Tanggal 8-9 Oktober
2014 saya diudang oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menyajikan makalah
pada seminar dan lokakarya bertema
“Revolusi Mental dan Pembangunan Ideologis dan Implementasi Praktis Menuju
Indonesia Hebat”. Saya tidak tahu
mengapa diundang, untuk menyampaikan makalah dalam bidang pendidikan. Mungkin karena saya kenal dengan rektor UIN
(Prof Musa Asyari) karena sering ketemu kalau rapat MRPTN, sama-sama sering ikut
rapat IDB di Kementerian Keuangan dan beberapa kali bersama-sama menguji S3 di
Unair.
Waktu membuka acara,
Prof Musa menyampaikan sesuatu yang sangat menarik yang terkait dengan
birokrasi di Indonesia yang feodalistik.
Beliau memulai dengan ilustrasi bahwa banyak pengusaha dan juga
akademisi yang menjadi pejabat, kemudian “kerasan” dan terus ingin menjadi
pejabat. Karena beliau adalah dosen,
rektor UIN Sunan Kalijaga tetapi juga seorang pengusaha (salah satunya usaha
pengecoran di Ceper), beliau mencerikan pengalamannya sendiri.
Di UIN Sunan
Kalijaga, rektor mendapat perlakuan istimewa.
Kalau rektor lewat, seringkali terdengar staf berkata “he minggir UIN-1
mau lewat”, kalau akan bertugas keluar kota staf menguruskan segala sesuatu,
sehingga rektor tingggal berangkat. Bahkan
kalau pejabat tinggi, bepergian dikawal oleh ajudan. Pokoknya segala kegiatan pejabat tinggi akan
dilayani oleh staf.
Perlakuan seperti
itu tidak terjadi bagi pengusaha, karena membuat tidak efisien. Walaupun punya kadar keilmuan tinggi,
akademisi tidak mendapat perlakukan perlakuan seperti pejabat. Oleh karena itu,
Prof Musa menduga mengapa para pengusaha dan akademisi menikmati menjadi
pejabat, karena mendapat perlakukan istimewa yang tidak diperoleh saat menjadi
pengusaha atau akademisi.
Jika dikaitkan
dengan hirarkhi kebutuhan yang dijelaskan oleh Maslow, sangat mungkin setelah menjadi
pejabat mendapatkan layanan istimewa itu
menjadi capaian aktualisasi diri.
Setelah mengalami menjadi pejabat, mungkin mereka menikmati dan akhirnya ingin menjadi
pejabat terus, karena mendapatkan layanan dan penghormatan orang di sekeliling
menjadi bentuk aktualisasi diri.
Menurut Prof Musa,
itulah budaya feodal yang sampai sekarang belum dapat kita udah. Mungkin budaya itu sudah ada sejak zaman
kerajaan (Majapahit dan sebelum itu), dan kita tidak berhasil mengubahnya pada
era penjajahan, era orde lama, orde baru maupun era informasi. Pemimpin datang dan pergi, tetapi budaya
feodal ternyata belum berubah.
Mendengar pidato
Prof Musa, saya mencoba melakukan refleksi diri. Saya mencoba “memutar film ingatan, ketika
menjadi PR-4, Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti dan menjadi Rektor Unesa. Rasanya saya membenarkan sinyalemen prof
Musa. Memang saya tidak begitu cermat
memperhatikan sekeliling, tetapi sedikit atau banyak saya juga mendapatkan
layanan serupa. Ketika tugas luar kota, Mbak Roni sudah mengatur segala sesuatu
sehingga saya tinggal berangkat.
Kadang-kadang Mas Huda juga membawakan tas ketika saya pulang sore
hari. Setelah magrib saya juga selalu
diberikan makan malam. Secara jujur saya
juga senang dengan perlakukan itu dan bahkan sering saya menyampaikan kepada
istri bahwa Mas Huda itu yang ngopeni saya di kantor.
Refleksi itu
kemudian membuat saya ingat apa yang disinyalir oleh Maslow bahwa aktualisasi
diri itu jika tidak dijaga dapat menjadi kebanggaan diri. Pada awalnya aktualisasi diri merupakan
bentuk mengekspresikan kemampuannya.
Tetapi dapat terjadi pejabat yang mendapat layanan istimewa kemudian
mendapatkan kehormatan dan layanan itu merupakan ekspresi kemampuannya. Jangan-jangan saya juga teman yang memperoleh
kesempatan menjadi pejabat juga terjangkit “penyakit” itu.
Seakan menyelasi
diri, saya jadu teringat cerita tentang Pak Malik Fajar saat menjadi
menteri. Konon Pak Malik Fajar tidak mau
dibukakan pintu mobil dan dibawakan tasnya oleh staf. Beberapa teman bercerita, jika ada staf yang
membukakan pintu mobil dan membawakan tasnya, Pak Malik akan berkomentar “saya
punya tangan” atau “memang kalau saya sudah tidak jadi menteri kamu mau
melakukan”. Konon Pak Malik juga sering
menyopir sendiri ketika mengajar ke UIN Jakarta, walaupun saat itu masih menjadi
Mendiknas.
Pertanyaan yang
muncul, jika kita menganggap budaya feodal harus diubah, bagaimana
merubahnya. Karena telah menjadi budaya,
feodalisme itu telah menjadi “nilai-nilai” yang difahami harus dilakukan oleh
masyarakat. Mungkin staf merasa harus
melayani pejabat. Mungkin masyarakat
merasa bersalah kalau tidak menghormati pejabat. Mungkin pejabat merasa biasa atau sudah
seharusnya ketika mendapat penghormatan atau layanan masyarakat.
Kalau begitu
bagaimana memulai menghilangkan atau yang mungkin lebih cocok mengurangi
setahap demi setahap. Usul saya dimulai
dari pejabat atau pimpinan. Pejabat
sebaiknya memahami bahwa jabatan itu pekerjaan yang suatu saat akan
selesai. Dengan demikian interaksi
pejabat dengan staf adalah interaksi pekerjaan dan bukan interaksi
“atasan-bawahan”.
Kita mulai dari
pimpinan karena staf akan “takut” atau paling tidak “merasa bersalah” jika
tidak melayani pimpinan. Jika pimpinan
yang meminta itu tidak dilakukan, dengan menjelaskan “itu tidak perlu, karena
sama-sama manusia”, secara bertahap staf akan terbiasa melakukan dan lama
kelamaan akan mengubah nilai-nilai yang mereka yakini. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar