mereka umumnya berpendapat di negara manapun dapat berperan membantu negaranya.

Tiba di bandara Hazrat Shahjalal Dakha hampir jam 11 malam waktu setempat.  Kami harus mengurus visa on arrival (VOA)  karena memang dari Indonesia belum mengurus visa. Ternyata cukup banyak yang antri, apalagi ada beberapa orang yang antri di depan kami  yang bermasalah, sehingga lama sekali. Akhirnya kami pindah antrian dan alhamdulillah, sekitar jam 12 malam selesai. Petugas imigrasi seorangg wanita muda, namanya Sharmin, sehingga teman-teman berseloroh “petugas imigrasinya Bu Sarmini”. Mungkin teman tadi teringat Prof. Sarmini dari Unesa. Di dekat tempat mengurus visa ada bank, sehingga kami menukar uang dolar dengan uang setempat yang bernama Taka. Petugasnya ramah dan lucu, sehingga kami merasa senang.

Selesai urusan visa dan sudah memegang uang Taka, kami menuju ke tempat pengambilan bagasi. Ternyata ada petugas yang memegang kertas bertuliskan Prof. Pratiwi.  Yang berangkutan merupakan petugas bandara yang diminta oleh staf American International Universitity Bangladesh (AIUB – universitas penyelenggara conference) untuk membantu kami.  Jadinya  urusan bagasi lancar.  Selanjutnya kami dipandu keluar bandara dan disitu sudah ada dua orang, satu pertuas AIUB dan satunya petugas dari hotel yang menjemput kami.  Kami menginap di Bengal Blue Berry Hotel. Hotelnya kecil, di tengah kota, dengan style internasional dan memang banyak orang non Bangladesh yang menginap.

Dalam mobil penjemputan dari bandara ke hotel saya dan teman-teman agak takut. Mobil minibus berjalan sangat cepat meliuk-liuk diantara bis, truk, bajaj, motor dan rigsaw.  Lalu lintas di Dakha tampaknye belum teratur. Jalanan jug relatif gelap dan di tengah malam ada saja orang menyeberang jalan.  Banyak pekerja yang sedang memmperbaiki jalan tetapi tanpa penerangan yang memadai. Barier juga dipasang tampa penerangan. Mungkin itu mobil yang kami tumpangi harus meliuk-liuk dan sangat sering membunyikan klakson. Pengalaman yang sangat menarik di Dakha.

Kami sampai hotel sekitar pukul 01 malam. Berarti sudah berganti hari menjadi Kamis tanggal 2 November 2023. Saya dengan isteri mendapat kamar 706. Kamarnya lumayan baik, hanya AC nya bersuara keras, sehingga agak bising. Ketika berwudhu, air panas tidak jalan sehingga lumayan dingin. Setelah sholat jamak magrib-isya, saya segera tidur karena besuknya sudah harus mulai acara.

Ketika makan pagi Bu Pratiwi mendapat informasi bahwa kami tidak perlu ke lokasi conference karena hari itu hanya berisi board meeting dan kami dapat registrasi besuk pagi menjelang acara hari kedua. Oleh karena itu kami sepakat menggunakan hari itu untuk melihat-lihat kota Dakha. Namun ketika ngobrol dengan staf hotel, disarankan kami tidak pergi jauh dari hotel karena situasi di Dakha sedang tidak kondusif karena menjelang pemilihan umum.  Setelah berunding, kami memutuskan hari itu akan keluar hotel setelah sholat dhuhur, terus akan mencari makan siang kemudian jalan-jalan di sekitar hotel.

Kami makan siang di rumah makan Bernama SANTOOR, kira-kita 200 m dari hotel.  Kami jalan kaki dari hotel dan siang itu menyaksikan lebih detail betapa semrawutnya lalu lintas di Dakha.  Mobil, bajaj dan rigsaw (seperti becak tetapi pengemudi di depan atau seperti sepeda ontel dibelakangnya diberi tempat penumpang seperti bejak) parkir tidak teratur. Apalagi banyak penjual kaki lima di pinggir jalan. Mobil, bajaj dan rigsaw banyak yang melawan arus dan sepertinya itu sudah biasa.  Saya juga tidak melihat rambu lalu lintas di sepanjang perjalanan. Mungkin itu yang membuat pengendara mobil, bajaj dan rigsaw berjalan semaunya disertai suara klakson saut-sautan.  Sepanjang jalan saya juga melihat banyak bus yang penuh dengan bekas serempetan. Namun sopir yang kami tumpangi seperti tenang-tenang saja, sepertinya hal seperti itu biasa. Teman-teman berkomentar sopir di Dakha harus sangat mahir dan sabar.

Di rumah makan Santoor kami makan nasi briyani dengan kambing dan ayam. Ketika kami bertanya seberapa besar porsinya dijawab untuk “share”.  Akhirnya kami memesan  3 porsi untuk 10 orang.  Ternyata betul, nasi briyani yang disajikan dalam wadah seperti periuk dari kuningan itu tidak habis dimakan 10 orang. Nasi briyaninya sangat enak, menurut saya lebih enak dibanding yang saya dapatkan di Surabaya.  Sayangnya daging ayam dan kambing di dalamnya tidak banyak, sehingga teman-tema berkomentar nasinya terlalu banyak, tetapi daging ayam dan kambingnya sedikit.  Selesai makan ada yang usul menambah pesan ayam panggang untuk dibawa pulang bersama nasi yang tersisa.  Namun akhirnya tidak jadi, karena bingung bagaimana cara makannya karena kita tinggal di hotel.

Setelah selesai makan, kami ingin melihat taman yang informasinya kami dapat di internet. Petugas yang kebetulan berdiri di depan restoran menunjukkan jalan menuju taman tersebut.  Orang Bangladesh memang ramah dan suka menolong. Jadi betugas tersebu dengan antusias menunjukkan arah taman. Kami berjalan hati-hati sesuai saran tersebut, khususnya ketika menyebarang jalan.  Isteri saya berkomentar bagaimana takutnya Roy (menantu saya yang asli Scotland) jika harus menyebarang jalan di Dakha, karena di Surabaya saja dia takut menyeberang jalan.

Ketika pertama melihat taman dari pintu masuk, kami merasa tamannya tidak lebih baik dibanding taman di Indonesia.  Memang cukup luas tetapi tampak kurang terpelihara.  Namun begitu masuk kami melihat sebuah gedung kecil yang di depannya ada tulisan BOOKWORM.  Awalnya saya bingung, karena biasanya worm diartinya cacing. Tetapi setelah mencari di google, ternyata artinya kutubuku.

Kami segera masuk dan sungguh kaget, karena toko kecil tersebut menjual buku-buku bagus yang bias akita jumpai toko buku Peripluss yang ada di bandara.  Beberapa buku yang pernah saya beli di Periplus, misalnya The History of God tulisan Karen Amstrong dan sebagainya.  Harganya juga jauh lebih murah dibanding di Periplus. Saya lihat buku-buku tersebut banyak terbitan India dengan kertas berwarna coklat muda. Mungkin itu yang membuat harganya murah. Bu Pratiwi tampak sangat antusias dan membeli beberapa buah.  Melihat toko buku itu saya berpikir, jangan-jangan itu salah satu indicator kepedulian Bangladesh terhadap pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Sepulang dari taman, kami membeli degan yang dijajakan di pinggir jalan. Hanganya 150 taka atau sekitar 25 ribu rupiah.  Kami menikmati karena degannya segar.  Yang menarik penjual degan tersebut dapat berbahasa Inggris, sehingga komunikasi kami dengan dia lancar.  Terpikir di benak saya, apakah orang Bangladesh pada umumnya dapat berbahasa Inggris ya.  Mungkinkah itu karena sebelum merdeka Bangladesh yang masih merupakan bagian dari Pakistan merupakan jajahan Inggris, seperti halnya Malaysia.

Tidak ada komentar: