Kedatangan kami, tim
FT Unesa, ke Jerman atas undangan Elabo Trainings Systeme. Rombongan
dipimpin oleh Prof Eko Hariadi, Pembantu Dekan 1, dan diikuti oleh para
Ketua Jurusan dan beberapa staf ini Fakultas.
Kami tiba di Munich sekitar pukul 12.30 waktu setempat dan dijemput oleh
Direktur Marketing Elabo,Dipl Ing. Swen Urban. Menurut jadwal, kami langsung ke kantor Elabo
dan besuknya ke Siemens.
Elabo Training
Systeme (ETS) adalah perusahaan yang mengkhususkan diri membuat perlengkapan
praktikum untuk pendidikan vokasi dan pendidikan teknologi untuk bidang-bidang
yang terkait dengan elektro dan mekatronika. Perusahaan ini berdiri tahu 1997
dan sampai tahun 2014 masih merupakan perusahaan keluarga. Jumlah karyawan hanya 50 orang. Kantor yang
kami kunjungi juga relatif kecil.
Gedungnya terletak di pinggiran kota kecil bernama Kinding. Bangunannya dua lantai yang kira-kira
berukuran 10 x 20 m.
Memang ada bangunan
lain yang saya duga workshop, karena di kantor tersebut tidak ada peralatan
untuk pengerjaan peralatan yang dipajang.
Saya yakin ada workshop untuk membuat berbagai perlengkapan praktimum
bidang elektro dan mekatronika. Saya
dapat penjelasan beberapa komponen dibuat dengan mesin CNC yang di gedung
tersebut tidak saya lihat. Namun dengan
jumlah karyawan yang hanya 50 orang untuk perusahaan yang mampu mengekspor
produknya ke berbagai negara, tentu terhitung sangat kecil.
Dari presentasi yang
saya ikuti, ETS sudah berhasil menjual jasa dan produknya ke ATMI Cikarang,
yaitu pengembangan ATMI Solo yang mengkhususkan pada bidang mekatronika. Kita sudah tahu kalau ATMI (Akademi Teknik
Mesin Industri) Solo merupakan pelopor pendidikan teknologi setingkat D3 yang
sangat handal di Indonesia. ATMI Solo
merupakan akademi yang merangkap sebagai industri. ATMI Solo menghasilkan berbagai produk yang
digunakan di industri. Jadi produknya
sudah diakui kualitasnya. Jika ETS mampu
menjual jasa dan produknya ke ATMI, saya menyimpulkan barang produksi ETS tentu
juga sangat baik.
Selain ke Indonesia,
ETS ternyata juga dipercaya membuat perlengkapan praktek di Amerian University
di Kuwait, Vocational Teacher Training Center di Saudi Arabia dan German
Malaysia University di Kualalumpur. Dari
informasi yang saya dapat, UNP (Universitas Negeri Padang) juga sedang memesan
perlengkapan ke ETS. Undiksa tampaknya
juga tertarik, sehingga Mr. Swen Urban akan ke Singaraja bulan Desember 2014
ini.
Yang menarik
perlengkapan praktikum di ETS dibuat secara customized. Artinya dibuat atas pesanan dan sesuai dengan
kebutuhan pelanggan. Mereka memerlukan
tujuh tahap untuk sampai membangunkan sebuah perlengkapan parktikum sampai
terpasang di tempat pelangan.
(1) Tahap analisis
kebutuhan peralatan. Pada tahap ini ETS
bersama pelanggan melakukan analisis peralatan apa yang diperlukan, untuk apa
fungsinya, seberapa besarnya, berapa jumlahnya dan sebagainya. Kurikulum merupakan salah satu acuan dasar
pada tahap ini.
(2) Tahap perancangan
peralatan. Pada tahap ini pihak ETS membuat desain (rancangan) dari perlengkapan
parktikum atas dasar hasil analisis bersama pelanggan. (3) Selanjutnya tahap
konsultasi, yaitu membahas hasil desain bersama pelanggan dan pihak
terkait. Maksudnya agar di satu sisi
rancangan sesuai dengan keinginan pelanggan, di sisi lain dapat dibuat dengan
komponen dan peralatan yang dimiliki Elabo.
(4) Tahap prokurmen
(pembelian), maksudnya kepastikan pembelian setelah desain dan harga
disepakati. Tahap ini merupakan tahap
kepastian bahwa rancangan peralatan praktikum jadi dibuat. (5) Tahap konstruksi, yaitu tahap pembuatan
peralatan di ETS. Setelah selesai
disusul dengan tahap (6) yaitu pemasangan di lokasi tempat pelangan. (7) Tahap pelatihan
dapat berlangsung di ETS dan atau di tempat peralatan dipasang. Di ETS sebelum peralatan di pasang, sedangkan
di workshop pelanggan saat perlengkapan telah selesai dipasang, sekaligus
mengujicobanya.
Mengunjungi ruang
pamer dan mendapat penjelasan dari Mr. Swen Urban dan rekannya yang menangani,
saya mendapat kesan bahwa ETS ditangani secara profesional dan fokus pada
bidang tertentu saja, yaitu yang terkait dengan elektro. Walaupun tidak faham benar, menurut saya
barang-barang diproduksi tidak menggunakan teknologi canggih. Saya sempat bertanya kepada Dr. Moch Cholik
(Kajur Teknk Mesin) dan Pak Bambang Sudjatmiko, MT (Kajur Tek Informatika)
apakah kita tidak dapat membuat barang seperti itu. Mereka berdua menjawab serempak “sebenarnya
bisa”. Jawaban serupa saya dapat dari Prof Eko Hariadi dan Prof Ismet Basuki.
Jawaban “sebenarnya
bisa, sungguh menarik untuk dianalisis.
Mengapa menggunakan kata “sebenarnya”.
Apakah itu bermakna, seharusnya bisa tetapi kenyataannya tidak bisa atau
belum bisa? Ketika saya kejar dengan pertanyaan, apa
kesulitan membuat barang-barang seperti itu, toh teknologinya sudah kita
kuasai. Saya yakin ETS tidak membuat
sendiri komponennya. Sensor, motor
listrik serta komponen lain tentu dibeli dari pabrikan pembuatnya yang sebagian
besar buatan Siemens. Jadi peran ETS
adalah merancang perlengkapan praktikum dan kemudian merakit dengan menggunakan
komponen yang ada di pasaran. Teman
bertiga menjawab, kesulitan utama: (1) mendapatkan komponen yang mutunya bagus. Di pasar Genteng memang banyak komponen
seperti itu tetapi mutunya kurang baik. (2) Tidak mudah membuat rangkaian yang
kokoh dan presisi, karena peralatan yang kita miliki tidak lengkap.
Mendapat jawaban
ke-empat rekan yang semua pakar di bidangnya saya termenung. Memang FT Unesa bukan lembaga profesional di
bidang itu, sehingga tidak punya pengalaman panjang kemana mendapatkan berbagai
komponen dan bahan lain dengan kualias baik.
Juga tidak memiliki peralatan untuk mengerjakan dengan presisi
tinggi. Tetapi yang ingin saya fahami,
bukankah secara konsep pembuatan peralatan tersebut tidak sulit. Saya yakin,
mahasiswa S2 Prodi Pendidikan Teknologi mampu merancangnya.
Rancangan tersebut
dapat dibuat dengan bekerjasama dengan parusahaan atau lembaga profesional
untuk membuatnya. Misalnya komponen yang
dibuat dengan mesin CNS yang dibuat di lab Teknik Mesin atau lembaga lain yang
sesuai. Yang pasti diperlukan tukang
atau karyawan yang memang sehari-hari menangangi pembuatan barang seperti
itu. Peran perancang adalah memastikan
benda yang dibuat sesuai dengan rencangannya dan setelah dirangkai dapat
berfungsi seperti yang diinginkan.
Mengapa saya berpikir
seperti itu? Peralatan praktikum seperti
yang dibuat oleh ETS, paling tidak untuk beberapa yang sederhana sangat cocok
untuk anak-anak SMK. Dan saya yakin itu
dapat dirancang oleh mahasiswa S2 PTK dan dapat dibuat di Indonesia. Nah, berapa jumlah SMK di Idonesia? Sangat banyak. Dan tentu semuanya memerlukan sarana praktikum
seperti yang dibuat di ETS. Lebih dari
itu, pembuatan peralatan seperti itu akan menumbuhkan kreativitas
mahasiswa. Sudah saatnya kita menjadi
bangsa produsen dan bukang konsumen.
Walaupun dimulai untuk dipakai bangsa sendiri. Semoga kita dapat belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar