Sekitar tahun 1998,
awal menjadi konsultan Bank Dunia SSEP-2 saya tinggal dengan beberapa
teman. Beberapa yang kenal baik antara
lain Pak Ibrahim Bafadal (sekarang Direktur Pembinaan SD), Pak Ismet Basuki
(sekarang Asdir 1 Pascasarjana Unesa) dan Pak Adurrahman Asyari (dosen UM).
Walaupun bekerjanya berbeda-beda, kebetulan kami tinggal satu rumah di Kompleks
Patal Senayan.
Diantara teman-teman
yang akrab itu hanya Pak Asyari yang belum S3, sehingga seringkali beliau mengutarakan
keinginannya segera menempuh S3. Konon
sebenarnya beliau sudah akan menempuh S3 beberapa tahun sebelum itu. Namun beliau harus berangkat ke Amerika
Serikat untuk mengambil S2 (yang kedua) untuk bidang ke-SD-an melalui proyek
PGSD. Setelah pulang dari Amerika,
tampaknya beliau terlalu sibuk sehingga belum sempat mengambil S3.
Ketika beliau
mengeluhkan hal itu, saya berkelakar “Joko Tingkir nggak sekolah dari ratu”
(Joko Tingkir tidak pernah sekolah tetapi menjadi raja). Sampai sekarang kalau penghuni Patal Senayan ketemu,
kelakar itu masih sering diungkap kembali.
Biasanya untuk pengingat kalau kita pernah akrab dalam suka duka hidup
diperantauan. Bahkan, ketika mendengar
Pak Asyari menempuh S3 saya kirim sms “kok Joko Tingkir sekolah, mengko malah
gak iso dadi ratu” (Kok Joko Tingkir sekarang sekolah, nanti malah tidak dapat
menjadi raja). Beliaupun membalas
kelakar itu dan jadilah cengkerama asyik, walaupun via sms.
Tentu kelakar
tersebut tidak dimaksudkan agar orang tidak perlu sekolah atau kuliah untuk
menjadi sukses. Yang dimaksudkan adalah
sekolah atau kuliah itu cara memperoleh kemampuan yang diperlukan untuk dapat
sukses di kehidupan. Sekolah atau kuliah
akan membuang waktu jika sekedar mengikuti pelajaran tanpa mengetahui makna dan
penerapannya dalan kehidupan. Apalagi jika sekolah atau kuliah sekedar untuk
mendapatkan ijasah.
Ketika menulis buku “Pendidikan
Bermakna” yang diterbitkan oleh SIC, saya mendapat beberapa komentar yang
mempertanyakan seakan-akan buku itu menganjurkan orang tidak bersekolah. Memang buku itu membahas bagaimana seharusnya
pendidikan yang dapat membekali anak-anak kemampuan untuk kehidupan (life
skills). Life skills tidak dimaknai
secara sempit tentang keterampilan manual, tetapi kecakapan hidup secara
utuh. Buku itu diawali dengan pertanyaan
“untuk apa anak harus sekolah?”, yang membedah fenomena pendidikan yang tidak
relevan dengan filosofi dasar, yaitu pendidikan untuk membantu anak didik
mempersiapkan diri agar sukses di kemudian hari.
Ketika membaca salah
satu menteri di Kabinet Kerja Presiden Jokowi hanya tamatn SMP, tetapi menjadi
pengusaha sukses, saya jadi teringat kelakar “Joko Tingkir nggak sekolah dari
ratu”. Juga buku saya “Pendidikan
Bermakna” yang memberi ilustrasi teman SMP saya yang sukses walaupun tidak
pernah kuliah. Bahkan ketika saya ke Surabaya untuk kuliah, dia berkelakar “Kuliaho
sing apik, nek wis lulus mreneo tak wenehi gaweyan” (Kuliahlah yang bagus,
nanti kalau sudah selesai kesinilah saya beri pekerjaan).
Menurut berita di
koran, Bu Susi Pudjiastuti drop out SMA kelas 2, jadi secara formal lulusan
SMP. Namun berkat kegigihannya dan saya
yakin juga cerdas, beliau dapat membangun bisnis yang hebat. Jika dimaknai bahwa belajar itu berlangsung
sepanjang hayat dan bekerja itu juga proses belajar, saya yakin beliau telah
belajar banyak selama bekerja. Jika kita
mengikuti konep KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) mungkin saja
kemampuan Bu Susi untuk bidang beliau geluti sudah setara dengan S1 atau bahkan
lebih. Terus terang saya tidak mengenal
Bu Susi, hanya seingat saya pernah diulas oleh Jawa Pos sekian tahun lalu
sebagai orang yang sukse berwirausaha dengan awal berdagang ikan dari Sukabumi ke
Jakarta.
Memang harus
dicatat, kalau mengurus kementerian tidak sama dengan berwirausaha. Banyak kaitan birokrasi yang tidak sederhana
di pemerintahan yang mungkin tidak dibayangkan oleh para pengusaha. Namun dengan bekal pengalaman panjang Bu Susi
tentu dapat belajar cepat. Bukankah
salah satu kunci sekolah atau kuliah itu learning how to learn. Belajar dan berlatih bagaimana belajar cepat
untuk mengadapi tantangan kehidupan. B
Susi memang tidak pernah kuliah, tetapi siapa tahu dengan pengalaman usaha yang
panjang, secara otodidak beliau telah menemukan cara belajar cepat . Termasuk belajar cepat menangani birokrasi
yang banyak “tetek bengeknya”.
Kita do’akan beliau
sukses membangun dunia perikanan dan kelautan, yang merupakan kekayan besar di
negara tercinta. Kita menunggu kiprak
beliau dan pada saatnya sejarah akan mencatat perjalanan beliau yang
bermetamorfosa dan pengusaha ke jajaran birokrasi. Semoga.