Jumat, 15 April 2011

PENDIDIKAN ITU DOMAIN PUBLIK ATAU PRIVAT?

Pada suatu acara saya bertemu dengan teman alumni Unesa yang sekarang menjadi pegitan LSM. Saat itu kita sedang diskusi tentang biaya pendidikan yang oleh beberapa pihak dianggap sangat mahal. Bahkan saat itu muncul pernyataan yang bernada provokatif: “orang miskin dilarang sekolah”. Teman tadi berpendapat bahwa pemerintah harus menjamin semua warga negara untuk memperoleh pendidikan sampai setinggi-tingginya, sesuai dengan keinginannya. Pendapat itu didasarkan pada pasal 28-C UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak mendapatkan pendidikan”. Juga dirujukkan pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Teman tadi seakan ingin mengatakan bahwa pendidikan (di sekolah/perguruan tinggi, kursus dan sebagainya) merupakan domain publik (public good), sehingga pemerintah wajib memenuhinya untuk kepentingan rakyat banyak. Sekolah dan perguruan tinggi dianalogikan dengan jalan raya (bukan jalan tol) yang harus dibangun dan dipelihara oleh pemerintah/pemerintah daerah untuk kepentingan masyarakat umum.

Di satu sisi pendapat tersebut sungguh bagus. Dengan memperoleh pendidikan pada bidang yang sesuai dengan bakatnya dan jenjang yang sesuai dengan keinginannya, kita yakin seseorang akan mampu mengembangkan potensinya dengan maksimal dan pada akhirnya dapat memerankan diri sebagai pribadi yang mandiri (bekerja dan mampu memenuhi kehidupan sendiri), sebagai warga masyarakat dan warga negara yang baik. Pada gilirannya orang seperti itu akan menjadi sumberdaya insani handal dalam pembangunan bangsa.

Untuk memenuhi harapan mulia tersebut tentu diperlukan biaya yang sangat besar. Saya tidak faham bagaimana menghitungnya. Namun, dengan asumsi unit cost SD/MI 12 juta/tahun dengan jumlah siswa 30 juta orang; unit cost SMP/MTs 15 juta/tahun dengan jumlah siswa 13 juta orang, unit cost SMA/SMK/MA 17 juta dengan jumlah siswa 9 juta orang, dan unit cost perguruan tinggi 20 juta dengan jumlah mahasiswa 6 juta orang, diperlukan anggaran 828 trilyun. Jumlah yang setara dengan 75% APBN, jika diasmusikan APBN kita 1.100 trilyun.

Sangat mungkin anggaran yang sebesar itu (75% APBN) tidak dapat dipikul oleh pemerintah dan juga membuat ketidakseimbangan dalam pengalokasian anggaran antar sektor pembangunan. Membagi-bagi secara merata agar semua jenis dan jenjang pendidikan ditanggung pemerintah, tetapi dengan anggaran terbatas, sehingga unit cost yang dapat diberikan terlalu kecil juga kurang baik. Pola itu seringkali menjadi “meratakan pendidikan yang tidak bermutu”. Memaksanakan agar 75% APBN digunakan untuk pendidikan juga kurang bijak. UUD 1945-pun hanya mengamanatkan 20% dan ternyata itu termasuk gaji guru.

Lantas bagaimana jalan keluarnya? Bukankah kita ingin semua warga negara memperoleh pendidikan yang bagus, yang sesuai dengan minat/bakatnya dan sesuai dengan jenjang yang diinginkan? Belajar dari negara maju, hanya beberapa negara yang membebaskan uang sekolah/kuliah untuk seluruh jenjang sekolah. Setahu saya hanya Jerman dan Perancis. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, setahu saya hanya membebaskan uang sekolah sampa tingkat menengah. Itupun sekolah swasta masih menarik SPP walaupun mereka juga mendapatkan subsidi dari negara. Untuk jenjang perguruan tinggi, baik negeri (state university) maupun swasta (private university) menarik SPP. Biasanya memang perguruan tinggi swasta lebih mahal dibanding perguruan tinggi negeri. Informasi terakhir, Jerman juga sedang memikirkan apakah memang kuliah di perguruan tinggi negeri harus bebas SPP. Kita tidak tahu apa yang terjadi, apakah Jerman merasa berat membebaskan SPP bagi seluruh sekolah/perguruan tinggi atau ada perkembangan lain.

Pendidikan yang setengah-setengah seringkali berakibat buruk. Siswa SMK bidang otomotif yang tidak pernah praktek, karena sekolah tidak memiliki peralatan memadai akan menjadi lulusan “SMK Sastra”, yaitu lulusan SMK dengan kepandaian “mengarang”. Ini tidak berarti pandai mengarang itu kurang baik, tetapi bagi lulusan SMK yang hanya bias mengarang tentang pekerjaan ke-otomotifan, tentu sangat tidak baik. Oleh karena itu, dengan anggaran yang terbatas, lebih baik Indonesia memusatkan perhatian jenjang tertentu.

Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Berarti biaya pendidikan di jenjang SD dan SMP seharusnya disediakan oleh pemerintah. Sangat mungkin itu terkait dengan wajib belajar. Artinya orangtua bersalah jika tidak menyekolahkan minimal sampai jenjang SMP, sebaliknya pemerintah/pemerintah daerah harus menanggung seluruh biaya untuk pendidian tersebut.

Dengan landasan itu, sebaiknya pendidikan di jenjang SD dan SMP yang difahami sebagai domain public, sehingga seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah. Tentu dengan mutu yang bagus (standar) yang memerlukan biaya tertentu pula. Artinya kita harus memastikan berapa unit cost standar untuk SD dan SMP yang harus dimasukkan dalam anggaran negara/daerah. Sedangkan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) sebaiknya difahami sebagai domain privat dengan alasan yang kuliah hanya orang tertentu, yaitu mereka yang cukup kaya, sehingga mampu membayar. Untuk jenjang SMA dapat dimaknai di tengah-tengah, sehingga ada bagian yang ditanggung pemerintah dan ada bagian yang ditanggung oleh masyarakat/orang tua.

Apakah seluruh biaya pendidikan di jenjang SD dan SMP ditanggung pemerintah, tanpa ada batasan? Sebaiknya ada batasan standarnya. Misalnya ruang standar ruang kelas, standar laboratorium, standar perpustakaan, standar jumlah dan kualifikasi guru dan sebagainya. Standar yang disusun berdasarkan kajian untuk mencapai mutu pendidikan yang baik. Sampai mencapai standar itu, biaya menjadi tanggungan pemerintah. Sedangkan jika masyarakat ingin lebih dari itu, misalnya ingin ruang kelas ber-AC, perpustakaan yang canggih, silahkan kekurangannya ditanggung sendiri. Dengan cara itu terjadi keadilan. Masyarakat kurang mampu dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah bermutu baik tanpa harus membayar, sementara orang kaya disilahkan menambah fasilitas, sesuai dengan harapannya. Semoga (muchlas-unesa).

Tidak ada komentar: