Beberapa minggu ini kita disuguhi berita tentang tsumani yang sangat hebat di Jepang. Gambar dan film di televisi menunjukkan betapa hebatnya tsunami meluluhlantakkan kota atau daerah di tepi pantai. Tsunami itu mampu membawa kapal naik ke darat dan menghempaskan untuk menambrak kolom penyangga jalan layang. Tsunami menghanyutkan mobil yang tampak seperti mobil mainan, merobohkan rumah bahkan mampu menyeret pesawat dan menambrakannya pada bangunan di lapanan terbang.
Di samping gambar dan film, kita juga disuguhi informasi naratif, komentar para pakar dan bahkan beberapa stasiun televisi menggelar talk show tentang tsunami, tentu dari sudut pandangnya masing-masing. Koran maupun majalah juga menjadikan tsunami di Jepang tersebut sebagai berita utama untuk berhari-hari. Obrolan di saat minum kopi/teh, saat istirahat di kantor, di ruang guru/dosen juga diwarnai oleh topik tsunami. Bahkan tsunami di Jepang menjadi ilustrasi berbagai seminar dan kuliah.
Lantas apa sebenarnya pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa tsunami di Jepang itu? Paling tidak ada pelajaran yang dapat dipetik (lesson learned) untuk kita bangsa Indonesia. Pertama, kesiapan pemerintah dan masyarakat Jepang menghapi bencana. Begitu gempa terjadi dan diketahui akan menimbulkan tsunami, pemerintah dan instansi yang bertanggungjawab mengingatkan masyarakat bahwa akan datang tsunami dalam sekian menit. Masyarakat diminta segera menyelamatkan diri. Dari televisi kita juga menyaksikan betapa masyarakat Jepang siap menyelematkan diri. Sepertinya masyarakat sudah tahu apa yang harus dilakukan, jika tsunami datang.
Mengapa dapat terjadi seperti itu? Ternyata pengetahuan apa tanda-tanda tsunami dan bagaimana cara menyelematkan diri jika ada tsunami telah diajarkan dan menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Jepang. Latihan-latihan menyelamatkan diri sudah dilatihkan sejak anak di TK. Sepertinya Jepang sadar betul bahwa setiap saat tsunami dapat datang dan masyatakat harus siap menghadapinya. Pemahaman seperti itu telah menjadi “milik” masyarakat, sehingga mereka siap melakukannya.
Pihak yang bertanggungjawab tampak juga siap menghadapi perstiswa tersebut, terbukti tidak terlambat memberi peringatan kepada masyarakat. Info yang saya dapat, sekitar 20 menit sebelum tsunami datang, pemerintah menyiarkan lewat berbagai media bahwa tsunami akan datang dalam waktu 20 menit dan masyarakat agar menyelematkan diri, Peringatan terus diulang-ulang dengan perhitungan mundur.
Apa sesungguhnya dibalik itu semua? Menurut saya adalah rasa tanggung jawab yang begitu besar dari pemerintah atau pihak yang bertangung jawab. Tampaknya Jepang berhasil menumbuhkan rasa bertanggung jawab yang besar kepada petugas atau orang-orang yang menangani bencana. Memang kemampuan memprediksi akan terjadi tsunami didukung oleh penguasaan iptek yang maju di Jepang. Tetapi kemampuan memberikan peringatan yang begitu menyeluruh dan terus menerus, tentu didukung rasa tanggung jawab untuk menyelamatkan masyarakat. Dari sudut pandang pendidikan, muncul pertanyaan: bagaimana cara Jepang menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar
Kedua, ketangguhan masyakat Jepang dalam menghadapi bencana sungguh sangat mengagumkan. Tayangan di televisi menunjukkan petugas di Jepang yang tampak bekerja keras mengatasi bencana tsunami dan membantu mengevakuasi korban. Tidak tampak sama sekali wajah putus asa. Beberapa pakar menjelaskan itu disebabkan psinsip hidup “gambaru” yang berarti pantang menyerah, berjuang sampai titik darah penghabisan. Semangat kerja keras dan pantang menyerahkan yang tampaknya berhasil ditumbuhkan atau dipelihara di masyarakat Jepang. Mungkin memang semangat semacam itu telah lama ada dan turun temurun. Kita mengenal harakiri dan kamikaze atau apa namanya, yang artinya kurang lebih rela mati demi membela kebenaran atau bahkan kadang-kadang karena malu.
Bagaimana mempertahankan prinsip hidup seperti itu? Konon ketika kehidupan masyarakat membaik semangat juang seringkali menurun. Ada ungkapan bahwa tumbuhan yang kuat adalah tumbuhan yang hidup di tanah gersang. Pelaut yang tangguh adalah yang biasa berlayar di laut yang ganas. Seakan hanya orang yang hidup dalam situasi yang “ganas” atau penuh perjuangan yang akan menjadi tangguh mengahadapi tantangan.
Keadaan ekonomi di Jepang demikian makmur, tetapi peristiwa tsunami menunjukkan bahwa daya juang mereka sangat tangguh dan tidak menurun karena membaikkan perekonomian mereka. Pertanyaannya: bagaimana Jepang dapat menanamkan daya juang kepada masyarakat, sehingga tidak luntur walaupun kehidupan ekonomi sudah sangat baik.
Ketiga, kedisiplinan masyarakat Jepang sungguh patut dicontoh. Ditengah-tengah bencana tsunami, masyarakat Jepang masih antre dengan tertib. Bandingkan dengan kebiasaan kita saat akan naik bus, masuk lift atau lainnya. Memang kita sudah tahu bahwa masyarakat Jepang terkenal disiplin, tetapi jika itu tetap dilakukan di saat kalut akibat bencana, membuktikan bahwa sikap disiplin telah merasuk menjadi budaya dan bukan sekedar karena aturan.
Kesediaan orang Jepang untuk antre dalam situasi kalut karena bencana sekaligus menunjukkan kepedulian kepada hak orang lain. Saya jadi teringat cerita tentang anak SD di Jepang yang sedang makan siang di sekolah. Roti yang disediakan memang sejumlah siswa kelas tersebut dan siswa dibiarkan mengambil sendiri. Ketika ada siswa yang mengambil roti agak awal dan mengambil satu buah, ditanya apakah tidak lapar. Dia menjawab lapar. Ketika ditanya, mengapa hanya mengambil satu. Jawabannya sungguh mengegetkan, kalau ambil dua, nanti ada teman yang tidak kebagian. Artinya, anak tersebut walaupun lapar hanya mengambil saytu buah roti, karena peduli kepada temannya. Agar temannya tetap kebagian roti untuk makan siang. Pertanyaan yang muncul, bagaimana Jepang berhasil menumbuhkan disiplin dan peduli kepada orang lain.
Ketika kita sedang mengarus-utamakan pendidikan karakter, pertanyaan, bagaimana menumbuhkan tanggung jawab, tangguh menghadapi cobaan, disiplin dan peduli kepada orang lain, menjadi sangat penting. Bukankah empat karakter orang Jepang, yaitu tanggung jawab, tangguh, disiplin dan peduli juga cocok untuk kita kembangkan. Ada baiknya kita belajar atau paling tidak menjadikan bahan banding, bagaimana Jepang berhasil mengembangkan karakter tersebut. Tidak ada jeleknya kita belajar kepada orang lain yang sudah lebih dahulu berhasil. Semoga.
Senin, 11 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar