Pagi tanggal 2
Oktober 2014 saya mengikuti acara lokakarya penyusunan Peraturan Gubernur
tentang pendidikan. Mas Dedi A. Rachim
dari KPK yang menyampaikan paparan. Saya
ngeri mendapat informasi trend korupsi.
Katanya, korupsi sekarang tidak lagi tergantung gender, laki perempuan
sama-sama korupsi. Usia juga bukan
pembeda pelaku korupsi. Banyak korupsi
banyak yang muda tetapi juga banyak yang tua. Namun ternyata hampir semua
korupsi berpendidikan. Hampir semua
koruptor yang ditangani KPK pada umumnya berpendidikan S1. S2 dan S3. Saya
merenung “apakah korupsi itu salah satu hasil pendidikan kita?”.
Apakah Anda pernah
melihat tayangan TV tentang koruptor?
Penglihatan saya menununjukkan mereka tidak merasa malu memakai rompi
oranye bertulsikan Tahanan KPK.
Sepertinya mereka malah bangga.
Apalagi dalam beberpa kasus mereka didampingi oleh pengacara kondang
yang konon bayarannya sangat besar. Mereka
juga didampingi atau dikunjungi oleh keluarga atau sahabat yang merupakan orang
terpadang, memakai baju bagus dan mengendarai mobil bagus pula. Celakanya beberapa diantara mereka mendapat “potongan
hukuman” atau apa namanya, yang jelas dapat menghirup kebebasan sebelum waktu
yang diputuskan hakim habis. Waktu
keluar penjara juga ditayangkan TV dengan wajar ceria. Seakan-akan memberi pesan “tidak apa-apa
dihukum, toh masih punya uang banyak dan mendapat perlakuan khusus lagi”. Apa kesan penonton ya? TV merupakan pendidikan yang sangat
berpengaruh pada masyarakat. Saya takut,
tayangan koruptor seperti itu merupakan pelajaran yang tidak mendidik bagi
penonton.
Sesi kedua Mas Edy
Kuncoro dari Al Hikmah yang menyampaikan paparan. Beliau menyampaikan hasil survai kecil ketika
awal pendirian Al Hikmah. Pada survai
itu Al Hikmah menanyakan apa yang diinginkan orangtua saat menyekolahkan
anak. Jawabnya ternyata hanya dua, yaitu
agar anaknya menjadi “baik dan pintar”.
Ketika orangtua “dipaksa” memilih mana yang lebih utama, ternyata pada
umumnya memilih “baik”, syukur kalau “pintar”.
Konon itulah yang menjadi landasan pendidikan di Al Hikmah. Saya menduga itu yang akhirnya menjadi moto
Al Hikmah “Berbudi dan Berprestasi”.
Artinya berbudi dulu baru berprestasi.
Baik budinya dulu baru berprestasi.
Yang lebih menarik
Mas Edy Kuncoro bercerita kalau tanggal 1 Oktober sore putrinya mendapat tugas
dari gurunya untuk melihat siaran TV tentang Sidang DPR. Karena itu tugas sekolah, tentu Mas Edy
mengijinkan dan bahkan mendampingi.
Setelah beberapa lama, Mas Edy membujuk putrinya untuk mematikan TV, toh
sudah melihat dan itu sudah cukup untuk membuat laporan.
Mengapa begitu? Menurut Mas Edy, Sidang DPR tanggal 1 Oktober
2014 tidak layak ditonton oleh anak-anak seusia SMP dan SMA. Mengapa?
Karena perilaku anggota (mungkin lebih tepat oknum) DPR sore itu tidak
menunjukkan teladan yang baik dalam sebuah sidang. Jadi TV yang menyiarkan Sidang DPR sore itu
laksana “pendidikan yang tidak mendidik”.
Penonton seakan diajari oleh para tokoh nasional tentang bagaimana
perilaku yang tidak baik.
Mendengar cerita itu
saya teringat siaran TV pada Sidang DPR beberapa tahun lalu yang juga tidak
layak menjadi teladan. Saya juga
teringat ada “adu tinju” dalam sidang DPR.
Saya juga teringat tayangan acara Indonesia Lawyer Club, yang
mempetontonkan para tokoh berbebat dan saling menghujat. Saya tidak memasalahkan materi debatnya. Tetapi apakah memang harus begitu cara
berdebat? Tayangan itu dilihat oleh
jutaan orang, seakan menjadi pelajaran yang tidak mendidik.
Sepulang dari acara
lokakarya itu saya merenung. Bukankah TV
telah menjadi pendidik masyarakat yan pengaruhnya sangat besar. Konon tidak kalah besar dengan penddikan di
sekolah dan di rumah. Lihatlah cara
berpakaian anak-anak yang sangat dipengaruhi tayangan TV. Lihatlah selera makanan anak-anak yang sangat
dipengaruhi oleh tayangan TV. Lihatlah cara
bicara dan istilah-istilah yang digunakan anak-anak ternyata banyak dipengaruhi
oleh tayangan TV. Saya takut, orang tua
dan guru yang berupaya keras mendidik anaknya, kemudian dikalahkan oleh
pelajaran yang diberikan oleh TV.
Dalam renungan saya
menjadi sadar mengapa pendidikan karakter, moral, budi pekerti atau apapun
namanya sangat sulit dilaksanakan.
Ibarat panas setahun dihapus oleh hujan sehari, susah payahnya orangtua
dan guru mendidik putra-putrinya, dinegasikan oleh tayangan TV. Mungkin anak-anak berguman “wualah bokap,
nyokap, pak guru, bu guru ngomong apa sih….para orang top dan kaya itu kan
contoh yang lebih hebat”.
1 komentar:
Sebagai orang tua saga sangat prihatin,tayangan TV memang sangat memberi dukungan proses belajar generasi bangsa,
Berharap yg miliki kewenangan dalam penyiaran memberikan durasi tayangan contoh baik, berita prestasi, motivasi positif lebih lama, shg minimal respon otak pemirsa tanpa disadari akan merekam kebaikan-kebaikan.
Posting Komentar