Tanggal 20 Desember 2023 di Jakarta, saya dengan beberapa teman dari LAMDIK bertemu dengan Prof. Sunaryo Kartadinata, duta besar RI untuk Uzbeckistan. Kami ketemu dan diskusi dengan beliau bukan sebagai duta besar, tetapi dengan seorang profesor pendidikan yang sangat konsern dengan pendidikan guru. Saya mengenal beliau sudah sangat lama, bahkan pada tahun 2017 sama-sama memulai dengan serius mewujudkan berdirinya LAMDIK (Lembaga Akreditasi Mandiri Kependidikan), sebelum beliau berangkat bertugas sebagai Duta Besar RI di Uzbeckistan.
Dalam diskusi tersebut secara serius kami mendiskusikan arah pendidikan,
khususnya proses pembelajaran yang menurut kami selama ini kurang tepat. Yang banyak terjadi di sekolah adalah
“pengajaran” dalam pengertian guru menyampaikan materi ajar, maksimal memandu
siswa bagaimana memahami materi ajar sesuai matapelajaran yang diampunya. Bahkan seorang teman yang hadir saat ini,
guru menyampaikan materi ajar yang tercantum di buku paket. Itu bukan salah, karena memang itulah yang dituntut kepada guru, yaitu siswa menguasai matapelajaran yang diajarkan.
Menurut Prof Sunaryo yang juga diamini dan difahami teman-teman yang
hadir, pendidikan itu punya dua rujukan pokok. Pertama filosofi
pendidikan, seperti yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan itu upaya
mengembangkan potensi anak (intelektualitas, karakter, fisik) secara
terintegrasi sebagai bekal menjadi manusia yang sempurna. Jadi tujuan utama pendidikan adalah
mengembangkan anak menjadi manusia yang sempurna, yang mampu mengatasi problem kehidupan
yang dihadapi (mandiri/tidak tergantung orang lain) dan bahkan berperan aktif
dalam kemajuan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian intelektualitas, karakter dan
fisik (kebugaran dan keterampilan) itu adalah alat (tools), bukan tujuan. Kalau
toh disebut tujuan hanyalah tujuan antara dan bukan tujuan akhir. Problem kita,
seringkali kita dan para guru berhenti di tujuan antara, karena tidak menyadari
adanya tujuan akhir tersebut. Jika guru
berhenti pada upaya agar siswa menguasai materi ajar, dan tidak memasalahkan
apakah dia dapat menggunakannya untuk memecahkan problem kehidupan, maka itu baru sampai mengajar belum mendidik. Keterikatan
dengan isi matapelajaran, seringkali membuat guru fokus kepada konten matapelajaran yang
diampu dan lupa bahwa penguasaan matapelajaran tersebut adalah alat untuk memecahkan problem kehidupan. Nah, bagaimana menggunakan dalam kehidupan itu yang agaknya belum mendapat perhatian.
Kedua, pendidikan harus dimaknai sebagai implementasi pembukaan UUD 1945,
yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Bangsa yang cerdas (secara intelektual,
karakter, dan fisik) diharapkan dapat mewujudkan tujuan bernegara yang lain. Jadi pendidikan merupakan modal untuk
mewujudkan tujuan bernegara lainnya. Mungkin itu pula yang ada di benak Lee
Kuan Yew (alm) pendiri Singapore yang di awal kemerdekaan mengatakan (for
finally, just as a country is as good as its citizens, so its citizens are
finally only as good as their teacher (pada akhirnya kemajuan suatu negara tergantung kepada
penduduknya dan penduduknya tergantung kepada gurunya). Oleh karena itu salah
satu standar kompetensi guru di Singapore yang tidak dimiliki oleh negara lain,
adalah keharusan guru memahami filosofi kurikulum. Mungkin dalam filosofi kurikulum Singapore
ditekankan penumbuhkembangan sikap sebagai warganegara Singapore.
Lantas apa kaitannya dengan perbedaan mengajar dan mendidik? Mengajar biasanya dimaknai membimbing siswa
untuk menguasai materi ajar sesuai dengan tuntutan kurikulum. Tujuan akhir
mengajar adalah penguasaan materi ajar.
Sedangkan tujuan akhir pendidikan, sebagaimana disebutkan di atas,
secara filosofis adalah tumbuhnya manusia yang sempurna, yang dapat memecahkan
masalah kehidupan dan menjadi bagian bangsa yang cerdas.
Sebenarnya dalam kurikulum ada SKL (Standar Kompetensi Lulusan) dan
Standar Isi untuk setiap matapelajaran. Sayangnya keduanya seakan terpisah dan
sangat sedikit kalau tidak boleh mengatakan tidak ada, guru yang membaca SKL
kemudian mengaitkannya dengan materi pelajaran yang diampunya. Pada hal SKL
itulah yang sedikit-banyak memandu guru melaksanakan pendidikan, karena di SKL
itu dinyatakan kompetensi siswa saat lulus, yang mengacu kepada tujuan
pendidikan nasional.
Jika direnungkan secara mendalam, dalam SKL itu terkandung makna
integrasi semua matapelajaran untuk membentuk kompetensi lulusan. Sayangnya
dalam kurikulum juga tidak ada bagian yang mengintegrasikan matapelajaran
menjadi satu keutuhan (trans-disiplin) dan kemudian mengggunakan untuk
memecahkan problem sehari-hari. Problem
based learning dan project based learning yang akhir-akhir ini digunakan juga
masih berbasis matapelajaran secara terpisah.
Pada hal biasanya pemecahkan masalah dalam kehidupan selalu memerlukan
trans-disiplin. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar