Berita itu kurang lebih PGRI merelakan guru berbuat curang dalam membantu siswa agar dapat lulus UN dengan nilai baik. Kita dapat membayangkan apa yang dimaksud curang, misalnya membiarkan siswa nyontek atau saling membantu, guru memberitahu jawaban kepada siswa, mencari bocoran soal dan mengubah jawaban dalam lembar jawaban ujian nasional (LJUN). Membaca berita itu, saya sungguh seperti mendengar geledek di siang hari. Saya baca berulang-ulang dan setengah tidak percaya dengan pernyataan oleh seseorang yang saya kenal itu. Beliau seorang doktor (ingat saya doktor dalam bidang filsafat pendidikan) yang cerdas dan dosen di perguruan tinggi yang dikenal sangat peduli dengan moral bangsa. Seingat saya perguruan tempat beliau mengajar itu yang pertama kali memberi matakuliah Anti Korupsi, yang kemudian diikuti oleh beberapa perguruan tinggi lain. Apalagi beliau mengatakan itu sebagai pengurus PGRI, salah satu organisasi persatuan guru terbesar di Indonesia dan yang seringkali mewakili organisasi guru, baik dalam skala nasional atau internasional.
Saya dapat memahami alasan yang diajukan, yaitu (secara sederhana) guru dalam posisi terjepit karena ditekan oleh kepala sekolah, kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas dan seterusnya. Mungkin maksudnya, guru “terancam nasibnya” jika tidak berbuat curang dan prestasi siswa dalam UN kurang baik. Kepala sekolah akan “terancam nasibnya” jika tidak curang dan prestasi sekolahnya dalam UN kurang baik. Seakan kawan itu mengatakan bahwa itu keadaan terpaksa, keadaan darurat, tindakan untuk membela diri dan sebagainya.
Saya memang mendengar keadaan seperti itu, misalnya kepala dinas ditarget oleh bupati/walikota bahwa UN harus lulus minimal sekian persen, ganti kepala dinas menarget kepala sekolah, dan kepala sekolah menarget guru. Nah guru tidak dapat menarget murid, akibatnya guru berbuat curang dan kadang kala bersama kepala sekolah dan sebagainya. Yang saya tidak faham apakah itu dapat dikatakan keadaan terpaksa atau keadaar darurat. Ibarat orang Islam boleh makan daging babi karena darurat, yaitu jika tidak akan mati jika memakannya. Saya menduga bahwa apa yang diungkapkan oleh kawan tadi bukan sikap resmi PGRI dan ternyata dugaan saya benar. Setelah saya sms, ketua PGRI menjawab (Dr. Sulistyo) menjawab bahwa sikap PGR dalam hal UN adalah meminta guru dan siswa untuk jujur apapun hasilnya.
Yang menjadi pertanyaan, kalau pengurus pusat PGRI yang bergelas doktor, cerdas dan dosen di perguruan tinggi ternama saja bersikap seperti itu, dapat dibayangkan seperti apa sikap orang lain, yang mungkin yang mungkin “kurang educated”, tidak memiliki pengalaman luas dan tidak faham konsep pendidikan. Tulisan ini juga tidak akan membahas “keterpaksaan atau tidaknya” kasus itu dan juga tidak akan membahas sah-tidaknya sang doktor tersebut membuat pernyataan atas nama PGRI. Yang ingin diulas adalah dampak dari pernyataan tersebut.
Sekian tahun yang lalu ada seorang kawan yang saat itu memiliki jabatan penting. Ketika anaknya tidak diterima di SMA Kompleks (SMA Negeri favorit di Surabaya), kemudian memasukkannya di SMA di luar kota. Hanya untuk satu semester. Pada semester berikutnya dipindah ke SMA Kompleks. Kok bias? Memang secara aturan siswa dapat pindah antar SMA negeri dari kabupaten berbeda. Untuk kasus tersebut memang sudah disediakan bangku oleh kepala sekolahnya, sehingga pada semester dua kelas satu tinggal mengatur adminsitrasinya.
Ketika hal itu saya tanyakan, beliau menjawab itu atas inisiatif kepala sekolah. Mungkin juga betul. Saya jelaskan dari konsep pendidikan, itu sama artinya memberitahu siswa: “Nak, kamu tidak perlu belajar keras. Nanti ayah dapat memasukkan kamu ke SMA Kompleks”. Yang lebih dahsat, itu seperti mengumumkan kepada publik: “Bapak/Ibu/Saudara, anak SMP tidak perlu belajar keras. Sepanjang Bapak/Ibu/Saudara punya jabatan strategis dan atau punya uang, akan dapat memasukkan putra ke SMA favorit”. Konsep itu terkonfirmasi validitasnya, artinya banyak anak berpendapat seperti itu dan banyak masyarakat juga berpendapat seperti itu. Nah, jika ternyata atas anjuran “PGRI” para guru berbuat curang, misalnya membiarkan siswa menyontek, guru memberi jawaban kepada peserta ujian dan berusaha mencari bocoran soal, itu sama artinya mengatakan: “Anak-anak tidak usah belajar keras, nanti kalian dapat nyontek, dapat saling membantu, Pak/Ibu guru akan memberi tahun jawaban yang benar dan seterusnya”. Yang mendapat pembelajaran seperti itu tidak hanya siswa kelas 3 SMP, kelas 3 SMA, kelas 6 SD, tetapi juga siswa pada kelas di bawahnya, misalnya siswa kelas 2 SMP, siswa kelas 2 SMA.
Jika ternyata banyak pengurus PGRI yang memiliki pendapat seperti itu dan banyak guru yang setelah membaca statement itu banyak guru yang berbuat curang, maka dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya dampak negatif kepada para siswa. Saya khawatir, teman tadi lupa akan dampak berantai dari pernyataannya yang mungkin dimasudkan untuk membela guru. Belum lagi dampak yang kemudian masyarakat luas tidak percaya terhadap hasil UN.
Jika memang benar yang disampaikan itu bukan sikap resmi PGRI dan bahkan bertentangan dengan sikap resmi PGRI sebaiknya segera dilakukan klarifikasi. Memang jika baru besuk atau bahkan besuk luas ada penjelasan dari PGRI sudah akan terlambat, karena sangat mungkin para guru “sudah bergerak”. Tetapi seperti kata pepatah “lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”. Semoga (muchlas-universitas negeri Surabaya).
Minggu, 17 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar