Tengah malam tanggal
18 Nopember 2014 saya transit di Dubai, untuk ke Jerman. Sekitar pukul 00.30 waktu setempat saya
sampai di Dubai setelah terbang sekitar 7 jam dari Jakarta. Sebenarnya sudah
beberapa kali saya singgah di bandara Dubai, walaupun belum pernah keluar untuk
melihat kotanya. Kali ini saya singgah
cukup lama, karena tiba sekitar pukul 00.30 tengah malam dan baru berangkat
lagi ke Munich Jerman pukul 08.55.
Karena waktu transit
cukup lama, saya sempatkan melihat-lihat bandara Dubai. Ketika pindah dari lokasi kedatangan
kedatangan ke terminal A tempat kami akan terbang ke Munich, kami menggunakan
kereta listrik otomatis tanpa pengemudi, terus dilanjutkan naik lift ukuran
besar ke lantai 3. Ketika naik kereta
dan naik lift saya mencoba mengamati orang-orang di sekitar saya. Rasanya tidak banyak yang “bewajah Timur
Tengah”. Wajah yang saya amati sangat
beragam. Saya menduga, sebagian besar
malah wajah orang “bule” dan Asia. Ada beberapa yang saya duga orang Afrika.
Dan banyak yang sepertinya yang mix blood
alias campuran, hasil pernikahan orang tuanya yang berbeda ras. Petugas yang mengarahkan pengunjung naik
kereta api juga berwajah Asia, dengan bahasan Inggris yang lumayan bagus.
Begitu masuk hall
terminal A, ada mobil sport warna abu-abu (saya sulit mengenal merknya) yang
dipajang sebagai iklan. Di dekat mobil
itu tertulis kalimat “win the car”.
Ternyata itu hadiah undian bagi orang yang berbelanja di duty free bandara Dubai. Penjaga yang ada di sebelahnya juga bukan
berwajah Timur Tengah. Dari wajahnya,
saya menduga gadis tersebut mix blood,
antara Asia dan Eropa. Saya dengan dia bicara dengan teman
sebelahnya juga berbahasa Inggris.
Seperti bandara internasional
pada umumnya, hall bandara Dubai juga dipenuhi dengan toko dan restoran. Yang menarik barang yang dijual di toko-toko
maupun jenis makanan yang ditawarkan di restoran tidak tampak “warna Timur
Tengahnya”. Saya tidak menjumpai makanan
Timur Tengah di restoran. Yang dijual
hampir sama dengan yang dijual di bandara Eropa, Amerika, Jepang dan
sebagainya. Misalnya berbagai jenis
roti, burger, kopi, teh dan sebagainyanya.
Dan ada beberapa restoran yang menjual minuman keras dan bahkan ada yang
memasang nama “Heinekan Lounge”. Pada
hal, seingat saya heineken itu sebuah merk bir.
Dimana ya, makanan Timur Tengah?
Barang-barang yang
dijual di toko juga tidak berbeda dengan di bandara Eropa. Saya lihat yang
banyak dijual arloji, perhiasan, parfum, pakaian, coklat, rokok dan berbagai
kue yang lazim dijual di bandara negara lain.
Mana yang barang Dubai atau barang-barang Timur Tengah. Pada toko yang menjual buah, yang dijuah
juga buah seperti anggur, apel, pisang, pear dan sebagainya. Saya tidak menjumpai buah khas Timur Tengah. Satu-satunya yang khas Timur Tengah adalah
satu petak toko yang diisi oleh panjangan Al Qur’an dan beberapa
kaligrafi. Toko itu dibiarkan kosong
tanpa penjaga.
Sambil menunggu
penerbangan ke Munich, saya merenung.
Jika tidak ada tulisan Dubai, mungkin orang tidak tahu kalau mereka
sedang di Dubai. Orang yang berlalu
lalang berwajah berbagai negara dan hanya sedikit yang berwajah Timur Tengah. Yang berpakain gamis sangat jarang
terlihat. Saya tidak menjumpai wanita yang
berpakaian hitam bercadar yang biasa kita lihat di Saudi Arabia. Ada satu-dua wanita berkerudung tetapi tidak
banyak.
Wanita yang duduk di
sebelah kiri saya, berkulit hitam dengan rambut sangat pendek, memakali rok dan
kaus serta menenteng tas bermerk Eropa.
Laki-laki di sebelah kanan saya, saya duga mix blood antara Jepang dengan Eropa. Memegang hp dengan huruf
Jepang tetapi berbadan tinggi besar seperti orang Eropa. Pelayan toko dan restoran banyak yang
berwajah Asia tetapi berbicara bahasa Inggris logat Asia. Ketika kami membeli minuman, yang melayani
wanita dari Myanmar. Petugas kebesihan
tampak seperti orang Banglades.
Apakah ini
tanda-tanda globalisasi? Atau Dubai
tidak punya produk yang layak dijual di bandara internasional? Kan juga ada barang dan makanan khas Timur
Tengah dari negara lainnya. Juga ada
kerajinan asli Timur Tengah. Apakah
orang Dubai tidak cukup percaya diri untuk memasarkan produk lokal atau produk
regional Timur Tengah? Apakah itu stategi
marketing, toh orang Timur Tengah tidak banyak di bandara?
Sampai tulisan ini
selesai, saya tidak menemukan jawabnya.
Akhirnya saya membuat simpulan sementara, bahwa itu semua merupakan
dampak globalisasi dan seperti pada umumnya interaksi sosial, yang kuat
mendominasi yang lemah. Yang lemah tidak
cukup percaya diri dan akhirnya berusaha menyesuaikan diri atau mengidentikan
diri seperti yang kuat. Mungkin
orang-orang Dubai, walaupun kaya dalam sisi ekonomi tetapi tidak cukup percaya
diri atas bangsanya. Oleh karena itu,
mereka mengidentikan diri kepada bangsa yang lebih “kuat” yaitu bangsa Barat.
Sebagai argumen,
kita dapat membandingkan dengan bandara internasional di China dan Jepang. Di bandara Jepang, kita dapat menjumpai
barang dan makanan khas Jepang yang dijual berdampingan dengan barang-barang
produk negara lain. Demikian pula di
bandara internasional di China. Mungkin
orang China dan Jepang cukup percaya diri untuk menjual produk negaranya kepada
dunia luar. Sedangkan orang Dubai belum
seperti itu. Semoga orang Indonesia
cukup percaya diri berdampingan dengan bangsa lain, seperti China dan Jepang.
Saya jadi teringat
pengalaman ke Vietnam beberapa tahun lalu.
Kondisi kota di Vietnam jauh lebih jelek dibanding Jakarta, Surabaya dan
kota lain di Indonesia. . Lalu lintas
semrawut, kotanya terkesan kotor dan bangunan didominasi banguna tua. Namun orang Vietnam sangat percaya diri dan
merasa setara atau bahkan merasa lebih hebat dibanding bangsa lain di Asia
Tenggara. Mereka dengan bangga
mengatakan, hanya Vietnam yang mampu mengalahka Amerika Serikat. Di bandara yang kondisinya jauh lebih jelek
dibanding bandara Dubai juga baynak dijual makanan dan kerajinan asli
Vietnam. Saya teringat saat pulang,
memanfaatkan sia uang Dong (mata uang Vietnam) untuk makan mie khas Vietnam
yang mirip dengan suun di Indonesia.
Saya menduga kota
Dubai jauh lebih baik. Konon kota Dubai
sudah sekelas dengan kota-kota besar di Eropa.
Seingat saya Dubai memiliki pulau buatan yang bentuknya mirip pohin
kurma dan di pulai buatan itu dibangun gedung pencakar langit yang sangat
hebat. Iklan di pesawat Emirates
menjelang landing di Dubai menggambarkan betapa glamornya kota Dubai. Saya tidak tahu dimana sebabnya mereka kurang
percaya diri untuk memamerkan produk da budayanya ke mata dunia. Pada hal, menurut saya rasa percaya diri itu
penting bagi generasi muda kita. Semoga orang Indonesia percaya diri seperti
bangsa Jepang, China dan Vientam. Dan
tidak seperti dugaan saya terhadap orang Dubai,
1 komentar:
Menarik pengamatannya pak. Saya jadi ingat bagaimana Emirate menjadi sponsor utama Melbourne Cup Day. Acara tahunan ini adalah lomba pacuan kuda, yang diwarnai dengan fashion. Orang Melbournians amat 'gila' dengan perayaan Melbourne Cup Day. Emirate nampaknya menjadi simbol kapitalisme yang tidak lagi melulu dikuasai dunia Barat. Eh, tapi siapa tahu juga bahwa sebenarnya orang-orang di balik Emirate sama-sama mixed-nya dengan mereka yang bekerja di Dubai.
Posting Komentar