Rabu tanggal 5 April 2011 lalu saya kedatangan teman lama, yaitu Ir. Misbahul Huda. Saya mengenal beliau sudah cukup lama dan sering berdiskusi, khususnya saat beliau menjadi Rektor Universitas Al Falah Surabaya. Saya tahu beliau orang muda yang cerdas dan suskes dalam bisnis serta aktif dalam kegiatan sosial. Insinyur Elektro dengan predikat cumlaude lulusan UGM itu dikenal sebagai orang dibalik kesuksesan percetakan Jawa Pos (PT Temprina Media Grafika). Setahu saya, disamping direktur utama PT Temprina, Misbahul Huda juga sebagai direktur utama Pabrik Kertas Adiprima Suraprinta, direktur utama Power Plant milik Jawa Pos, direktur utama JP Book. Ingat saya beliau juga memegang pimpinan di beberapa perusahaan lain.
Kedatangan Mas Huda, begitu biasa saya biasa memanggil, sebenarnya untuk urusan kerjasama Unesa dengan Jawa Pos untuk acara “Hari Pendidikan” Mei mendatang, yang antara lain akan menggelar lomba robot untuk anak-anak berkebutuhan khusus (siswa SLB) dan acara untuk teman-teman guru. Karena teman lama, maka pertemuan menjadi ajang kangenan dan cerita “ngalor ngidul”. Sebagai orang yang lebih tua, saya banyak bertanya bagaimana perkembangan bisnis Mas Huda dan apa saja yang dikerjakan di luar urusan bisnis. Termasuk saya sampaikan saat beliau “dirasani” oleh beberapa orang pada saat ada pengajian di rumah teman yang kebetulan berdekatan dengan rumah beliau.
Pada saat pulang, saya dihadiahi 3 buku yang salah satunya berjudul “Mission Ini Possible” (bukan Mission Impossible) tulisan beliau sendiri. Malamnya buku tersebut saya abaca dan isinya sungguh sangat bagus dan banyak didasarkan atas pengalaman beliau. Mirip buku motivasi diri untuk memompa motivasi pembaca. Uraian kalimatnya sangat mengalir dengan diberi ilustrasi keseharian, sehingga mudah difahami. Besuknya saya langsung sms untuk meminta beliau memberikan motivasi kepada para mahasiswa Unesa. Uraian berikut ini adalah salah satu butir penting dari buku tersebut.
Kalau boleh memilih satu mutiara penting dalam buku itu ialah “sukses itu ditopang oleh ketangguhan usaha yang dilandasi keinginan berkadar 24 karat”. Mas Huda memberi banyak ilustrasi dari pengalaman pribadi maupun rekannya. Misalnya ketika pabrik kertas yang dipimpinnya mengalami problema pecah komponen mesin saat digenjot untuk produksi puncak. Ahli dari pabrikan Jerman dan Jepang (atau China) juga tidak mampu memperbaiki. Pada saat itu muncul keinginan kuat (istilahnya 24 karat, mungkin meminjan istilah emas 24 karat) untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia lebih hebat dan mampu mengatasi. Oleh karena itu muncul ide “mengusir bule”, yaitu menyuruh ahli Jerman dan Jepang tersebut pulang dan problem itu akan diatasi oleh teknisis Jawa Pos sendiri. Sungguh luar biasa. Setelah berjuang keras, konon hampir tidak pernah istirahat, akhirnya para teknisi itu mampu merancang ulang komponen yang selalu pecah itu dan akhirnya pabrik kertas itu mampu mencapai produksi puncak. Masih banyak contoh lain yang dapat pembaca baca sendiri di buku itu.
Mengapa perlu keinginan 24 karat sebagai modal sukses? Itu pertanyaan yang muncul di benak saya saat awal membaca. Ternyataitu dijelaskan dengan acuan psikologi. Menurut Mas Huda, keinginan 24 karat, artinya betul-betul suatu keinginan “murni” yang tumbuh dari dalam diri akan berkembang di alam bawah sadar manusia. Nah, alam bawah sadar itu ternyata mampu berperan sebagai enersi yang tidak habis untuk berusaha sekuat tenaga.
Mungkin ilustrasi dari tempat lain, adalah teroris yang mengendong bom bunuh diri dan berjalan menuju tempat peledakan. Meskipun tahu bahwa dia akan mati bersama ledakan bom tadi, toh dia terus melangkah tanpa ada rasa takut. Bahkan jika itu gagal agar diulangi lagi. Seakan-akan meledakan bom bunuh diri itu harus diusahakan apapun taruhannya.
Mas Huda tampaknya ingin meyakinkan pembaca bahwa usaha keras itu lebih penting dibanding sekedar bakat atau kemampuan. Mas Huda seakan ingin meyakinkan bahwa kita semua pasti bias, asalkan mau bekerja keras (tentunya juga harus bekerja cerdas). Ilustrasi yang diberikan adalah saat para teknisi pabrik kertas tersebut “mengawinkan” dua bagian mesin yang berasal dari pabrikan yang berbeda. Tanpa kenal lelah para teknisi “lokal” tersebut terus mencari cara agar dua bagian mesin kertas yang berasal dari pabrikan berbeda itu dapat digandengkan. Dan hasilnya memang bias, tentu setelah melalui percobaan yang tidak terhitung jumlahnya. Mirip Thomas A Edison yang melakukan lebih dari 1.000 kali untuk menghasilkan bola lampu listrik.
Apa yang dapat dipetik dari mutiara Mas Huda tersebut, khususnya bagi pendidikan? Pertama, bagaimana kita mendorong siswa atau anak-anak kita berani bermimpi, berani bercita-cita. Mimpin atau cita-cita yang 24 karat, sehingga bersemi di bawah alam bawah sadar dan pada saatnya menjadi energi yang ternilai untuk menggapainya. Kedua, bagaimana mendorong anak-anak dan siswa kita untuk pantang menyerah saat melakukan sesuatu. Semangat pantang menyerah (yang disertai kerja cerdas) terbukti mampu mengantar sukses. Istilahnya please do the best, then God will take the rest.
Tentu mimpi yang disebutkan di atas haruslah mimpi yang rasional. Artinya cita-cita yang dilandasi oleh rasional yang baik. Artinya secara rasional memang itu mungkin. Saya yakin kita semua memiliki bekal rasional itu, sehingga mampu memastikan bahwa sesuatu yang kita mimpikan itu mungkin tercapai atau tidak. Ungkapan “sulit tetapi mungkin” itu sudah cukup untuk indikator bahwa itu layak menjadi mimpi yang rasional. Semoga.
Rabu, 13 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar