Tanggal 1 Februari 2024, saya diundang oleh Prof Emil Salim untuk diskusi tentang pendidikan. Hadir saat itu “tokoh-tokoh” pendidikan, antara lain Prof Fasli Jalal (mantan Wamendikbud), Prof Syawal Gultom (Mantan Dirjen GTK dan Rektor Unimed), Dr. Totok Suprayitno (mantan Ka Balitbangdikbud), Dr. Bahrul Hayat (mantan Sekjen Kemenag), Dr. Abdul Malik (mantan Sestama Kemenristek), Dr. Sudarno (tokoh Semeru Institute), dua orang dari BRIN, tiga orang dari Bank Dunia dan beberapa lagi yang saya tidak ingat. Sekitar dua minggu sebelumnya, beliau sudah mengundang diskusi via daring. Hari itu sebagai pendalaman apa yang dibahas saat diskusi secara daring.
Saya kagum dengan Prof Emil Salim, dengan usia hampir 94 tahun masih konsern
dengan pendidikan anak bangsa. Dengan
usia itu beliau relatif sehat. Walaupun menggunakan
tongkat, berjalan masih tegak dan lancar.
Meskipun menggunakan alat bantu pendengaran tetapi masih dapat menangkap
apa yang dibahas dalam diskusi dengan baik.
Pikirannya juga masih sangat tajam, mungkin lebih tajam dari saya.
Diskusi dimulai pukul 14.00 WIB dengan paparan Tim Bank Dunia yang menjelaskan “kemajuan” pendidikan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara. Indonesia dianggap sukses meningkatkan angka partisipasi, artinya proporsi anak sekolah meningkat signifikan. Tetapi Indonesia dianggap kurang berhasil meningkatkan mutu pendidikan. Dibanding negara lain, skor PISA anak-anak Indonesia tertinggal dengan negara tetangga. Ketika terjadi pandemi covid-19 kemerosotan mutu belajar (learning losses) juga lebih besar dibanding rata-rata dunia.
Setelah Tim Bank Dunia pulang, Prof Emil Salim minta teman-teman tetap
tinggal dan mendiskusikan dua hal. Pertama, mengapa mutu pendidikan kita tertinggal,
paling tidak dilihat dari skor PISA.
Kedua, bagaimana pendidikan mengisi bonus demografi yang sekarang
dialami, agar SDM muda berkualiasnya bagus, sehingga mampu mengisi kebutuhan pembangunan.
Jangan sampai SDM muda tidak berkualitas dan malah menjadi beban negara.
Diskusi dipimpin oleh Prof Fasli Jalal dan setiap yang hadir diminta menyampaikan
pemikirannya secara singkat, karena waktunya sangat singkat. Waktu diskusi
lanjutan hanya sekitar 45 menit, karena diskusi harus berakhir pukut 17.00. Saya dan Prof Syawal mendapat kesempatan di
akhir, karena menurut Prof Fasli biar sekaligus dapat merespons gagasan
teman-teman yang lain.
Merespons rendahnya skor PISA, saya menyampaikan karena pola pembelajaran
kita kurang tepat dengan fokus ke konten dan kurang memperhatikan level
berpikir. Pada hal dengan bekal
kemampuan berpikir yang baik atau dalam istilah sekarang berpikir tingkat tinggi,
seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baru dan dapat mencerna (memahami)
fenomena yang dihadapi. Kalau menggunakan
taksonomi Bloom, jika siswa mampu dan terbiasa berpikir analisis-sintesis, maka
dia akan dapat mencerna dan memahami hal-hal baru yang belum dipelajari sebelumnya. Itulah yang sekarang banyak dibicarakan agar
anak-anak dilatih high order thinking (HOT).
Jika dicermati, soal-soal di PISA pada umumnya kontennya cukup sederhana
dan terkait dengan kehidupan sehari-hari, tetapi menuntut kemampuan berpikir
tinggi. Biasanya menggunakan fenomena
keseharian, dan peserta diminta menganalisinya.
Oleh karena itu wajar kalau anak-anak Indonesia tidak mampu menjawabnya
dengan tepat, karena tidak terbiasa mengerjakan masalah seperti itu. Apa itu hanya
untuk anak SD dan SMP kelas awal?
Ternyata tidak. Prof Wasis bersama
tim dari Unesa pernah menganalisis jawaban Ujian Nasional (UN) siswa SMA. Hasilnya menunjukkan untuk soal yang berbasis
hafalan dan penerapan rumus, umumnya siswa dapat mengerjakan. Namun pada soal yang
sifatnya analisis-sintesis, misalnya memahami tabel dan kemudian mengaitkan
dengan kehidupan sehari-hari, banyak siswa yang gagal menjawabnya.
Memang mengajarkan atau lebih tepatnya mengembangkan kemampuan berpikir
level tinggi memerlukan waktu lebih lama. Jika guru harus mengabiskan
semua materi ajar yang tercantum dalam
kurikulum dan harus membimbingnya sampai kemampuan analisis-sintesis, mungkin
waktunya tidak cukup. Oleh karena itu kemudian
guru mengambil pilihan, yang pentingnya materinya terselesaikan, walaupun kemampuan
berpikir siswa tidak mencapai level analisis-sintesis.
Bagaimana praktik di negara maju?
Sepanjang yang saya tahu, di sana lebih mementingkan level berpikir
daripada konten. Argumentasinya, dengan
kemampuan berpikir tinggi diyakini anak-anak akan mampu belajar secara mandiri
untuk mempelajari hal-hal baru. Memang
pada awalnya pembelajaran, pembahasan materi berjalan lambat tetapi ketika
siswa sudah mampu dan terbiasa berpikir analisisi-sintesis, pembelajaran dapat
berjalan lebih cepat.
Berdasar kondisi tersebut, kita dihadapkan dua pilihan. Konten materinya banyak, artinya siswa
memperlajari banyak hal, tetapi kemampuan berpikirnya berada pada tingkat
rendah. Atau materi yang dipelajari siswa tidak terlalu banyak, tetapi mereka
mampu berpikit tingkat tinggi. Semoga kita punya pilihan yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar