Ketika diputuskan dalam
lawatan ke Jerman akan mampir ke Italia, salah satu yang terbayang di benak saya
adalah naik gondola di Venezia. Memang
sudah ada tiruannya, yaitu di Hotel Vevezia Macau China. Hotel dengan nama Venezia itu sepertinya ingin
menghadirkan situasi kota Venezua St Lucia di Italia ke Macau. Situasi gedung di hotel itu konon dibuat
sebagai miniaturnya St Lucia. Namun
tentu tidak seindah aslinya. Oleh karena
itu diputuskan harus ke Venezia St Lucia tempat gondola yang asli.
Karena kami menginap
di hotel Bologna di Venezia Mestre, maka kami harus naik kereta api ke Venezia
St Lucia dengan waktu tempuh sekitar 10 menit.
Saya duga pemilihan hotel di Venezia Mestre karena tarifnya lebih murah,
karena bukan di tempat wisata utamanya.
Toh naik kereta api hanya 10 menit dan hotelnya sangat dekat dengan
stasiun sehingga dapat jalan kaki.
Venezia St Lucia
saya duga dulunya berupa pulau-pulau kecil di lepas pantasi Venezia daratan. Di atas pulau-pulau itu dibangun berbagai
gedung dengan menyisakan saluran-saluran dengan lebar sekitar 10 meter. Di kiri
kanan saluran berupa gedung-gedung kuno yang umumnya bertingkat 3-6
lantai. Semua bangunannya mepet ke bibir
saluran dan umumnya memiliki pintu dan jendela ke saluran tersebut. Oleh karena itu saluran seakan menjadi urat
nadi perjalanan dalam kompleks bangunan tinggi tersebut.
Apakah ada jalan
biasa di atas gedung tersebut? Ada dan
juga banyak. Oleh karena itu banyak
jembatan yang melintasi saluran tempat gondola lewat, sehingga pendayung harus
membungkukan badan saat gondola melewati bawah jembatan. Saat naik gondola, kita juga dapat mengintip
apa yang ada di balik jendela gedung-gedung tersebut. Ternyata ada kafe, ada hotel dan sebagainya.
Antar pulau yang
agak besar tentu ada selat atau apa itu namanya. Yang jelas seperti sungai yang membelah pulau
tetapi kedua ujungnya bermuara di laut.
Jadi saya yakin airnya air laut.
Tidak terlalu jernih, sehingga kita tidak dapat meihat ikan dalam
air. Atau memang tidak ada ikan, karena
terganggu lalu lalang perahu dan gondola yang begitu banyak. Atau mungkin sebab lain saya tidak tahu,
misalnya pencemaran lingkungan. Saya tidak
tahu kemana limbah rumah tangga dibuang, karena seperti tidak ada daratan yang
cukup luas. Permukaan air juga mepet
dengan permukaan daratan. Kurang
jernihnya air dan tidak tampaknya ikan menjadikan nilai Venezia St Lucia tidak
100.
Kami berangkat dari
hotel jam 9an, jalan kaki ke stasiun Venezia Mestre dan naik kereta ke Venezua
St Lucia dengan santai. Venezia Mestre
merupakan kota di bibir pantai daratan, sehingga kereta api sebenarnya hanya
menyeberangkan penungpang ke pulai Venezia St Lucia. Saat mendekati pantai saya kaget, kok
pantainya tidak bersih dan rapi layaknya
daerah wisata. Kereta berjalan lambat
dan sampai di tengah selat ada semacam taman kecil di kiri kanan rel kereta
api. Namun taman tersebut tampak tidak
terurus. Menambah pertanyaan, ini kan tempat wisata kelas dunia, mengapa
kondisinya kurang terurus?
Turun dari kereta
api di stasiun Venezia St Lucia saya menyadari bahwa ini memang benar-benar
tempat wisata kelas dunia. Sangat banyak
pengujung dan dari wajahnya tampak berasal dari berbagai penjuru dunia. Banyak bule Eropa Barat dengan postur tinggi
besar rambut blonde, abu-abu atau merah.
Banyak orang Timur Tengah dengan ciri khasnya rambut hitam dengan
berewok yang tebal. Banyak orang Asia
Timur, dengan kulit kuning, mata sipit dan rambut lurus. Dan walaupun tidak banyak, jug ada
wajah-wajah mirip Melayu, mungkin orang Asia Tenggara, dari bicaranya dapat
dikenali sebagai orang Malaysia atau Bruani atau Indonesia, orang Filipina atau
aorang Thaliland. Tentu yang terbanyak
wajah Italia, dengan kulit kuning (tidak putih seperti orang Eropa Barat), muka
lonjong dengan dagu kokoh, hidung mancung, rambut cenderung hitam dan berombak.
Ketika melihat-lihat
saya agak kesulitan, karena hampir semua informasi berbahasa Italia dan hanya
sedikit yang berbahas Inggris. Saya juga
kaget ketika bertanya kepada seseorang, dia menjawab dengan bahasa Italia dan
sepertinya tidak bisa berbahasa Inggris.
Apa memang begitu? Bukankah ini
kota wisata dunia? Kok masih ada oang
disitu yang tidak dapat berbahasa Inggris, walupun mungkin orang tersebut bukan
orang terpelajar.
Keluar dari stasiun
kami naik kapal menuju San Marino, konon merupakan pusat wisatanya. Kapal yang kami naiki melaju di sungai atau
selat dengan perlahan, sehingga kami dapat mengambil foto gedung di pinggir
sungai tersebut. Saya sengaja mengambil
tempat duduk di bagian paling depan, sehingga dapat bebas melihat kiri kanan,
walaupuh harus menanggung konskwensi hawa dingin akbat angin laut yang menusuk.
Pak Cholik yang
duduk di dekat saya terus berseloroh, sehingga suasana menjadi cair. “Sopo ngiro anake emak iso nang Itali”. “Mosok
sobonen mek nang Karah ambek Ketintang tok”.
(Siapa mengira anaknya ibu bisa ke Itali. Masak hanya perginya hanya ke
Karah dan Ketintang}. Dia juga terus menggoda
Pak Pardji, tentang kebiasaan orang Madura.
Sementara Pak Bambang Sujatmiko terus berkomentar menyocokan bacaannya
di Google dengan yang sekarang dilihat dan Pak Eko Hariadi menimpali “kita enak
punya Mbah Google berjalan”.
Sambil menyusuri
sungai muncul diskusi, apakah Surabaya tidak bisa puya wisata air seperti
ini? Sungap Mas tidak kalah lebar dengan
sungai yang saat itu kami lewati. Era
Pak Basofi menjadi Gubernur juga berhasil mengubah rumah-rumah tepi sungai yang
semula membelakangi sungai menjad menghadap sungai. Rumah-rumah di tepi kali di sekitar jalan
dari jembatan Jagir sampai Bagong sudah menghadap sungai dan tampak rapi. Sungai di dekat Plasa Surabaya yang ada
Monkasel sampai depan Balai Budaya Gentengkali juga sudah bagus. Mungkin Pemerintah Kota Surabaya perlu
memiikirkan peluang wisata menyusuri sungai tersebut. Jika perlu sampai ke Ujung dekat pelabuhan
Tanjung Perak.
Sampai di San Marino
dan turun dari kapal, teman-teman perlu ke kamar kecil yang ternyata tidak
mudah ditemukan. Kami harus jalan
menyusuri lorong untuk menemukan tiolet dan itupun membayar 1,5 euro per
orang. Jadi untuk kencing harus membayar
18 ribu rupiah. Teman-teman berkomentar
kita harus berlama-lama di toilet dan kalau perlu mandi sekali, karena bayarnya
mahal.
Selesai ke kamar
kecil saya dengan beberapa teman sengaja menuju tempat mankal gondola di depan
toko/kafe Hard Rock. Bukankah keinginan
ke Vevezia untuk naik gondola. Satu
gondola berisi enam orang dengan tarif 80 Euro atau sekitar 960 ribu
rupiah. Lama perjalanan sekitar 30
menit. Pendayung gondola berwajah asli
Italia, sehingg Bu Titik memberi komentar cakep-cakep kerjanya mendayung
gondola. Entah tidak lancar bahasa
Inggris atau apa, setiap kami bertanya dia menjawab dengan bahasa Italia,
sehingga kami harus meraba-raba apa maksudnya.
Namun selama perjalana, dia lebih banyak berbicara dengan hp dengan
earpun yang menempel di telinganya.
Sayang sekali
gondola yang kami naiki tidak ada pemain musiknya. Ternyata kalau ingin ada pemain musik serupa
dengan klarinet, harus membayar tambahan dan satu kursi dikosongkan untuk di
pemain. Kami tidak tahu, sehingga
terlanjur meluncur tanpa pemain musik.
Saya juga melihat gondola khusus yang diperuntukkan mereka yang lagi
bulan madu atau berpacaran, sehingga kursinya hanya dua orang dan dilengkapi
dengan peneduh penumpang. Ketika naik
kapal atau berjalan di daratan kami beberapa kali melihat orang yang berduaan
naik gondola seperti itu. Pak Parji
memancing Pak Cholik dengan seloroh “kapan calon ibunya diajak naik gondola
seperti itu?”. Pak Cholik sama sekali
tidak grogi dan menjawab “gampang, gak ngetekno PLPG”.
Selesai menikmati
naik gondola, kami jalan-jalan sekedar melihat-lihat dan membeli souvenir. Ada yang di toko dan ada pula yang dijual di
tepi jalan. Yang menarik mulai banyak orang
Bangladesh yang berjualan souvenir di kaki lima. Ada yang pandai bahasa Melayu
karena pernah bekerja di Singapura.
Rata-rata barangnya buatan China, walaupun ada tulisannya Valenzia. Saya menggoda penjual dari Bangedesh. Semula dia meyakinkan pasmina yang saya akan
beli itu buatan Itali. Setelah saya
tunjukkan ada kabel kecil bertuliskan made in PRC, dia berkelit itu dibuat oleh
orang China yang tinggal di Itali.
Setelah saya yakinkan bahwa saya sudah pergi ke berbagai negara dan
sudah menjadi rahasia umum bahwa barang buatan China dijual di berbagai negara
dengan tulisan negara tersebut, baru dia manggut-manggut.
Juga ada satu dua
orang kulit hitam yang berjualan berbagai jenis tas. Tas dagangannya diletakkan
begitu saja di pinggir jalan sambil ditawarkan.
Tampaknya penjual souvenis kuliat hitam masih belum secanggih rekannya
dari Bangladesh. Terbukti belum punya
rombong dan juga belum pandai menawarkan.
Mungkin masih belajar. Namun
dengan muculnya orang Bangladesh dan Afrika yang berjualan, bukan tidak
mustahil suatu saat mereka akan mendominasi.
Mereka tampak lebih gigih dibanding penjual asli dari Italia.
Kami sempat makan
siang di rumah makan Italia. Ingin
mengidentikan diri dengan tempat berwisata, saya memesan seafood spageti dan
ditutup dengan minum teh hijau. Setelah
keluar ternyata seafoodnya hanya berupa kerang beberapa biji. Saya berseloroh “kalau ini namanya mie diberi
tidak buah kerang”. Namun bangga juga
bisa makan spageti di lokasi wisata terkenal Venezia Santa Lucia.
Selesai makan kami
jalan-jalan sedikit. Tidak banyak yang dapat dinikmati, karena yang paling
utama adalah naik gondola dan melihat gedung-gedung yang meper bibir saluran
dan sungai. Pemandangan seperti itu
tidak dapat dilihat ketika kami dijalan-jalan, karena yang tampak ya hanya
deretan toko dan restoran.
Selesai itu kami
kembali ke stasiun dan informasi bahwa kereta ke Roma start pertama dari
stasiun Venezia St Lucia. Di Venezia
Mester memang berhenti tetapi hanya sebentar.
Setelah berunding, kami sepakat akan naik dari stasiun Venezia St Lucia
biar tidak tergesa-gesa menaikkan koper yang terus menggemuk karena tambah isi
atau bahkan beranak karena ada yang memberi koper baru untuk souvenir yang
dibelinya. Nah untuk itu kami kembali
naik kerena ke stasiun Venezia Mester, mengambil barang dan kembali naik kereta
ke stasiun Venezia St Lucia untuk menunggu kereta ke Roma.
Kami mendapatkan
tiket untuk gerbonng nomer 7. Kami
melihat tanda dimana gerbong noer 7 berhenti, yaitu di paling depan dekan ujung
kereta. Kamipun bergeser mendekati
lokasi tersebut. Namun ketika kereta
datang, saya melihat gerbong di lokasi itu bernomor. Karena ragu-ragu, saya bertanya ke petugas
yang membesihkan gerbong dan mendapat jawaban isyarat (mungkin tidak pandai
bahasa inggris) bahwa gerbong no 7 tempatnya di ujung sebaliknya. Ternyata nomor di papan yang tadi kami lihat
itu untuk kereka sebelumnya. Buktinya
setelah beberapa lami tulisan di papan penunjuk berubah kalau gerbong nomer 7
di ujung seperti yang ditunjukkan petugas pembersih gerbong. Untunglah kami bertanya. Ungkapan “malu bertanya sesat di jalan”
ternyata masih berlaku.
Sambil menunggu
gerbong selesai dibershkan, kami ngobrol di dekat pintu masuh gerbong nomer 7.
Di dekat kami ad beberapa anak muda Italia yang kami kira juga akan sama-sama
naik. Pak Bambang bekomentar
cantik-cantik yang mereka. Duduk kali
dipisahkan oleh bangku panjang dan tidak sempat saling menegur. Yang jelas, seingat saya anak mudan sekitar 4
orang dua laki-laki, dua perempuan.
Begitu pintu gerbong
dibuka dan dipersilahkan masuk kami segera naik. Seingat saya Pak Pardji naik duluan untuk
membantu ibu-ibu menaikkan koper. Ketika
saya naik dengan membawa koper, tempat menyimpan koper sudah penuh. Karena koper saya agak besar, maa koper teman
yang lebih kecil saya naikkan di rak atas dan tempatnya saya masuki koper
saya. Tampaknya koper saya terlalu besar,
sehingga harus didorong dengan keras agar dapat masuk. Bu Juhrah yang ada di samping saya membantu
mendorong. Saat itu saya mendengat
berliau berteriak kecil. Saya tidak
ingat apa yang diucapkan. Yang pasti saya
mendengar dan setelah melihat (karena di samping saya), beliau memukul tangan
cewek Italia di sebelahnya.
Saya tidak begitu “ngeh”dan
bahkan sempat berpikir kok Bu Juhrah kok berbuat kasar pada orang yang
sama-sama akan naik kereta. Namun ketika
sadar, saya baru ngeh kalau Bu Juhrah memukul tangan cewek tadi karena dia akan
menyopet dompet beliau. Ketika beliau
membungkuk membantu saya mendorong koper, tas Bu Juhrah bergeser ke samping
tubuh. Saat itulah, cewek tadi membuat
rensletingnya dan mencoba mengambil dompet panjang di dalamnya. Begitu dipukul tangannya, cewek tadi diam dan
tidak berapa lama terus menghilang. Entah
turun atau entah kemana. Alhamdulillah,
Allah melindungi kami. Di dalam tas
tersebut tersimpan paspor dan tentu uang.
Dapat dibayangkan kalau paspor hilang, urusan akan menjadi panjang.
Begitu kereta mulai
berjalan saya melihat Bu Juhrah sepertinya masih terbayang-bayang peristiwa
yang baru saja terjadi. Peringatan
hati-hati di Italia banyak copet ternyata benar. Apakah di Italia juga masih banyak gangster
seperti diceritakan di novel atau film saya tidak tahu. Apakah istilah mafia Sicilia atau sejenisnya
juga masih ada, saya juga tidak tahu.
Namun Pak Cholik sempat memotret spanduk di tepi sungai yang kami lewati
ke San Marino bertuliskan “Stop Mafia”. Jadi masih ada peringatan atau himbauan untuk
menghentika aktivitas semacam mafia. Pelajaran menarik bagi siapaun yang mau
belajar.